Membangkitkan Kejayaan Pers Islam (Bagian 2)

Penggerak lembaga dakwah kampus mulai memikirkan pemanfaatan media sebagai sarana pencerdasan keislaman ke masyarakat maupun sekadar untuk menunjukkan eksistensinya. Kemajuan teknologi informasi menuntut aktivis dakwah kampus dapat menyesuaikan diri dengan medan dakwah yang baru. Munculnya Facebook, Twitter, Instagram, Line, WordPress, WhatsApp, dan lain sebagainya, seakan menggiring mereka untuk memiliki akun di masing-masing media sosial tersebut. Secara perlahan, optimalisasi dakwah media suatu lembaga dakwah kampus dinilai dari kuantitas publikasinya di media sosial. Di sisi lain, kuantitas media cetak dari lembaga dakwah kampus semakin berkurang.

Kaderisasi Aktivis Dakwah Media

Perkembangan suatu organisasi tidak luput dari peran kaderisasi. Ada beberapa poin yang hendaknya diperhatikan dalam kaderisasi aktivis dakwah media. Pertama, lembaga dakwah kampus tidak hanya merekrut orang-orang yang memiliki passion yang dapat mendukung bidang kemediaan, seperti desain grafis, kepenulisan, ataupun fotografi. Lembaga dakwah kampus juga harus membina mereka sesuai passion-nya dan membekali mereka dengan strategi bermedia.

Pembinaan sesuai passion dapat meningkatkan profesionalitas aktivis dakwah media dalam berkarya. Adapun membekali mereka dengan strategi bermedia berarti melatih mereka agar menghadirkan jiwa dalam karyanya. Sebuah artikel dapat ditulis dengan gaya bahasa yang begitu indah, namun sejauh mana pembaca dapat menggali pemikiran penulis juga merupakan sesuatu yang penting. Urgensi pembekalan tentang strategi bermedia juga dapat menguatkan aktivis dakwah media dalam menghadapi derasnya arus informasi, baik itu dalam memilah sumber informasi, meng-counter isu maupun sebagai opinion leader. Jika lembaga dakwah kampus belum dapat memfasilitasi kedua hal ini secara maksimal, maka arahkanlah aktivis dakwah media agar mencari ilmu yang dibutuhkannya.

Kedua, memfokuskan aktivis dakwah media dalam mengelola sebuah media. Sedikitnya SDM pada sebuah bidang, tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menarik aktivis dakwah media dari bidangnya dan membuat mereka mengurusi bidang lain yang kekurangan SDM tersebut. Jika aktivis media ditarik dari medannya, ia akan menelantarkan media yang dikelolanya. Ada satu hal yang perlu dipahami dalam prinsip kaderisasi, yaitu mengoptimalkan peran aktivis dakwah dalam berkarya sesuai dengan kompetensinya. Dalam hal ini, diperlukan kepercayaan bahwa setiap orang terlahir untuk menjawab permasalahan sesuai zamannya.

Optimalisasi Media Lembaga

Optimalisasi media lembaga dapat ditentukan dari hasil evaluasi bidang kaderisasi. Dengan melihat passion yang dominan di kalangan aktivis dakwah media, selanjutnya dapat ditentukan bentuk media yang dapat digunakan. Misalnya, evaluasi kaderisasi suatu lembaga dakwah kampus menunjukkan bahwa passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan bidang kepenulisan. Selanjutnya, lembaga dakwah kampus ini dapat mengoptimalkan dakwah medianya melalui buletin, Twitter, maupun mengaktivasi sebuah website.  Jika passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan pada bidang desain grafis atau fotografi, maka pengadaan pameran poster atau fotografi, mengaktivasi akun Facebook, Instagram, maupun Line dapat menjadi pilihannya dalam mengoptimalkan dakwah media.

Di sisi lain, peningkatan kualitas dan kuantitas konten yang dipublikasikan juga menjadi hal yang penting. Dalam hal ini, peningkatan kualitas konten menjadi poin yang perlu diprioritaskan karena berperan dalam membangun kepercayaan audience terhadap media yang dimiliki oleh suatu lembaga dakwah kampus. Adanya jadwal publikasi dapat mendukung aktivis dakwah media dalam mempersiapkan konten yang berkualitas. Sedangkan kuantitas konten dapat meningkat seiring dengan jam terbang aktivis dakwah media dalam berkarya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah harmonisasi gerak dalam dakwah media. Aktivis dakwah media hendaklah memposisikan dirinya sebagai suatu kesatuan umat Islam. Jika mereka melihat kelemahan suatu media Islam, maka mereka akan melengkapinya. Cita-cita sebagai pendobrak media mainstream yang semakin jauh dari nilai Islam perlu dijadikan tujuan bersama, bukan sekadar mementingkan masing-masing golongan. Peran aktivis dakwah media adalah menghadirkan media Islam sebagai problem solver atas kebimbangan masyarakat dalam memilih sumber terpercaya di tengah derasnya arus informasi.

Penulis
Wening Mulat Asih
Anggota Lembaga Dakwah Jama’ah Shalahuddin UGM yang aktif dalam Komisi Ke-LDK-an Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja periode 2013-2015

Bagian 1 dapat dilihat disini

Membangkitkan Kejayaan Pers Islam (Bagian 1)

Kemajuan teknologi informasi memperluas ladang dakwah umat Islam. Kesadaran ini mulai terlihat di kalangan aktivis dakwah kampus. Misalnya dengan dibentuknya komisi khusus bidang kemediaan dalam Forum Lembaga Dakwah Kampus se-Indonesia (FSLDK Indonesia) periode 2012-2015.

Di sisi lain, ternyata dakwah media bukanlah medan dakwah baru dalam sejarah bangsa kita. Bagaimana perjalanan dakwah media di Indonesia? Untuk itu, kita perlu menelusuri perjuangan para pendahulu dakwah media.

