Media dan Literasi di Ujung Tanduk

media-freedom-newsfirst

” Bingung ya, beda media beda beritanya ”

” Media yang iitu kalau bikin cerita suka nggak nyambung judul dengan isinya ”

” Media S punya si A. Ya iyalah.., bakal belain. Kelompoknya sendiri kok ”

“ Website yang ini isinya jarang yang bener. Kok masih pada nge-share ya? ”

” Gw udah gak tau mau percaya berita yang mana. Bingung gw ”

Keluhan-keluhan serupa mungkin sering kamu dengar di percakapan sehari-hari atau malah kamu merupakan salah satu dari orang yang mengeluhkan hal tersebut.  Keberadaan  media masa (cetak dan elektronik) mulai jauh dari ketidakberpihakan dan etika jurnalisme. Kondisi ini membuat masyarakat bingun dalam mencari sumber informasi yang dapat dipercaya kebenarannya. Media yang beredar pada saat ini cenderung untuk berpihak kepada suatu kelompok sehingga informasi yang disampaikan cenderung memberikan keuntungan bagi kelompoknya masing-masing. Pembaca sebagai konsumen berita pun menjadi salah satu alasan lain semakin tidak jelasnya pemberitaan yang beredar. Konsumen yang pro dan kontra berusaha menyebarkan informasi yang didapat untuk menjatuhkan satu sama lain tanpa  berusaha mencari klarifikasi dari berita yang mereka dapat.

Hal- hal yang dipaparkan sebelumnya menjadi dasar dibentuknya komunitas Media & Literacy Movement. Suatu komunitas yang beranggotakan beberapa penulis dan pemerhati media dari berbagai universitas yang ada di Yogyakarta ini berusaha mengkaji bersama  keberadaan media dan literasi serta cara mengunakannya untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Keadaan terkini, proses perbaikan dan kontribusi media menjadi titik pokok diskusi yang akan dijalankan. Anggota komunitas mengadakan diskusi berkaitan dengan media dan literasi dan berusaha berlatih dengan bantuan dari pembimbing. Materi diskusi disampaikan oleh tenaga ahli yang diundang ke dalam agenda komunitas.

Diskusi pertama diadakan pada hari Jumat tanggal  12 Desember 2014. Diskusi interaktif diadakan dengan materi “Literasi Media” oleh Ganjar Widhiyoga (Pengurus Forum Lingkar Pena, Dosen dan sedang menempuh pendidikan Ph.D di Durham University).  Materi ini dipilih untuk menyamakan pemahaman dari anggota komunitas mengenai pentingnya media, keadaan terkini dan urgensi penyediaan media yang  pro serta sekaligus mampu mendidik rakyat. Pemahaman yang sama diharapkan bisa membuat sinergi antar anggota menjadi lebih baik.

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Mas Ganjar mengenai latar belakang media.

Media hadir sebagai penyuara aspirasi rakyat dan pengawasan terhadap oknum pemerintah. Keberadaan media begitu penting sehingga sering dianggap sebagai pilar  keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Media dinilai sebagai alat penyampai informasi yang selalu objektif dan memihak rakyat sehingga masyarakat cenderung untuk menerima begitu saja  pemberitaan media. Masalah muncul ketika media tersebut dikuasai oleh sekelompok kecil penguasa kaya. Pemilik modal dapat dengan mudah mengontrol pemberitaan media sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, rasa suka dan tidak suka terhadap suatu kelompok atau keputusan sedikit banyak  juga memengaruhi hasil para pencari berita. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi dialami sebagian besar media di seluruh dunia. Dua hal ini kemudian menjadi alasan diperlukannya keahlian khusus dalam mencari, memahami konteks, mengkritisi media lalu membuat produksi baru dari penalaran pribadi mengenai berita yang didapatkan.

Materi diskusi kemudian sampai pada permasalahan umat. Persoalan  pertama yang dhidapai umat Islam berkaitan dengan media adalah kurangnya minat mengakses media. Keadaan ini dimungkinkan karena ketidakpedulian atau kebingungan dalam mengakses berita. Kedua, tidak mampu memahami media, mudah menyebarkan informasi tanpa cek kebenarannya atau tidak bisa membedakan berita di situs umum dengan situs resmi berita. Tidak kritis cenderung reaktif, kalau sumber berita dari situs bernama Islam maka akan langsung dipercaya atau dianggap benar. Kalau kelompoknya diuntungkan maka benar, kalau kelompoknya direndahkan maka berita tersebut adalah bohong. Di sini kita melihat, ada ketidakmampuan memilah dan memproduksi media yang berkualitas.

