(Review) Film Filosopi Kopi

Judul : Filosofi Kopi

Cast : Chicco Jerikho (Ben), Rio Dewanto (Jody), Julie Estelle (El)

Sutradara : Angga  Sasongko

Script writer : Jenny Jusuf

“Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”(Dee Lestari dalam bukunya “Filosofi Kopi”)

Filosofi Kopi adalah salah satu cerpen milik Dewi “Dee” Lestari yang dibukukan dengan judul buku yang sama.

Sinopsis

Ben, seorang barista kafe yang dia beri nama “Filosofi Kopi” yang menyuguhkan berbagai macam kopi dengan filosofi masing-masing. Ben barista lumayan idealis karena dia menolak adanya wifi di kafe dan sangat memperhatikan kualitas kopi yang dijualnya. Hal ini berbeda dengan Jody. Sebagai manajer kafe yang dibebani utang 800 juta peninggalan ayahnya, Jody berperan sebagai Paman Gober. Si bebek tua yang pelit dan cermat. Filosofi Kopi berkembang dan terkenal karena keunikannya dalam menyajikan kopi. Ada filosofi yang diberikan pada setiap kopi yang disuguhkan.

Di saat yang genting, datang seorang pengusaha kaya yang menantang Ben untuk membuat kopi paling enak dan akan menentukan kelanjutan tendernya. Dia menjanjikan 100 juta untuk Ben. Ben menyanggupi dengan syarat bukan 100 juta tetapi 1 milyar! Jika kalah? Ben yang akan membayar 1 milyar kepada orang tersebut.

“Gue nggak pernah bercanda soal kopi.” (Ben)

Ben membutuhkan waktu dua pekan untuk meracik kopi blend dengan berbagai macam kopi yang dikumpulkan. Setelah berhasil, ia menjual kopi yang dinamai “Ben’s Perfecto” di kafenya. Kemudian datanglah El, seorang Q-Grader (pencicip cita rasa kopi) bersertifikasi internasional yang mewawancarai Jody untuk Ben’s Perfecto. El mengatakan rasa Ben’s Perfecto enak, bukan paling enak. Menurut El, kopi yang paling enak adalah kopi tiwus. Saat itulah Ben meradang karena tidak terima masterpiece-nya direndahkan. Lalu pencarian kopi tiwus pun dimulai dan menghadirkan polemik serta kenangan masa lalu.

Filosofi Cappuccino: Keseimbangan dan keindahan adalah syarat mutlak keberhasilan. (Kartu Filosofi Kopi Cappuccino)

Review

Pendalaman karakter Ben dan Jody sangat bagus. Persahabatan mereka seperti nyata! Two thumbs up untuk Jenny Jusuf dalam menuliskan script-nya. Dialog mereka lancar alami, seperti tidak dibuat-buat. Bagaimana mungkin mereka berselisih paham pada setiap diskusi, namun ternyata benar-benar saling memahami? Lewat tatapan mata saja, Anda bakal mengetahui perhatian mereka, satu sama lain. Entah bagaimana Angga Sasongko mengarahkan adegan-adegan tersebut, sehingga tidak terasa canggung sama sekali. Dari segi latar tempat, landskap perkebunan kopi nya sangat pas dan nyata. Alur flashback dari kisah ini semakin terasa saat terkuaknya masa lalu dari tiap tokohnya.

“Filosofi Macchiato: Sendirian atau berdampingan hidup sepatutnya tetap penuh arti.(Kartu Filosofi Kopi Macchiato)

Secara umum, saya kagum dengan bagaimana Jenny mengeksplorasi cerita pendek sehingga menjadi sebuah film berdurasi nyaris dua jam ini. Detail adegannya tidak terasa kaku dan memperkaya suasana. Di sisi lain, walaupun film ini didukung oleh brand kopi terkenal, tetapi kemunculan logonya tidak memaksa dan cukup unik. Melalui Filosofi Kopi, Anda akan diajak untuk menyelami pengaruh biji kopi terhadap karakter dan kehidupan seseorang. Yang terjadi dengan Ben di masa lalu, telah membuatnya mendedikasikan hidup untuk kopi.

Filosofi Kopi juga sedikit menyinggung tentang “ambisi” dan “cinta”. Dua hal tersebut akan sangat berbeda pengaruhnya ketika diimplementasikan dalam pekerjaan yang kita lakukan, seperti yang dialami Ben dan Pak Seno. Implikasinya adalah bagaimana penerimaan kita terhadap kegagalan atas pekerjaan kita.