Perjalanan Pers Islam Indonesia

Sepanjang sejarah perjalanan pers di Indonesia, jurnalis muslim sudah menorehkan kontribusinya.  Misalnya, mereka menyuarakan kehidupan rakyat Indonesia dalam tulisan-tulisannyapada masa penjajahan Belanda. Jurnalis muslim pada masa itu mulai menyadari bahwa media berperan dalam membentuk opini publik. Pemikiran ini senantiasa diwariskan dan terekam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Soekarno, Hatta, Natsir, maupun Tjokroaminoto, merupakan tokoh-tokoh muslim yang turut aktif berperan dalam merebut kemerdekaan Indonesia melalui jurnalistik. Selain mereka, ada pula Adinegoro.

Perjuangan Adinegoro melalui jurnalistik dimulai sejak bersekolah di STOVIA. Di sekolah itu, beliau tidak diperbolehkan menulis sehingga menggunakan nama samaran “Adinegoro”. Tulisan-tulisannya yang acap kali menyerang Belanda secara halus, membuat rumahnya sering digeledah. Akhirnya beliau keluar dari STOVIA, lalu mempelajari ilmu jurnalistik di Belanda dan Jerman. Ketika kembali ke Indonesia, beliau sempat memimpin majalah Panji Pustaka (1931), surat kabar Pewarta Deli (1932-1942), Sumatera Shimbun, majalah Mimbar Indonesia (1948-1950), Yayasan Pers Biro Indonesia (1951), dan bekerja di Kantor Berita Nasional.Nama beliau diabadikan dalam ajang penghargaan karya jurnalistik Indonesia, Anugerah Adinegoro, yang diselenggarakan setiap tahun. Eksistensi beliau sebagai tokoh pers nasional semakin membuktikan peran umat Islam dalam sejarah pers di Indonesia.

Di sisi lain, berkembang pula pers Islam. Salah satunya adalah Pedoman Masyarakat dengan mottonya “Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam”. Sayangnya, perkembangan pers di Indonesia -termasuk pers Islam- semakin meredup seiring karena kerakusan Jepang terhadap kertas. Pada masa Soekarno, pers di Indonesia sempat merasakan kebebasan dalam berekspresi dan mengekplorasi diri. Namun hal itu tidak berlangsung lama.Pemerintah membredeli pers yang berusaha menyuarakan pendapatnya. Hanya pers yang memberitakan kabar pemerintah yang masih bertahan.

Bergantinya pemerintahan Soekarno menjadi pemerintahan Soeharto diharapkan dapat mengembalikan peluang dakwah media. Namun ternyata Soeharto menerapkan sistem penyederhanaan partai politik yang secara langsung berpengaruh terhadap media partai politik itu sendiri. Penekanan terhadap kebebasan pers yang dilakukan pemerintah Soeharto semakin melemahkan dakwah media.

Selain itu, ada beberapa hal yang menghambat bergeraknya pers Islam pada masa Soeharto. Pertama, sistem politik yang meminggirkan peran umat Islam dengan menentang segala simbol keislaman. Dari kondisi ini, muncullah pers Islam tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Di sisi lain, kebijakan Soeharto dalam bidang ekonomi yang mengutamakan para konglomerat telah mengecilkan potensi masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah umat Islam.Hal ini berimbas pada kelangkaan pengusaha muslim yang terjun dalam pers Islam.

Selain faktor tersebut, melemahnya dakwah media disebabkan oleh internal pers Islam, yaitu sumber daya manusia. Ketahanan pers Islam tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusianya. Karya yang diterbitkan oleh pers Islam sangat ditunggu karena kualitas penulisnya. Bahkan pembaca lebih tertarik karena mengenal penulisnya daripada medianya. Hal ini menunjukkan lemahnya pengkaderan.

Refleksi terhadap Dakwah Media Sekarang

Perjalanan pers Islam di Indonesia menunjukkan bahwa dakwah media bukanlah suatu hal yang baru bagi bangsa kita. Umat Islam di negeri ini justru tak pernah ketinggalan dalam mengambil peran bagi perkembangan pers. Ada beberapa akar permasalahan dalam sejarah pers Islam yang kita jumpai saat ini.

Pertama dari segi pengkaderan. Jika dalam sejarahnya pers Islam dapat memunculkan tokoh seperti Buya Hamka yang semasa hidupnya dapat menulis ratusan buku bahkan menulis sebuah tafsirQur’an, bagaimana SDM kita saat ini? Padahal kualitas pers tidak terlepas dari kualitas SDM-nya. Selain itu, opini sebagian aktivis dakwah yang belum menganggap media sebagai sarana berdakwah menjadikan kuantitas SDM lamban mencapai peningkatan. Padahal, umat Islam harus ikut serta dalam meng-coverkuatnya arus informasi.

Akar permasalahan yang kedua adalah manajemen media. Dakwah media dianggap sebagai hal yang baru sehingga kita seolah kekurangan referensi dalam mengembangkan manajemen media. Jika kita menoleh ke masa lalu, meski riwayat Pedoman Masyarakat telah berakhir pada masa Jepang, namun penggagasnya segera menerbitkan majalah Semangat Islam sehingga dakwah media tetaplah berjalan.

Selain itu, hal yang tak kalah penting ialah harmonisasi dalam gerak dakwah media.Perlu disepakati bahwa media Islam satu sama lain memiliki peran saling menguatkan.Tentunya berawal dari kesamaan frekuensi para penggagas media Islam –yang saat ini bertebaran- bahwa kebangkitan media membutuhkan kekuatan besar. Masih ada permasalahan yang lebih prioritas dari sekadar mementingkan masing-masing golongan, yakni mendobrak media arus utama yang semakin jauh dari nilai keislaman.

