Rahasia Sang Ksatria Pena

Melimove (Media and Literacy Movement) adalah sebuah perkumpulan yang mencoba membangun generasi bangsa Indonesia yang cerdas bermedia. Melimove sudah menjelajah selama lebih dari tiga bulan untuk mendalami pemahaman kemediaan. Kali ini, Melimove berkesempatan berdiskusi dengan Ataka, Sang Ksatria Pena.

Sang Ksatria Pena

Nama lengkapnya adalah Ahmad Ataka Awwalur Rizqi. Ia sempat menimba ilmu di Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada dan kini sedang melanjutkan pendidikan di King’s College London di bidang robotika. Meskipun tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan, namun keluarga Ataka mempunyai budaya dan tradisi yang baik dalam hal kecintaan pada buku. Sejak kecil, sang ibu sering membacakan buku-buku dongeng sebagai pengantar tidur. Ketika beranjak ke masa kanak-kanak, Ataka mulai membaca komik karena sang kakek yang rutin membelikan bahan bacaan untuknya. Saat berada di kelas 4 SD, ia pertama kali berkenalan dengan serial Harry Potter-nya JK Rowling. Inilah yang kemudian menyadarkannya, bahwa membaca novel lebih mengasyikan daripada membaca komik karena ia memiliki kebebasan berimajinasi.

Menginspirasi dengan Imajinasi

Dua tahun setelah pertemuan pertamanya dengan novel, Ataka sudah memiliki banyak koleksi novel. Di antaranya adalah serial Harry Potter, The Lord of The Rings dan The Hobbit karya JRR Tolkien, karya-karya Roald Dahl dan Eva Ibbotson, serta berbagai buku anak-anak terjemahan lainnya. Di akhir masa sekolah dasar, Ataka mulai menulis. Kisah fiksi pertamanya ditulis di atas kertas buram seusai ujian kenaikan kelas. Meskipun setelahnya Ataka melanjutkan kisah-kisah itu, namun belum ada yang selesai menjadi sebuah kisah yang utuh.

Suatu hari, Ataka melakukan perjalanan bersama keluarga ke Madura. Dalam kemacetan, ia berhasil membuat sebuah jalinan cerita yang lengkap. Inilah yang menjadi cikal bakal buku pertamanya, Misteri Pedang Skinheald 1, Sang Pembuka Segel. Pada tahun 2005, novel pertama Ataka diterbitkan dengan tebal sekitar 200 halaman. Tak lama setelahnya, novel kedua berjudul Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Poter diterbitkan. Novel ber-genre detektif ini ditulis saat Ataka sedang asyik membaca serial Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Jika Anda sering membaca komik Detektif Conan (Meitantei Conan), pastilah sudah tidak asing dengan nama ini.

Di akhir masa SMP, novel ketiga Ataka terbit dengan judul Misteri Pedang Skinheald 2, Awal Petualangan Besar. Novel dengan tebal 660 halaman ini merupakan kelanjutan dari novel pertamanya. Novel ini di-launching bersama Pak Arswendo di Jakarta dan Noe Letto di Yogyakarta.

Karya-karya Ataka tidak terlepas dari motivasi di baliknya. Sederhana, Ataka sekedar ingin menuangkan imajinasi dan menjadikannya sebagai pelampiasan atas ketidakpuasan pada buku-buku bacaannya. Di sisi lain, Ataka juga mencoba menyisipkan nilai atau pesan melalui alur ceritanya dalam kisah-kisah fiksinya. Passion-nya dalam hal menulis tetap berlanjut hingga masa kuliah. Perjalanannya bersama teman-teman di Cendekia Teknika, Gadjah Mada Aerospace Team dan tim PIMNAS UGM, serta masa-masa KKN-nya menjadi ladang inspirasi baginya. Lalu, Ataka menuangkannya ke dalam tulisan dengan tema-tema seperti persahabatan, perjuangan, maupun pengabdian.

Rahasia Sang Ksatria Pena

Dalam proses menghasilkan karya di bidang menulis, Ataka menyampaikan dua hal yang dibutuhkan. Hal pertama adalah membaca. Ataka tidak pernah mengikuti kursus menulis dan tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan. Dari silsilah keturunan keluarganya, tidak ada yang pernah menerbitkan buku. Ataka justru belajar menulis dari buku-buku yang dibacanya. Di sisi lain, orangtua Ataka juga mengenalkannya kepada kawan-kawan dari komunitas sastra di Yogyakarta. Dari komunitas sastra inilah, Ataka mulai mengenal buku-buku sastra Indonesia, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, maupun NH Dini.