Pemaparan materi di atas disambut baik oleh para anggota. Antusiasme tampak dari banyaknya pertanyaan yang muncul. Pertanyaan meliputi bagaimana membangun kemampuan menganalisa berita pada masyarakat, andil mahasiswa dalam membangun kesadaran literasi media, urgensi media Islam terpercaya dan sumbangsih yang dapat diberikan. Kesimpulan tanya jawab didapat ketika mas ganjar menyampaikan tantangan mengenai hal yang bisa anggota lakukan, memulai dari diri sendiri untuk mampu mengembangkan diri lalu berbagi kepada orang lain. Semangat tersebut yang membuat komunitas Media & Literacy Movement akan membentuk sebuah website sebagai ajang berbagi dan belajar.

“ Kecil asal konsisten, insyaallah bermanfaat, ” pesan Mas Ganjar.

Yova Tri Yolanda

Pemimpin Palsu di Zaman Kekeliruan

no-button

 

Sebuah kenyataan yang menyakitkan, namun harus kita hadapi saat ini adalah sebuah masa dimana para pemimpin palsu bermunculan. Begitu banyak sifat palsu yang ada pada orang yang mendapat kepercayaan dan tanggung jawab dalam sebuah urusan yang besar. Kepalsuan demi kepalsuan berupa penampilan fisik maupun perilaku tokoh yang hadir setiap hari, bahkan setiap detik pada lintasan pikiran masyarakat kita yang telah terkontaminasi oleh rias iklan dan media yang menyihir.

Di sisi lain, sebagian besar masyarakat di zaman kekeliruan ini kian terpesona akan kepalsuan yang diumbar. Masyarakat dengan sukarela memuja tanpa kesadaran rekam jejak yang dipuja, demi selembar dua lembar uang, harapan dan nasib mereka tergadaikan dari sebuah proses kepemimpinan yang jujur dan adil. Sebagian besar dari kita sudah tidak logis akan sebuah kesadaran politis yang baru sampai tahap ‘pendidikan dan kesehatan gratis’. Pada akhirnya masyarakat keliru dalam memahami kesejatian pemimpin dan karakter kepemimpinan yang semakin kelabu serta jauh dari kebijaksanaan.

Di zaman kekeliruan ini kita bisa melihat media menjadi senjata paling ampuh untuk dapat menggiring opini masyarakat. Mereka dengan mudah terombang-ambing, terpecah belah oleh isu dan berita yang masih perlu diuji keabsahannya. Padahal, jika kita melihat media pada posisi sebuah gate of information yang netral, tentu kita akan mendapati segala sesuatu yang diberitakan akan tersaring dengan sendirinya secara objektif. Sayangnya, tidak semua media memiliki idealisme ke arah sana. Lebih menyakitkan, jika media yang bersangkutan terbukti ditunggangi oleh kepentingan pemilikinya.

Syed Muhammad Naquib Al Attas (Islam dan Sekulerisme, hal.130) memaparkan bahwa kemunculan pemimpin-pemimpin yang tidak layak untuk sebuah kepemimpinan yang sah bagi umat Islam, yang tidak memiliki taraf moral, intelektual dan spiritual yang tinggi sebagai sebuah syarat kepemimpinan Islam akan menjadikan umat kehilangan adab. Ia memiliki hubungan sebab akibat. Semakin jauhnya umat dari adab, maka kepemimpinan Islam akan semakin semu. Hilangnya adab menyiratkan hilangnya keadilan, yang pada gilirannya menampakan kebingungan dan kekeliruan dalam memandang ilmu (kebenaran).

Para pemimpin palsu harus bertanggung jawab, karena telah menyebabkan kekacauan kondisi di kalangan umat. Karena umat kehilangan standar kejernihan akan sebuah nilai kebijaksanaan karena ketidakpahaman pemimpin dalam memimpin umat. Akibatnya, lambat laun umat akan kehilangan upaya dan kemampuan untuk mengenali dan mengakui para pemimpin yang sejati.