Referensi:

Lahirnya Pers Islam di Indonesia (http://jejakislam.net/?p=331)
Membungkam Pers Islam di Masa Silam (http://jejakislam.net/?p=746)
Seniman Sastra: Adinegoro (http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/adinegoro.html)
Penulis
Wening Mulat Asih
Anggota Lembaga Dakwah Jama’ah Shalahuddin UGM yang aktif dalam Komisi Ke-LDK-an Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja periode 2013-2015

Anak dan Dunia Maya

Perkembangan teknologi menjadi hal yang tidak pernah basi untuk diperbincangkan. Alur perkembangan yang pesat mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia. Salah satunya  pola komunikasi, sumber informasi, dan sarana belajar pada Anak. Salah satu yang menjadi sorotan belakangan ini adalah ketergantungan anak kepada gadgetseperti laptop, handphone, maupun tablet.  Anak-anak merasa cemas dan gelisah bila jauh dari gadget mereka, menghabiskan banyak waktu untuk  bermain dengan alat elektroniknya dan berimbas kepada kemauan untuk bersosialisasi dengan lingkungan. Dampak lain  juga terlihat pada capaian akademis dan minat baca pada anak yang menurun.

Ketidakmampuan orangtua dalam mengontrol pemakaian gadget menjadi salah satu pemicu ketergantungan. Orangtua menganggap pemahaman anak mengenai gadget berkaitan dengan keahlian  yang sesuai dengan zaman. Orang tua nyaman jika anak tidak banyak berulah dan tenang dengan gadget-nya. Kebanyakan orangtua tidak menyadari ketenangan anak di dalam bermain mendatangkan bahaya yang sulit dideteksi. Bahaya tersebut meliputi konten dewasa, cyber bullying, perjudian, pencurian identitas, virus, dan kejahatan lain yang bersumber dari kegiatan anak di dunia maya.

Dua hal diatas merupakan gambaran yang sering terjadi dalam kasus ketergantungan anak kepada alat elektronik terutama handphone, maupun tablet. Pada diskusi rutin yang diadakan Forum Silahturahmi Muslimah UGM, Diana Setiyawati, Ph.D., menyatakan bahwa pada hakikatnya penggunaan teknologi itu tidak perlu dibatasi namun diawasi. Dalam pertemuan tersebut, dibahas cara orangtua mendidik anak dalam mengunakan teknologi gadget. Diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Memberi pemahaman pada anak bahwa peraturan di dunia maya sama dengan dunia nyata, misalnya saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain.
  2. Menjelaskan tanggung jawab dan konsekuensi yang didapat ketika mengakses internet atau bermain games.
  3. Orangtua tetap menjadi kendali dalam pengunaan, baik berupa referensi tautan maupun hal-hal yang tidak dipahami oleh anak. Orangtua hadir sebagai pembimbing mengenai isi konten, permainan yang boleh dimainkan, serta waktu dan durasi anak bermain dengan gadget.
  4. Orangtua juga bisa meng-install aplikasi yang bermanfaat dan menarik untuk anak. Anak dibiasakan untuk mengakses aplikasi tersebut ketika memegang gadget.
  5. Berikan project-projectdengan gadget yang mereka miliki. Bisa dilakukan dengan memberikan buku “how to”.
  6. Orangtua menjaga keseimbangan dengan hal lain seperti mendampingi anak membaca atau melakukan interaksi sosial.
  7. Memberikan keteladanan dengan tidak terlalu sering melakukan hal yang tidak penting dengan gadget yang dimiliki.

Ada beberapa cara pendampingan teknis yang dapat dilakukan orangtua bila anak terbiasa melakukan kegiatan dengan gadget yang dimiliki anak. Di antaranya adalah :

  1. Jelaskan dan buat perjanjian bahwa bila ada yang membuat anak risau atau takut segera ceritakan kepada orangtua. Misal apabila mendapatkan rayuan, kata negatif, atau makian.
  2. Jelaskan kepada anak mengenai pentingnya kerahasiaan infomasi personal.
  3. Berikan tanda pada website yang bermanfaat dan menarik anak sehingga anak mudah mengaksesnya.
  4. Anak diajarkan untuk tidak merespon pesan negatif yang disampaikan oleh orang lain.
  5. Install dan update antivirus
  6. Tempatkan komputer di ruang keluarga
  7. Jika anak berubah perilakunya, orang tua perlu waspada.

Ketika orangtua mampu untuk membangun komunikasi dan skill kepemimpinan anak (kemampuan mengendalikan diri, memilah dan memilih, mengambil keputusan dan bertanggungjawab pada pilihan) ketergantungan pada gadget bisa dihindari atau dikurangi. Pahami bahwa gadget bukan benda pintar yang mampu menjaga anak tetap aman dan tenang.  Cerdas berteknologi anak dimulai dengan cerdas berteknologi pada orangtua.

Penulis
Yova Tri Yolanda
Mahasiswi Magister Profesi Psikologi Klinis UGM
Anggota Aktif FLP Jogja

Ada Apa dengan “HIJAB”?

hejab08_b

Awal tahun 2015, muncul film dengan judul HIJAB. Sekilas, kita akan berpikir bahwa film ini bernuansa reliji. Siapa sangka, walaupun judulnya bernuansa reliji, tetapi isinya tak sesuai. Film ini menuai kontroversi sebab hanya menceritakan keburukan segelintir muslimah. Keburukan-keburukan wanita yang memakai hijab hanya sekedar keterpaksaan, kehendak suami, atau sekedar tren fashion. Hal ini, menutup sisi positif bagi sebagian besar muslimah yang berjilbab karena kehendak hati dan melaksanakan perintah agama.

Film merupakan media yang berfungsi sebagai alat penyebar informasi serta sarana pendidikan dan hiburan (edutainment). Bak dua sisi mata uang. Di satu sisi memiliki nilai positif dan juga negatif, tergantung bagaimana konten dan pemaknaannya. Apalagi bagi mereka masyarakat perkotaan. Bioskop menjadi salah satu alternatif pilihan hiburan yang mudah.

Selain fungsi tersebut, film digunakan sebagai alat propaganda. Para pembuat (produser) film memiliki motif/tujuan tertentu. Sebagai pengonsumsi film, kita perlu hati-hati. Terkadang film disalahgunakan untuk menyebarkan ideologi/paradigma. Tak dipungkiri, hal ini dapat mengubah opini dan gaya hidup masyarakat. Mari kita lihat definisi fesyen.