“Filosofi Kopi Tubruk: Kenali lebih dalam dan terpukaulah oleh lugunya sebuah pesona”. (Kartu Filosofi Kopi Tubruk) 

Namun, tak ada gading yang tak retak

Saya memiliki beberapa catatan mengenai film ini juga. Pertama, sebuah detail kecil namun sangat mengganggu, yaitu sosok Ben yang perokok aktif. Setahu saya, pecinta kopi apalagi barista, tidak akan merokok se-addict itu. Sebab, lidahnya akan terpapar tembakau dan kemampuannya untuk merasakan aroma dan cita rasa kopi akan menurun. Selain itu, kopi sangat sensitif terhadap bau. Kopi akan terpapar bau rokok, sehingga rasa kopi tersebut akan berbeda dengan yang natural. Saya kurang mengetahui apa motif Angga Sasongko dengan adegan rokok berkali-kali ini.

Kedua, peran El sebagai Q-Grader hendaknya bisa menjelaskan, mengapa tiwus disebut kopi terbaik? Sebagian besar penonton mungkin tidak mengetahui rasa tiwus. Melalui penjelasan seorang Q-Grader, sebenarnya penonton akan dapat membayangkan kenikmatan kopi tiwus. Namun latar belakang El sebagai Q-Grader malah kurang terasa. Seperti apa rasa kopi tiwus? Apakah harum dan gurih seperti kopi Aceh Gayo? Atau earthy dan asam seperti kopi Toraja? Ataukah sedikit fruity seperti kopi Flores Bajawa? Agaknya kopi tiwus masih menjadi misteri.

“Filosofi Tiwus: Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya. (Kartu Filosofi Kopi Tiwus)

Meskipun begitu, saya menyarakankan Anda menonton film ini. Kita dapat mengambil perspektif yang sangat berbeda dengan film lain di Indonesia. Karena kopi sebagai komoditas Indonesia terbesar ketiga sedunia, malah kurang diperhatikan kualitas dan pengolahannya dari hulu ke hilir.

Oleh :
Luthfi Izzaty
Mahasiswa Teknik Geodesi UGM, pecinta kopi specialty, penulis, blogger, penyuka segala jenis musik.

Review Buku: Max Havelaar

maxhavelaar-53ed6b1c40fbf

Judul               : Max Havelaar

Penulis             : Multatuli

Penerbit           : Qanita

Tahun Terbit    : 2014

Cetakan ke      : I

Tebal Buku      : 474 hal

Max Havelaar adalah sebuah buku yang ditulis oleh Multatuli, yang juga dikenal dengan nama Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Nama yang tak asing bagi siswa sekolah, karena nama tersebut tercantum dalam buku-buku pelajaran sejarah. Di dalam buku sejarah tersebut diceritakan bahwa Douwes Dekker ini merupakan salah satu bangsa Belanda yang prihatin dengan penjajahan di Indonesia. Untuk itu, beliau bersama Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij tahun 1912.

Douwes Dekker mengabdi sebagai pegawai dari pemerintah Belanda di Indonesia selama 18 tahun. Beliau menjadi asisten residen di daerah Lebak, Banten. Buku Max Havelaar ini menceritakan pengalamannya melihat penindasan selama menjadi asisten residen Lebak. Buku Max Havelaar ini, menurut Pramoedya Ananta Toer (New York Times, 1999), merupakan buku yang “membunuh” kolonialisme.

Terbit pertama kali pada tahun 1860 di Belanda, buku Max Havelaar ini menggegerkan negeri itu. Kisah-kisah kejamnya kolonial seolah terbongkar dengan diterbitkannya buku ini. Kebenaran dari isi cerita di buku ini pun tak pernah diperdebatkan. Douwes Dekker sendiri menantang pemerintah Belanda untuk membuktikan kekeliruan kisah dalam bukunya.

Buku Max Havelaar ini berkisah tentang keseharian seorang Max Havelaar yang menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten. Selama ia menjabat sebagai asisten residen, ia menjumpai banyak warganya yang menjadi korban tindakan sewenang-wenang dari Bupati Lebak (warga pribumi). Banyak warga yang sawah dan ternaknya dirampas atau dibeli dengan harga yang tidak sesuai oleh Bupati Lebak. Kejadian ini dibiarkan begitu saja oleh Residen Banten (warga Belanda). Ia memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kodisi masyarakat sebenarnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda (warga Belanda). Dalam laporan tersebut seolah tak ada penindasan yang terjadi di daerahnya.