Ditilik dari perjalanannya dalam menghasilkan ketiga novel fiksinya, hal itu memang tak lepas dari buku-buku bacaannya yang sebagian besar memang merupakan novel fiksi. Selain itu, kawan-kawannya di komunitas sastra juga merupakan penggemar genre fiksi fantasi. Oleh karena itu, jelaslah bahwa membaca merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam menghasilkan karya di bidang menulis. Banyak membaca dan berdiskusi juga dapat membuka cakrawala pemikiran kita dan memperkaya nilai atau pesan yang akan disampaikan melalui tulisan.

Hal kedua adalah keberanian. Kita sering kali merasa “malu” saat orang lain membaca tulisan kita, apalagi jika tulisan itu adalah tulisan pertama kita. Menurut Ataka, hal semacam ini wajar terjadi. “Tetapi”, katanya, “kalau kita mencoba melihat dari perspektif lain, sebenarnya justru dengan membiarkan orang lain membaca, kita akan mendapat respons dan masukan yang membantu kita menjadi lebih baik.” Lalu Ataka berkata lagi,”Jadi, tips dan trik yang bisa saya berikan adalah mulailah membaca dan mulailah menulis.”

Berkarya untuk Keabadian

Di akhir diskusi, Ataka menyampaikan sebuah pernyataan yang dikutip dari salah satu penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Beliau berkata bahwa,”Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Lalu Ataka menjelaskan,”Hidup ini singkat. Tapi dengan menulis, suara kita akan terus bergaung sepanjang zaman. Selamat berkarya untuk keabadian.”

Penulis
Wening Mulat Asih,
Kru INSPIRE Creative Media Factory
Mahasiswi FMIPA Kimia UGM

Pendidikan Indonesia:Mencetak ‘Pengemudi” atau ‘Penumpang’?

Dalam kesaksiannya, menurut Kompas.com (4/8/12), Ryan mengalami depresi karena lebih dari setahun menganggur. Singkatnya Ryan menjadi putus asa. Padalah ia mempunyai gelar S2 dari jurusan ilmu administrasi FISIP UI. Bukankah ini cukup membanggakan? IPK (Indeks Prestasi Kumulatif)-nya saja 3,32.

 Berbicara pendidikan, juga berbicara tentang kemajuan peradaban suatu bangsa. Sayangnya, pendidikan Indonesia masih berusaha agar tak compang camping. Perubahan kurikulum, peningkatan mutu profesi guru, merupakan upaya-upaya dalam proses perbaikan pendidikan. Ketika kita melirik bagaimana proses pendidikan di negara-negara maju, iri rasanya. Beberapa para pemerhati pendidikan pun mengumpat sistem pendidikan negara kita. Ada yang mendirikan sekolah alam. Bahkan para orang tua yang sadar, akhirnya memilih menyekolahkan anaknya di rumah.

Menurut Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) No.20 Tahun 2003, pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Sisdiknas diterangkan bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Dalam realita, hal ini masih belum dapat terwujud. Beberapa peserta didik mengalami kemalasan dalam sekolah bahkan belajar. Ada juga yang merasa terkekang potensi dirinya ketika menuntun ilmu di institusi pendidikan. Mereka merasa tidak mendapat hal-hal sesuai harapan, merasa dibatasi kreativitas, atau jadi merasa salah memilih jurusan.

Lebih parah lagi adalah bagi mereka yang tidak merasa ada masalah dengan sistem pendidikan kita. Adem ayem, semboyan bagi mereka para penikmat dan penonton pendidikan. Komentar tidak, resah pun tidak. Mengalir dalam arus. Bukan tenang menghanyutkan tetapi tenang dan malah ikut hanyut terbawa arus.

Kasus Ryan, di atas, tak hanya sebatas hitungan jari. Banyak Ryan yang lain. Dalam bukunya Self Driving, Renald Kasali berkata,”Membaca berita seperti itu membuat saya miris. Sudah lama saya komplain terhadap dunia yang saya geluti. Saya komplain ketika melihat banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa semata-mata dari ujian tertulis, buku, mendapat nilai A dari kelas marketing sebelumnya, yang kini duduk di kelas saya (saya mengajar Internasional Marketing), tetapi tidak mencerminkan kualitas A yang sesungguhnya.”

Begitu pula sama halnya dengan yang saya alami. Seorang mahasiswa Pendidikan Teknik Busana mendapat nilai A pada mata kuliah Pengetahuan Busana, tetapi cara berpakaiannya tidak mencerminkan bahwa dia anak busana. Seorang mahasiswa mendapat nilai A pada mata kuliah Psikologi Pendidikan, tetapi ketika mengajar tidak bisa menerapkan teorinya ketika mendidik.