Menurut KBBI: Mode atau fesyen (Inggris: fashion) adalah gaya berpakaian yang populer dalam suatu budaya. Secara umum, fesyen termasuk masakan, bahasa, seni, dan arsitektur. Dikarenakan fesyen belum terdaftar dalam bahasa Indonesia, maka mode adalah kata untuk bahasa resminya. Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mode merupakan bentuk nomina yang bermakna ragam cara atau bentuk terbaru pada suatu waktu tertentu (tata pakaian, potongan rambut, corak hiasan, dan sebagainya). Gaya dapat berubah dengan cepat. Mode yang dikenakan oleh seseorang mampu mecerminkan siapa si pengguna tersebut.

Mari kita flashback. Film Ada Apa dengan Cinta (AADC) tahun 2002 dan Eiffel I’m in Love tahun 2003. Dalam kedua film tersebut tampak tank top dan celana hipster cutbray menjadi tren. Realitanya pun celana cutbray dan tank top menjadi tren di kalangan remaja. Kemudian, film Ayat-Ayat Cinta tahun 2008 dan Ketika Cinta Bertasbih (KCB) tahun 2009. Tak dipungkiri pasca film itu melejit, masyarakat yang konon alergi  jilbab besar, malah berkebalikan. Jilbab besar menjadi tren di masyarakat.

Sebagai penikmat film, waspadalah. Jangan menelan mentah-mentah dalam menontonnya. Seringkali kita terlalu menikmati, karena semua unsur-unsur media (audio, visual, video) di film membuat kita sebagai manusia sering terbawa ke alam bawah sadar. Mendampingi anak-anak di bawah umur, ketika menonton film. Anak-anak masih belum dapat berpikir kritis. Bersyukur jika yang disebarkan itu adalah ideologi atau gaya hidup yang positif. Celaka jika yang disebarkan adalah hal yang negatif. Mari bersama menjadi generasi cerdas bermedia.

(Rahma Darma Anggraini, pegiat Komunitas Gapura)

SHOUKOKU NO ALTAIR BELAJAR POLITIK DARI KOMIK

Shoukoku no Altair MCApa yang anda pikirkan ketika mendengar kata “politik”? Mungkin mayoritas dari kalian akan berkata “ah ribet!”,”politik itu rumit”, “politik itu penuh tipu daya” dan semacamnya. Namun bagaimana jika kita bisa belajar tentang politik, mengelola sebuah Negara, menyusun siasat cerdas, sekaligus mempelajari model sejarah dan budaya kerajaan besar di masa lalu dalam sebuah ilustrasi sederhana bernama komik? Mungkin itulah yang mendasari karya seorang komikus bernama Kotono Kato.

Shoukoku No Altair[1] bercerita tentang seorang pasha[2] termuda dalam sejarah Turkiye[3]  bernama Tughril Mahmud. Tujuan awal Mahmud menjadi pasha agar dapat menciptakan kedamaian dan kemakmuran di Turkiye. Tujuan tersebut dilatarbelakangi oleh masa lalunya dimana seluruh penduduk desanya habis terbunuh dalam suatu perang. Namun ternyata di awal menjadi Pasha, Mahmud langsung dihadapkan dengan persoalan politik yang pelik, yaitu tuduhan pembunuhan  terhadap Menteri Balt-Rhain[4] dan Pemberontakan di Kota Hisar di mana salah seorang teman baik Mahmud, menjadi tersangka kasus ini. Dengan idealisme yang dimiliki, Mahmud berhasil menyelesaikan semua konflik tersebut. Setelah ditelusuri, semua kejadian tersebut ternyata didalangi oleh Perdana Menteri Balt-Rhain Virginia Louis, yang kemudian menjadi musuh utama dalam cerita ini dengan kecerdasannya. Kejadian itulah mengawali perang besar yang sedang menanti dunia dan Mahmud tentunya.

Komik ini diterbitkan oleh Level Comic, yang memiliki segmen pembaca Dewasa (yang artinya agak tidak direkomendasi untuk anak kecil). Komik ini menarik untuk dibaca, terutama remaja yang ingin melihat sisi lain dari sebuah konflik politik dan kekuasaan. Meskipun mengambil latar sejarah Perang Salib, Kotono Kato dengan cerdas menghindari isu sensitif terkait agama dan kepercayaan. Beliau menggunakan cara dengan mengganti kepercayaan yang ada di komik ini dengan kepercayaan terhadap alam, Misal Turkiye yang memiliki latar belakang Islam diubah menjadi kepercayaan terhadap Dewa Air. Selain itu, Kato juga menggambarkan sosok seorang Tughril Mahmud yang mempunyai idealisme berpolitik yang harus berbenturan dengan realitas dunia politik di Divan[5] yang penuh intrik. Usianya yang masih muda kadang menjadikan Mahmud seperti “kekanak-kanakan”,”terlalu idealis dan melangit”,”awam dan tidak realistis” dan semacamnya yang jamak terjadi di perpolitikan negeri kita.

Dirangkai menjadi sebuah cerita dengan alur menarik, Shoukoku No Altair tidak hanya menjadi sebuah komik yang menghibur namun juga kita dapat belajar bagaimana membuat sebuah rekayasa politik, pengambilan keputusan seorang pemimpin, geopolitik internasional, kepercayaan dan sebagainya. Meskipun memiliki sedikit kekurangan seperti gambar yang masih cenderung kurang begitu baik dan jadwal terbit yang belum teratur, komik ini sangat direkomendasi untukmu yang lebih suka membaca komik daripada buku-buku politik yang “berat” namun juga mendapatkan pengetahuan yang penting. Jadi, kata siapa belajar politik itu berat? Yuk belajar politik melalui komik!