Singkatnya, sebagai Asisten Residen Lebak, Max Havelaar banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai ketidakadilan sang penguasa, yaitu Bupati Lebak. Max Havelaar pun melaporkan keluhan masyarakat ke Residen Banten, agar Residen memecat Bupati Lebak. Max Havelaar juga melaporkan keluhan tersebut ke Gubernur Jendral Hindia Belanda. Permintaan Max Havelaar ditolak, dan ia diberhentikan sebagai Asisten Residen Lebak. Setelah itu ia berhenti sebagai Asisten Residen.

Bentuk penulisan Douwes Dekker dalam buku ini terbilang cukup unik. Pada bab-bab awal buku ini, ia tidak langsung menceritakan mengenai kisah seorang Max Havelaar. Ia bercerita mengenai seorang makelar kopi bernama Droogstoppel. Mengambil sudut pandang orang pertama sebagai Droogstoppel, Douwes Dekker berkisah mengenai pertemuan Droogstoppel dengan Sjalmaan. Sjalmaan ini kemudian meminta agar Droogstoppel menerbitkan naskah tulisannya.

Setelah melalui beberapa proses, akhirnya naskah Sjalmaan ini setuju untuk diterbitkan oleh Droogstoppel. Naskah dari Sjalmaan tersebut kemudian ditulis oleh Kern, anak dari salah satu kolega Droogstoppel, untuk kemudian diterbitkan. Bagian pertengahan dari buku Max Havelaar ini menceritakan tentang naskah dari Sjaalman. Naskah tersebut berupa kisah hidup seorang Max Havelaar, seorang Asisten Residen di Lebak, Banten. Mulai dari naskah Sjalmaan ini, sudut pandang penulisan tak lagi sebagai orang pertama, tetapi menjadi sudut pandang orang ketiga.

Pada bab terakhir, Multatuli muncul. Ia menegaskan bahwa bukunya ini memang terlihat tak terkonsep dan berantakan, namun soal penindasan yang terjadi oleh kolonial Belanda dan pribumi yang korup ialah benar. Hal tersebutlah yang ingin ia tunjukkan dalam bukunya. Penindasan dan pemerasan terhadap masyarakat.

Begitulah kira-kira review dari buku Max Havelaar karangan Multatuli. Namun tetap harus diingat bahwa tetap sudut pandang dari buku ini adalah sudut pandang orang Belanda. Dalam buku tersebut dikisahkan bahwa yang melakukan penindasan adalah sang Bupati, yaitu bangsa pribumi. Sementara “dosa” dari bangsa Belanda, yaitu Residen dan Gubernur Jendral, adalah karena mereka membiarkan hal tersebut terjadi.

Meski kebenaran dari buku ini belum ada yang menyangkal, tetap saja masih belum bisa menggambarkan dengan utuh kondisi sebenarnya. Maka, kisah yang tertulis dalam Max Havelaar ini cukuplah menjadi sebuah rangkaian puzzle dalam sebuah bingkai besar sejarah Indonesia. Buku ini pula menjadi bukti bahwa sebuah karya tulis dapat menjadi salah satu cara untuk menyebarkan ide dan gagasan.

 

Ahmad Faqih Mahalli – Alumni Forum Media BEM se-UGM, Alumni Jurusan Teknik Fisika UGM.

Kafe Buku: Wadah Baru Bookaholic

kafe buku

Judul Buku: My Hobby My Business: Kafe Buku

Penulis: Gunawan Ardiyanto

Penerbit: Metagraf Tiga Serangkai

Tahun Terbit: 2014

Cetakan: I

Tebal: 144 halaman

Sering kali kita tidak menyadari bahwa apa yang sering kita lakukan sebagai hobi memiliki potensi manfaat dan keuntungan yang luar biasa. Baik secara ekonomi maupun sosial, bagi diri sendiri maupun orang lain.

Jika kita jeli, kegiatan yang lebih berbau rekreasi dan hiburan, yang membuat kita enjoy dan rileks, dan yang kita anggap sebagai kegiatan sampingan tersebut bisa kita sulap menjadi sebuah lahan bisnis yang sangat menjanjikan dan mendatangkan keuntungan berlipat.