Kondisi kekacauan pada zaman kekeliruan ini akan memunculkan fenomena seorang pemimpin yang dibenci oleh yang dipimpinnya. Padahal Rasulullah bersabda:

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka. Beliau ditanya, Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka? maka beliau bersabda: Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka. (HR. Muslim No.3447)

Pada zaman kekeliruan ini, ternyata bukan hanya pemimpin palsu yang bermunculan. Ada juga ‘ulama’ palsu yang senang akan perdebatan yang tiada henti, gemar berpolemik, saling merendahkan satu sama lain, bahkan sampai melemparkan tuduhan kafir kepada ulama lain. Sungguh, zaman ini menjadikan setiap komponen di dalam umat telah kehilangan adab sebagaimana yang telah Rasulullah dan generasi pertama umat ini contohkan.

Menurut saya, faktor utama keterjerumusan dalam zaman kekeliruan ini adalah proses despiritualisasi atau penghapusan unsur kerohanian manusia dan penyamarataan (generalisasi). Penghapusan unsur kerohanian manusia ditandai dengan paham sekulerisasi yang merebak di kalangan umat. Contohnya memisahkan nilai keagaaman dan unsur pemerintahan, pandangan muslim tentang parameter keshalihan yang dicukupkan dengan ibadah maghdah saja, hingga pemisahan syariat Islam dengan muamalah seperti pernikahan, perdagangan, pendidikan dan lain-lain. Tanda-tandanya mungkin kita mulai menyadari sekarang dimana ‘simbol-simbol’ keislaman sedikit demi sedikit dicopot, dimulai dari cara berpakaian yang tidak sesuai dengan syariat hingga kurikulum keislaman yang hanya sebatas teori dan formalitas yang diterapkan pada proses pendidikan kita. Sedangkan penyamarataan akan berkaitan dengan begitu serampangannya orang mengatakan hal yang sama padahal tidak sama. Contohnya, menganggap bahwa Islam adalah sama dengan agama lain, upaya menuntut persamaan hak asasi manusia, persamaan gender hingga masalah toleransi antar agama yang kebablasan.

Sebagai umat yang besar, umat Islam harus mengkaji kembali sebuah gambaran kepemimpinan sejati yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para pemimpin terdahulu yang telah membawa kejayaan umat. Kita harus menyelidiki dengan seksama dasar-dasar cara berpikir pemimpin serta logika mereka dalam melihat dan bertindak terhadap apa yang dipimpinnya. Kita harus banyak belajar pada mereka yang memang diakui oleh umat akan pengabdiannya untuk Islam, sehingga kita mendapatkan ilmu dan kebijaksanaan mereka yang lambat laun akan terlahir dengan sendirinya sebuah adab yang semestinya tercermin dari Islam sebagai rahmat untuk semesta. Adab yang memadukan pandangan spiritual, mental dan intelektual yang memenuhi standar untuk melahirkan pemimpin sejati yang dirindukan umat, bukan pemimpin palsu yang berhias gincu dan membuat kita tertipu.

Saif Fatan

Jogja Kota Inklusi

difabel

 

Difabel sebagai salah satu komunitas masyarakat kadangkala tidak mendapatkan hak-haknya dan cenderung terpinggirkan. Tidak heran jika kemudian paradigma masyarakat terlanjur memberi label negatif yang berdampak buruk bagi perkembangan sosial panyandang difabel. Implikasi sosial dari difabilitas dapat dilihat dari berbagai perlakuan dan kebijakan masyarakat tentang difabel. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial penyandang difabel yang menyangkut partisipasi dan penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi.

Perlu diakui bahwa usaha-usaha pencitraan positif bagi penyandang difabel telah gencar dilakukan, misalnya memperluas akses pendidikan, pertunjukkan bakat minat, sampai memperbanyak akses fasilitas sosial yang memudahkan difabel beraktifitas. Sistem birokrasi yang mempermudah difabel dalam berkontribusi dalam masyarakat juga memiliki andil besar dalam usaha pencitraan positif. Usaha ini sejalan dengan perubahan pandangan dunia modern terhadap difabel dimana sekarang tidak lagi dianggap orang cacat dan perlu disantuni, tetapi sebagai individu yang mandiri, dapat melakukan keputusan sendiri dan memiliki hak dalam bermasyarakat.