 

Azka Hasyami

[1] versi Indonesia berjudul Altair : Tale of The Great War

[2] semacam anggota dewan dalam struktur pemerintahan Khilafah Ottoman

[3] nama pemerintahan Kekhilafahan Turki Ottoman dalam cerita ini

[4] nama pemerintahan Byzantium dalam cerita ini, kerajaan yang berseteru dengan Turkiye dan berambisi menginvasi Turkiye dan seluruh daratan

[5] nama lain Dewan di Turkiye

Memperjuangkan Budaya Ketimuran Lewat Sastra

Budaya-timur

Di negara kita, Indonesia, sangat lekat dengan adat dan budaya ketimuran. Budaya yang menjunjung tinggi nilai moral, etika, dan kesopanan. Beberapa tahun terakhir bermunculan karya sastra kontemporer dengan kemasan yang vulgar. Seperti novel Supernova karya Dewi Lestari yang menceritakan homoseksualitas kaum gay, atau novel Saman karya Ayu Utami yang mengungkap heteroseksualitas secara vulgar. Jika ditelaah lebih dalam ini sangat bertentangan dengan norma yang kita anut sebagai orang timur. Apalagi penulis adalah perempuan, yang mengungkap soal seksualitas. Sangat tidak elok. Menjatuhkan nilai moralitas dan tidak mendidik masyarakat.

Jika sastra kontemporer itu sekarang mampu mendobrak tatanan sastra konvensional yang kemudian menjadi sastra mainstream di masyarakat Indonesia, maka bisa dibayangkan bagaimana moral masyarakat Indonesia kelak. Seks akan menjadi bahasan yang lumrah bagi siapapun, bukan lagi hal yang tabu untuk dikonsumsi publik. Dan dianggap wajar.

Dalam bukunya Dewi Lestari, Supernova, mengungkap satu pasangan gay yang sama-sama sekolah di Amerika. Tokoh Dhimas dan Ruben memiliki ketertarikan satu sama lain dan menjadi pasangan selama sepuluh tahun. Novel-novel lain seperti Saman (karya Ayu Utami) atau Garis Tepi Seorang Lesbian (Karya Herliniatin) yang mengungkap seksualitas dengan diksi lebih vulgar, telah mengkhawatirkan para sastrawan dan pekerja pendidikan di Indonesia. Karya, bukanlah sebuah produksi semata, tetapi berpengaruh pada nasionalisme bangsa.  Menurut Meidy Lukito (Penyair dan Dosen Universitas Muhammadiyah Malang) saat ini banyak sekali buku-buku yang menggarap masalah seksualitas—secara visual maupun konten—yang  sebenarnya masih tabu bagi nilai-nilai ketimuran untuk diekspos ke hadapan publik. Menurutnya, hal semacam ini patut kita pikirkan bersama, akan ke manakah bangsa ini diarahkan jika karya sastra tidak lagi punya muatan pengajaran moral dan intelektual yang benar.

Hal serupa juga disampaikan seorang pemerhati sastra dari Sumatera Barat sekaligus praktisi pendidikan, Yusmarni Djalius, mengungkapkan moralitas dan etika adalah bagian penting dari muatan sebuah karya sastra yang harus tetap diperhatikan. Harapannya supaya para penulis wanita yang telah mengundang pelecehan bagi wanita secara umum tersebut dapat lebih arif meminimalisasi penggunaan diksi-diksi vulgar yang dirasa kurang perlu untuk keutuhan sebuah karya sastra.

Wolfgang Iser, tokoh resepsi sastra, mengatakan bahwa sastra harus dinilai bukan hanya berdasarkan bentukan tulisan itu semata, melainkan juga harus diperhatikan pengaruhnya bagi konsumen; idealnya para pelaku sastra Indonesia bisa lebih arif melihat kondisi bangsanya sendiri. Dalam kasus tanggapan pembaca ketiga novel ini, terlalu banyak pembaca yang merasa risih dan menilai negatif anomalitas Saman sebagai karya sastra serius yang bertabur diksi, orientasi, adegan dan perilaku seksual yang permissif serta bertolak belakang dengan budaya ketimuran. Demikian juga dengan kedua novel yang mengangkat homoseksual (Gay) dalam novel Supernova dan (lesbian) dalam novel Garis Tepi Seorang Lesbian.

Berangkat dari permasalahan seperti ini, Afifah Afra, peraih Pena Award 2002, Kategori Novel Terpuji: Bulan Mati di Javasche Oranje”, yang merupakan Sekjen Badan Pengurus Pusat FLP (2013-2017) menggagas Gerakan Sastra Santun untuk menepis karya sastra yang berdampak tidak baik itu dengan karya sastra yang lebih santun, sopan, dan memiliki nilai edukasi untuk masyarakat Indonesia. Menurutnya ada upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menjadikan sastra santun itu menjadi mainstream,

  1. Pembentukan lembaga yang kredibel dan diakui.
  2. Para penggerak sastra santun harus mampu menunjukkan keunggulan dalam teknis pengemasan karya.
  3. Adanya arus yang mendukung gerakan yang diusung dengan konsisten.

Upaya-upaya kebaikan ini tidak bisa diciptakan satu-dua orang, tetapi butuh dukungan dari siapapun. Hendaknya lebih peka terhadap sajian karya-karya sastra yang bermunculan. Mbak Afra berpesan kepada pada pegiat media dan para penulis, “Ayo bersatu, beradu kepandaikan dalam kebaikan, berjuang lewat pena kita secara total”.

 

Penulis Ari Wibowo Alumni Fakultas Pertanian UGM Ilustrasi: Google

Kebangkitan Sastra Islami

Novels
Setiap mendengar kata “novel dakwah”, “novel Islami”, “sastra Islami”, saya hanya dapat membayangkan “Ayat Ayat Cinta” saja walaupun saya pribadi termasuk terlambat membaca novelnya. Saya baru membaca novelnya pada 3 Desember 2014 kemarin, 10 tahun setelah diterbitkan. Tapi saya sudah menonton filmnya saat diputar di bioskop.

Novel “Ayat Ayat Cinta” pertama kali cetak pada Desember 2004, setelah dirilis menjadi cerita bersambung di harian Republika dari 10 April sampai 23 September 2004. Sama seperti novelnya yang meraih lebih dari 30 kali cetak, filmnya mendulang lebih dari 3 juta penonton.