Dalam My Hobby My Business: Kafe Buku, kafe buku menjadi salah satu lahan bisnis yang diangkat dari keberadaan hobi. Beberapa usaha kafe buku yang marak tumbuh di kawasan kota besar dan kecil dan menjadi idola baru saat ini kami sorot dalam buku ini. Usaha tersebut menjadi bagian gambaran dalam buku yang berkonsentrasi pada bisnis berbasis hobi ini, selain telaah dari sisi pembuatan konsep, analisis dan perencanaan bisnis, serta strategi marketing dan strategi dalam menghadapi kompetitor.

Buku ini lebih banyak menjabarkan teori marketing dan aplikasinya pada usaha kafe atau toko buku. Di bagian awal, penulis banyak memotivasi pembaca mengenai potensi-potensi hobi menjadi lahan bisnis. Dalam hal ini hobi menulis dan membaca menjadi potensi yang sangat strategis.

Hobi membaca bisa menjadi bisnis? Benar, bermula dari kegemaran membaca, kita bisa mengembangkan kegiatan lain yang memberikan nilai lebih, yakni menulis. (Halaman 13)

Penulis menjadikan hobi membaca dan menulis sebagai titik tolak pendirian bisnis kafe buku yang menarik. Selain itu, gemar berinteraksi dengan banyak orang menjadi penting dalam memperkaya wawasan dan sudut pandang.

Hobi menulis dan membaca dapat diakomodir dalam sebuah tempat. Misalnya toko buku. Dari toko buku bisa dikembangkan konsep yang makin luas untuk mefasilitasi para penggiat kegiatan membaca dan menulis dalam sebuah kafe buku. Selain itu, toko atau kafe buku dapat dikembangkan dari kafe atau resto yang dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan atau tempat buku.

Kafe buku bisa dimanfaatkan sebagai acara bedah buku, kegiatan bersama komunitas pecinta buku, serta menjual buku-buku sesuai dengan pangsa pasar kafe atau resto tersebut.

Seorang penulis buku dapat menjadi pemilik kafe. Ia bisa memanfaatkan kafe sebagai sarana pelatihan penulisan dan kreativitas lain terkait perbukuan.

Buku ini memuat 11 Pedoman Memulai Bisnis: Keuntungan, Kemampuan teknis, Pangsa pasar, Bahan baku, Tenaga kerja, Modal, Resiko, Persaingan, Fasilitas usaha, Aspek masa depan, Aturan hukum. Prinsip ini relevan untuk semua jenis usaha.

Selain itu, terdapat 9 panduan agar bisnis menjadi lebih efisien, yaitu: menekan harga pokok, menentukan faktor-faktor yang harus diperhatikan, pembelian bahan baku, kerusakan dan penyelewengan, buku yang lebih murah, tenaga kerja yang tepat, semangat dan keinginan kerja, sistem pembagian kerja dan lokasi usaha.

Tahap-tahap membuat perencanaan bisnis: menentukan produk atau jasa, menentukan harga, pemilihan lokasi, rencana operasional, distribusi, komunikasi, koordinasi, kepercayaan dan  sistem.

Pada halaman 86 hingga 101, penulis memberikan simulasi lengkap mengenai rencana bisnis kafe buku. Bagi pembaca yang berniat membuat kafe buku, sebaiknya membaca detilnya sendiri sebagai gambaran memulai usaha.

Hal penting yang disampaikan di buku ini adalah mengenai strategi marketing; Menjadi yang pertama (Be the first), menjadi yang terbaik (be the best), atau menjadi berbeda (be different) dalam hal harga (price), produk (product), tempat (place), dan promosi (promotion).

Usaha kafe yang sudah menjamur tentunya memperlukan kemampuan menghadapi kompetitor. Nah, strateginya dijabarkan penulis di bagian akhir sebelum menutupnya dengan kisah sukses beberapa kafe buku, sebut saja English Kafe, Toko Buku Diskon Oemah Buku, Java Sushi dan Kelas Bisnis Yogyakarta, serta EDU Kafe di Klaten.

Secara umum buku ini cukup lengkap dan bisa menjadi acuan dalam memberikan gambaran usaha kafe buku. Namun, dalam hal penyajian banyak teori dan penjabaran yang kurang interaktif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa formal, sedangkan menurut saya segmen pembaca buku ini adalah kaum muda yang lebih mudah memahami bahasa non formal.

Semoga setelah membaca buku ini, muncul kafe-kafe yang tidak hanya menjadi tempat wisata kuliner, tapi juga menjadi sarana edukatif yang bermanfaat. Happy reading!

 

Yonea Bakla

Apoteker yang suka kuliner