Berkaca pada Peraturan Walikota DIY No. 8 tahun 2014 tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, maka pemenuhan hak-hak bagi difabel harus diupayakan, apalagi jika menyangkut hak dasar difabel. Kondisi menguatnya partisipasi aktif difabel merupakan dampak dari berbagai kebijakan pemerintah, seperti jalur khusus difabel dalam penerimaan pegawai negeri, pencanangan kawasan Malioboro sebagai kawasan ramah difabel, merebaknya sekolah-sekolah inklusi, maupun dibangunnya fasilitas umum yang dapat diakses difabel.

Pencanangan Kota Yogyakarta sebagai Kota Inklusi harus disertai dengan partisipasi aktif dari semua pihak. Segala kebijakan publik dalam berbagai sektor mulai dari politik, sosial, budaya, hukum, HAM, bahkan pendidikan seyogyanya dapat mengakomodasi kebutuhan difabel sehingga kota inklusi yang ramah bagi difabel dapat benar-benar dirasakan oleh semua pihak.

 

Dwitya Sobat A. D.

Media & Literacy Movement (Behind The Scene)

digitale-2-500x333

 

Malam minggu itu kami membeli roti bakar di pinggir Jalan Kaliurang. Kami mempersiapkan bekal untuk begadang agak malam. Kios roti bakar tempat kami membeli memang paling terkenal di sekitar jalan ini. Pembelinya sampai antri hingga banyak yang tidak mendapat bagian kursi. Sebagian besar pembeli fokus memerhatikan penjual mengolah roti bakar dengan lincahnya, namun perhatian kami tertuju pada layar smartphone masing-masing.

Malam itu, saya berniat menginap di kontrakan teman saya. Sebenarnya hari masih sore, baru lepas isya di Yogyakarta. Bisa saja saya pulang ke rumah di Bantul setelah mengantar teman itu sampai di kontrakannya. Namun ini masih ada kaitannya dengan perhatian kami pada smartphone di kios roti bakar itu. Saya memilih tidak pulang malam itu, agar tidak menyia-nyiakan waktu 45 menit perjalanan Jogja-Bantul demi mengikuti sebuah diskusi di Grup Whatsapp pada waktu yang sama.

Diskusi ini saya anggap berbeda dari diskusi-diskusi yang pernah saya alami sebelumnya. Untuk yang satu ini, saya berkorban cukup serius (ceilaaah) untuk berpartisipasi di sebuah diskusi Whatsapp. Diskusi tersebut adalah kesempatan perdana –yang sudah saya nanti-nantikan- dari sebuah Grup Whatsapp yang saya bentuk sendiri. Ia bernama “Media & Literacy Movement”.

Lima tahun mengenyam pendidikan di kampus, membuka kesadaran saya lebih mendalam tentang kondisi media tanah air. Hanya berawal dari suka menulis, sejak semester awal kuliah saya banyak melibatkan diri dalam organisasi kepenulisan dan kemediaan. Entah mengapa, lima tahun kuliah itu saya mau saja terus-menerus terlibat dalam organisasi kemediaan. Mulai dari level fakultas, universitas, sampai regional Yogyakarta. (baru menjelang lulus kepikiran, kok yo gak nyoba laine) Memulai kehidupan kampus sebagai mahasiswa baru yang polos (imut, lugu, dan menggemaskan :p) serta tidak tahu banyak tentang dunia media, perlahan saya sadar bahwa ada masalah serius di wilayah media tanah air kita. Hingga kini pengetahuan tersebut telah berubah menjadi perasaan meradang untuk membantu mencarikan jalan keluar.

Sebelumnya, kita perlu samakan frekuensi. Mungkin ada di antara pembaca yang belum merasakan permasalahan pada media kita? Media tanah air? Saran saya, segera keluar dari dunia pribadi Anda, dan buka jendela browser seluas-luasnya. Media bergerak dengan tujuan membentuk opini. Ia kini dapat kita konsumsi setiap hari, setiap menit, setiap detik. Hampir seluruh jenjang usia, dari yang tua hingga balita (yang sudah bisa melihat dan mendengar dengan baik), kini dengan mudah mengonsumsi media. Sayangnya, orientasi media tanah air saat ini mulai melenceng drastis daripada yang semestinya, bukan lagi menayangkan informasi dan hiburan yang mendidik masyarakat namun menjadikan masyarakat sebagai komoditas pasar.