Begitu fenomenalnya, Mohammad Fauzil Adhim dalam endorse-nya, sampai tidak yakin akan ada novel serupa “Ayat Ayat Cinta” dari penulis muda Indonesia lainnya mungkin hingga beberapa puluh tahun ke depan. Novel “Ayat Ayat Cinta” dinilai begitu menyentuh, dalam, dan dewasa.

Terkait dakwah melalui novel, belum banyak novel di Indonesia menyamai “Ayat Ayat Cinta” yang sanggup mengolah alur cerita sehingga ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah dapat masuk dan mengalir lembut tanpa pembaca merasa dipaksa menerima.

Banyak yang bertanya-tanya apa resep menulis Kang Abik sehingga mampu menghasilkan banyak karya sastra yang demikian fenomenal, khususnya “Ayat Ayat Cinta”. Sampai pada Jogja Islamic Fair 2nd di Masjid Mujahidin UNY tanggal 6 Januari 2015, saya mendengar sendiri Kang Abik mengatakan bahwa niatnya menulis (“Api Tauhid”) adalah untuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu pada kolom wawancara di harian Republika, Ahad, 4 Januari 2015, Kang Abik memberitahukan bahwa, “… Bahwa setiap kali menulis jangan lupa membaca basmalah. Lalu begitu mulai menulis, jangan biarkan tangan yang menulis kata-katamu, tapi serahkan kepada jiwa dan hati untuk menulisnya! Selamat berkarya.”

Terkait dengan dakwah, “Ayat Ayat Cinta” membuktikan bahwa melalui novel pun kesuksesan dakwah dapat direngkuh. Menyebarkan pemikiran-pemikiran Islam, meluruskan aqidah, memperindah akhlaq, membakar semangat mencari ilmu, menguatkan tekad menuju Baitullah untuk umrah dan Haji, dan sebagainya.

Indonesia masih butuh banyak “Ayat Ayat Cinta” yang lain. Masih banyak materi keislaman yang lain yang butuh diceritakan kepada masyarakat luas melalui novel. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa buku terutama novel, lebih mudah menyentuh segala lapisan sosial masyarakat. Orang lebih suka membaca yang ringan dibanding tema berat seperti kenegaraan, politik, budaya, filsafat, ekonomi, teknik, diktat kuliah. Jika ke toko buku, saya memperhatikan, rak buku bagian komik dan novel sering ramai berbeda dengan rak buku bagian sosial, buku pelajaran.

Semoga sastra Islami semakin banyak lahir dan kualitasnya meningkat dari waktu ke waktu.

 

Penulis
Yurista Yohasari
Alumni Fakultas Hukum UGM

Literasi Media, Pentingkah?

8662143

Literasi media adalah sebuah kemampuan untuk memahami, menganalisis dan juga mengetahui bagaimana sebuah media/informasi dibuat dan diakses publik. Media membangun fakta yang ada di lapangan untuk kemudian mentransfernya menjadi sebuah makna/informasi kepada pembaca. Media juga memiliki kekuasaan untuk menyebarkan informasi dari objek yang satu ke objek lainnya. Perlahan namun pasti, media bertransformasi menjadi sebuah kekuatan baru yang dapat memengaruhi intelektualitas publik.

Mari kita umpamakan media sebagai makanan. Jurnalis layaknya seorang chef yang bertugas meracik dan meramu bahan-bahan makanan sehat menjadi menu makanan yang sehat dan menyehatkan pula. Kemampuan yang dimiliki chef untuk mengolah bahan makanan dengan baik, dapat menghasilkan sajian makanan dengan nilai gizi tinggi. Begitu pula halnya seorang jurnalis, jika mereka memiliki kemampuan/integritas mengolah fakta lapangan dengan baik maka mereka akan menghasilkan berita dengan nilai informasi yang berkualitas.

Selain mengetahui hal yang memengaruhi aspek pengolahan media seperti yang telah disinggung di atas, kita sebagai publik juga harus mampu memahami proses pendistribusian informasi tersebut. Dalam hal makanan, publik dituntut untuk cerdas memilih makanan cepat saji dengan risiko gizi rendah atau makanan lain dengan gizi yang lebih tinggi. Pendistribusian makanan dilakukan di restoran dan tempat-tempat makan. Namun, bagaimana jika restoran/tempat makan yang ada di wilayah kita dimonopoli oleh segelintir pemilik modal yang lebih mementingkan keuntungan dibanding kesehatan publik?

Seperti halnya makanan, pendistribusian media juga tidak lepas dari jawilan tangan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka mampu memengaruhi jurnalis atau ruang media untuk menampilkan informasi-informasi tertentu saja. Memonopoli makna informasi kepada publik. Jurnalis yang baik pun, kadang tunduk dengan sistem pendistribusian media ini. Hal seperti inilah yang harusnya kita hindari. Berbekal kemampuan literasi media, publik dapat membedakan antara informasi berkualitas dan informasi yang tak jelas.

Hasil survey literasi dunia PISA (Programme for International Student  Assesment) pada tahun 2009 menunjukkan rendahnya literasi (menulis dan menbaca) di kalangan pelajar indonesia. Indonesia menempati urutan ke-62 dari 72 negara, tertinggal jauh dari negara tetangga kita Thailand yang menempati urutan posisi ke-53. Hasil survey tersebut dapat menjadi cambuk bagi kita untuk mulai kembali menggalakkan budaya literasi. Budaya literasi yang tidak lagi hanya membahas ruang menulis dan membaca, namun juga mulai membentuk paradigma literasi baru yakni ‘Literasi Media’.

Harapannya, gerakan literasi media mampu mencerdaskan publik untuk dapat membuat keputusan sendiri dalam memilih media. Seperti makanan yang kita pilih, antara makanan cepat saji atau makanan yang lebih bergizi lainnya.

 

Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Literasi_media (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.43)
http://medialiterasindonesia.blogspot.com/2012/03/media-literasi-di-indonesia-menurut.html (diakses tanggal 28 januari 2015 : 17.45)
https://haidarism.wordpress.com/2014/02/18/literasi-sebagai-budaya-mencerdaskan-bangsa/ (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.47)
http://prianganaulia.blogspot.com/2014/02/transformasi-makna-literasi.html (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.50)
http://2012pbic.blogspot.com/2014/02/menumbuhkan-budaya-literasi-bukan-lisan.html (diakses tanggal 29 Januari 2015 : 05.52)

 

Penulis
Maisyarah Pradhita Sari
Mahasiswi Fakultas Teknik UGM

 

Wikileaks: Ketika Para Diplomat Bergosip

sby-wikileaks
Di awal pertengahan bulan Maret 2011, berita mengenai cacatnya kepemimpinan presiden Indonesia menjadi headline dalam dua media massa Australia
. Sumber berita berasal dari bocoran kawat diplomatik AS yang dilansir Wikileaks, dengan tajuk ‘Yudhoyono Abused the Power’ (The Age) dan ‘Corruption Allegations Against Yudhoyono’ (The Sydney Morning Herald/SMH). Di awal bulan April 2011 ini, berita tersebut menghilang dan terlupakan…

Sensasi Media

Harian The Age dan The SMH berasal dari satu perusahaan media yang sama, Fairfax Ltd. Keduanya merupakan surat kabar berpengaruh di wilayah cetaknya masing-masing. The Age terbit di Ibu Kota Victoria, Melbourne. Sedangkan The SMH beredar di Ibu Kota New South Wales, Sydney. Kesamaan headline dan isu-isu yang diangkat antara keduanya menimbulkan tuduhan mengenai kaitan antara kepemilikan dengan kontrol pemberitaan. Tuduhan tersebut merupakan isu lawas. Pada tahun 1971, juragan Fairfax, Sir Warwick Fairfax, pernah menegaskan bahwa kebijakan editorial tidak diatur perusahaan. Meski demikian, media-media dibawah kendali perusahaan yang sama cenderung akan mengeluarkan pemberitaan yang serupa arahan kepentingan pemilik perusahaan sebuah media terhadap konten-konten produknya merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.

Umumnya, perusahaan media di Australia lebih pro terhadap pemerintahan dari Partai Liberal, yang lebih membuka kebebasan terhadap para pemilik modal besar bahkan pemonopoli (perusahaan media) dibanding Partai Buruh yang cenderung kiri. Namun, media dibawah Fairfax Limited selama ini dikesankan sebagai media yang bias dalam keberpihakannya terhadap golongan tertentu di pemerintahan. Besar kemungkinan bahwa perusahaan media tersebut tidaklah mengejar keberpihakan melainkan selling point. Semakin spektakuler dan menggemparkan suatu berita maka media yang memuatnya akan semakin diminati.

Bukan hanya kali ini saja media yang dinaungi Fairfax menggemparkan publik Indonesia. Pada 10 April 1986, The SMH menerbitkan sebuah artikel karangan David Jenkins yang dianggap menghina Presiden Republik Indonesia. David Jenkins yang pada 2011 ini berusia 68 tahun, di masa mudanya merupakan satu dari sedikit wartawan yang mampu mewawancarai Presiden Soeharto dan Ibu Tien. Lulusan Jurusan Hukum dari Melbourne University tersebut memilihkan judul “After Marcos, Now for the Suharto Billion” untuk tulisan yang akhirnya sempat meretakkan hubungan Australia dan Indonesia kala itu. Jenkins bahkan dicekal masuk ke Indonesia, dan baru mendapat izin kembali saat Konferensi APEC dilaksanakan di Jakarta tahun 1994.

Jurnalis di Australia hanya berpegang pada norma dan prinsip-prinsip yang disepakati bersama. Salah satunya ialah tidak memfitnah dan mencemarkan nama baik (Libel). Sistem pers di Australia tidak mengenal sensor, karena menerapkan sistem kebebasan pers liberal. Menurut Zulkifli Hamid dalam buku Sistem Politik Australia (Remaja Rosdakarya, 1999), dalam sistem pers liberal Australia, tidak ada legislasi yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk campur tangan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap isi pemberitaan maupun program-program dalam media massa.

Itulah mengapa baik dalam kasus artikel Jenkins maupun bocoran Wikileaks dalam harian Australia tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Untuk merespon pemuatan artikel Jenkins, Bill Morison, Dubes Australia kala itu, hanya mampu menyatakan penyesalan atas dimuatnya tulisan tersebut. Adapun kali ini, Dubes Australia Greg Moriaty enggan menyampaikan komentarnya.

 

Gosip di Kalangan Elit

Laporan yang disajikan dalam kawat diplomatik AS menunjukkan betapa diplomat Amerika Serikat menjalankan kerjanya dengan sangat baik. Observasi merupakan salah satu kewajiban perwakilan diplomatik. Seorang duta diharapkan mampu menelaah dengan sangat cermat tiap dinamika yang terjadi di negara penerima. Hal ini terutama sekali berkenaan dengan kondisi pemerintahan setempat yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan serta arah kebijakan luar negeri negara asalnya. Laporan mengenai hasil pengamatan dikirimkan kepada pemerintah negara asal dan bersifat rahasia.

Seperti yang diungkapkan oleh Scott Marciel, Duta Besar AS untuk Indonesia, bahwa laporan dalam kawat diplomatik seringkali bersifat mentah. Laporan tersebut mungkin saja hanya berasal dari interaksi yang dilakukan para utusan negara dengan pejabat-pejabat di negara penerima. Mereka merumpi dan bergosip, hingga akhirnya terkoreklah aib-aib yang tidak layak diketahui khalayak.