Media semakin tunduk pada pemilik modal, bukan kepentingan publik yang diutamakan. Informasi ‘hoax’ berjejalan di meja makan kita, demi ratting tega saja mengelabui pemirsa. Tayangan hiburan setiap hari menyajikan kekonyolan, jauh dari konten pendidikan. Berita, melenceng jauh dari kaidah jurnalistik yang semestinya dipegang erat. Mirisnya, angka statistik masyarakat yang memahami media literacy jauh di bawah batas standar. Tak heran hingga ada yang menyebut, media mati sebelum ajal.

Awalnya saya berniat mencari sebuah lembaga riset di Yogyakarta yang berkonsentrasi pada wilayah media, dan bergabung di dalamnya. Bayangan dalam kepala saya mungkin sudah ada sebuah komunitas yang peduli kondisi media saat ini dan membentuk sebuah lembaga riset yang komprehensif. Di dalamnya diadakan diskusi-diskusi rutin seputar pemahaman media bagi anggotanya, berani mengkritik media atas nama rakyat, mengupas tendensi setiap media tanah air pada penguasanya, membedah karakter-karakter media tanah air, dan utamanya memberikan imun kepada masyarakat agar dapat menyaring hal-hal positif dari media serta tidak mudah termakan provokasinya. Lembaga riset yang juga gencar memberi edukasi media kepada masyarakat.

Beruntung saya memiliki jaringan yang cukup banyak dengan para pemerhati media berkat organisasi yang pernah saya ikuti. Saya mencoba menanyakan keberadaan lembaga riset seperti yang saya bayangkan. Pertama, saya menghubungi Mas Angga, seorang senior di kampus sekaligus mantan Ketua FLP Yogyakarta. Beliau bilang belum pernah mendengar ada komunitas semacam itu. Akhirnya beliau merekomendasikan saya untuk bertanya kepada Mas Ganjar Widhiyoga, seorang senior di kampus yang sudah sangat senior :p, beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua FLP Yogyakarta bertahun-tahun yang lampau (sampai lupa tahun berapa saking lamanya :p). Jawaban yang saya terima awalnya tidak jauh berbeda, beliau bilang sepertinya memang belum ada komunitas tersebut di Yogyakarta. Setelah yakin komunitas yang saya cari itu memang belum pernah eksis, singkat cerita saya dan Mas Ganjar bersepakat untuk memulai membentuk sendiri. Beliau saat ini sedang menjalani studi doktoral di Durham University (di Negeri Harry Potter nun jauh di sana). Kami pun memulai dengan hal terkecil yang kami bisa lakukan, yakni membuat grup diskusi melalui Grup Whatsapp. Kata Mas Ganjar, “Saya yakin, Mbak, sebulan dua bulan teman-teman yang bergabung akan mulai matang tentang media”. Saya pun menjadi semakin optimis dengan pembentukan grup ini.

Begitulah akhirnya, berbekal rasa keresahan yang tidak lagi dapat dibendung sendiri –dan mungkin banyak teman lainnya merasakan hal yang sama- saya kuatkan tekad untuk mengundang teman-teman sesama pengguna Whatsapp. Pertama kali dibentuk tanggal 12 Desember 2014. Kini total anggota yang tergabung dalam Grup Diskusi tersebut mencapai 49 orang, lintas universitas, lintas usia, bahkan lintas negara dan benua. Sebuah angka yang melampaui ekspektasi saya sebelumnnya. Bahkan seminggu sebelumnya tidak pernah terpikirkan grup ini akan ada.

Seperti merindukan kebangkitan media. Tak pernah terbayangkan akan seperti apa kebangkitan itu nantinya. Yang kita perlu lakukan hanyalah terus bergerak. Bergerak bersama keresahan dan kerinduan akan media yang lebih baik bagi masyarakat.

Maruti Asmaul Husna Subagio