 

Martabat Presiden

Laporan kawat diplomatik memang tidak layak dijadikan berita dalam media massa karena sifatnya yang sepihak, tidak cover both sides. Apabila beredarnya kawat-kawat diplomatik AS menunjukkan hasil kerja seorang diplomat dalam menjalankan kewajibannya, maka beredarnya isu yang dimuat dalam dua media cetak Australia menunjukkan kelemahan media dalam pembuatan berita. Dengan memperhatikan karakteristik perusahaan media Fairfax, bisa jadi headline dalam The Age dan The SMH hanya dimaksudkan untuk kepentingan komersil belaka, yakni menaikkan oplah penjualan dengan menghadirkan berita panas tentang Indonesia disaat wakil presidennya berkunjung ke Canberra.

Kalau saja pihak SBY mau, mereka dapat melaporkan pemberitaan tidak menyenangkan media Australia kepada The Press, Dewan Pers Australia (karena berita tersebut melanggar norma Libel yang seharusnya dijunjung bersama, misalnya). Beberapa kalangan bahkan memberi usul untuk memperkarakan pemberitaan tersebut. Permasalahannya adalah, pihak SBY memang tidak beritikad mengadukan pemberitaan yang menyaingi kegoncangan gempa dan tsunami di Jepang itu. Jalan yang dipilih pihak SBY untuk menangani perkara ini ialah bungkam dan mengubur pemberitaan ini dalam-dalam.

Organisasi Petisi 28 yang sempat lantang untuk melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh SBY ke Komisi Pemberantasan Korupsi kini tidak terdengar lagi gaungnya. KPK ogah menindaklanjuti data bocoran Wikileaks. Seorang pejabat negara menyatakan bahwa berita tersebut, kendati merusak martabat bangsa, tak lain hanyalah sampah belaka. SBY sendiri merasa bangga karena beliau dan pihaknya tidak terus-menerus turut dalam kegaduhan pemberitaan Wikileaks karena menganggap masih banyak hal yang dirasa lebih penting, dan mendorong rakyatnya untuk percaya bahwa dirinya menjaga integritas sebagai pemimpin negeri ini. Pada kunjungannya menemui Menteri Luar Negeri Australia, Kevin Rudd, tanggal 27 Maret kemarin pun, Juru Bicara Presiden Teuku Faizasyah menyatakan bahwa keduanya sama sekali tidak mengungkit perihal wikileaks.

Jika memang benar isi berita tersebut hanya merupakan data kacangan, hendaknya pihak SBY berani melakukan pembuktian dan bukannya membuat publik lupa akan pemberitaan tersebut. Walaupun hanya sekadar gosip, belum tentu bukan fakta. Meski sifat pemberitaannya menabrak norma, bukan berarti tidak nyata.

Apabila kasus ini dianggap merusak martabat bangsa, pihak SBY seyogyanya menyajikan pembenaran yang dapat kembali memperbaiki martabat Indonesia tercinta, dan bukannya mengajak masyarakat meredam kasus ini dalam-dalam, demi membangun kembali martabat SBY. Rakyat sungguh akan percaya terhadap integritas SBY, jika diyakinkan dengan bukti, tak sekedar kata dan pencitraan belaka.

Di awal pertengahan bulan Maret 2011, berita mengenai cacatnya kepemimpinan presiden Indonesia menjadi headline dalam dua media massa Australia. Di awal bulan April 2011 ini, berita tersebut menghilang dan terlupakan…

 

Referensi:

Hamid, Zulkifli.Sistem Politik Australia.1999.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suryono, SH., Edi, dan Moenir Arisoendha.Hukum Diplomatik: Kekebalan dan Keistimewaannya.1986.Surakarta:Penerbit Angkasa.

 

Penulis
Ulya Amalia
Alumni Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UGM, Staff MITI Indonesia

Memaknai Indepedensi Media

        Dibukanya keran reformasi menjadi pedang bermata dua bagi perkembangan pers di tanah air.Hingga April 1999, telah diterbitkan 852 SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang memperluas kesempatan pengusaha untuk mendirikan usaha pers. Padahal selama 32 tahun era kekuasaan orde lama, Pemerintah hanya mengeluarkan 321 SIUPP. Di sisi lain, reformasi juga menjadikan media menjadi sangat bebas. Banyak media yang kurang melakukan penyidikan dan penelitian mendalam terhadap beritanya. Kebebasan yang diusung era reformasi membuat pers lebih berorientasi populis dan hanya mengangkat persoalan yang digunjingkan publik. Padahal pers memiliki peran yang krusial sebagai kontrol sosial. Terlebih lagi, permasalahan konglomerasi pers, dimana pers hanya dimiliki oleh segelintir pengusaha yang memanfaatkan media sebagai ajang untuk mempengaruhi publik agar mengikuti ideologi dan tujuan mereka.

   Konglomerasi media tentu tidak terlepas dari independensi media. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstieldalam sembilan elemen jurnalismenya, para jurnalis harus menjaga independensi terhadap sumber berita.Pada prinsipnya wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Wartawan yang beropini juga harus tetap menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan mematuhi berbagai ketentuan lainnya.

        Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik pun menjelaskan bahwa Pers sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Pers haruslah melaksanakan kegiatan jurnalistik tanpa ada campur tangan atau keterikatan dari pihak manapun baik itu keterikatan kepemilikan ataupun unsur politik.

            Kasus gugatan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi salah satu contoh buruknya independensi media saat ini. KIDP menggugat dengan alasan, Kominfo dan KPI lalai dalam menjalankan Undang-Undang Penyiaran terkait pengaturan pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran. Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pasal 32 PP Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, mengatur jelas bahwa satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda.

            Ada begitu banyak penyebab berkurangnya independensi media. Mulai dari sistem kelembagaanpengawasan terhadap media hingga regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Era reformasi yang sejalan dengan semangat kebebasan seharusnya dapat dimaknai sebagai kebebasan yang taat aturan. Harus disadari oleh semua pihak bahwa media tidak hidup di ruang yang vakum, melainkan berkembang secara dinamis di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa informasi yang beredar adalah informasi yang mencerdaskan.

 

Desi Martika Vitasari, Alumnus Fakultas Hukum UGM