Sastrawan George Bernard Shaw menulis:”Only two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think.”

Hanya ada dua persen di antara eksekutif kita yang berpikir? Mungkin pendapat berikut ini ada benarnya. Hanya 2% dari seluruh orang yang berprofesi sebagai pengajar di Perguruan Tinggi adalah pendidik. Mereka adalah orang yang tidak hanya memperbaiki cara berpikir mahasiswa. Fakta ini didukung oleh kenyataan bahwa hanya 2% dari seluruh mahasiswa yang menikmati kuliah di Perguruan Tinggi yang menjadi pengemudi (pemimpin), selebihnya menjadi penumpang.

 Hal serupa pun terjadi di dunia pendidikan dasar dan menengah. Hanya 2% dari seluruh guru yang benar-benar menjadi pendidik, yaitu guru kreatif yang membentuk manusia. Sekitar 3% di antarnya menjadi administrator, dan sisanya adalah “guru kurikulum” yang hanya menjalankan perintah dengan menyelesaikan kurikulum yang diwajibkan. Apa isi buku, itu yang diberikan.

Lantas ingin menjadi apakah kita? Pengemudi yang memegang kendali tetapi beresiko tinggi? Ataukah hanya penumpang yang tak memegang kendali dengan kursi duduk yang nyaman?

Penulis
Rahma Darma Anggraini,
pegiat Komunitas gapura-online.com

Serangan Kepagian

Alkisah di negeri niskala, dua ksatria sedang bersilaju mencapai kursi istana. Seorang di antaranya adalah ksatria yang cendekia. Seorang lagi adalah ksatria yang pandai membual. Maka sudah dapat kita tebak kisah keduanya. Ksatria yang cendekia menginginkan kebaikan bagi rakyatnya, sedang ksatria yang pandai membual menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Namun keduanya sama-sama berikrar akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Kedua ksatria ini menempuh jalan yang berbeda untuk menuju ke istana. Jalan yang mereka tempuh sama-sama memakan waktu yang lama.Keduanya telah bersiap dengan perbekalan yang tidak sedikit. Pasukan berkuda, pasukan pemanah, pasukan pengintai, pasukan logistik, hingga pasukan penyair.

Suatu ketika, kedua ksatria itu bertemu di persimpangan jalan. Saat itu matahari sedang terik. Mereka berteduh pada pohon beringin yang saling berhadapan, yang satu berada di kiri jalan, yang satu lagi di kanan jalan. Sama seperti posisi mereka, perilaku mereka juga terlihat berlawanan.

Ksatria cendekia dan pasukannya tampak sedang berdiskusi serius. Beberapa larut dalam kitab. Beberapa asyik dengan sabak[1] dan grip[2] Di tempat yang berseberangan, ksatria pembual dan pasukannya tampak berfoya-foya. Beberapa sibuk berdendang bersama para biduan. Beberapa terlena dalam kenikmatan semu sebotol arak.

Ksatria cendekiawan tidak sengaja menabrak seseorang ketika berjalan menikmati pemandangan. Rupanya orang yang ia tabrak adalah seorang pasukan penyairdari pasukan ksatria pembual. Tanpa sadar ksatria cendekiawan mendekati kemah pasukan ksatria pembual.

“Penyusup! Ada penyusup!” teriak si penyair. Suaranya memecah keramaian di kamp pasukan ksatria pembual.

“Mengapa engkau mengatakan apa yang masih menjadi dugaan? Dari mana kau tahu bahwa aku seorang penyusup?”

“Sudah tidak perlu pembuktian lagi. Pakaianmu mewakili dari mana asalmu. Engkau berbeda dengan kami, maka kau musuh kami. Seorang musuh berada di kamp lawannya berarti dia penyusup!”

“Kesimpulanmu terlalu dini. Tidak tahukah kau siapa diriku?”

“Engkau adalah musuh!”

Tersengat api kecurigaan dan ketakutan, si penyair menghunus pedangnya. Ia abai terhadap aturan bahwa seorang penyair di negerinya hanya boleh menyerang musuh dengan kata-kata. Pedang yang ia bawa ke mana-mana hanya boleh digunakan ketika ia diserang, bukan untuk menyerang.

Membela diri, ksatria cendekiawan hanya menangkis setiap sabetan pedang penyair yang mengarah kepadanya. Tanpa dikomando, pasukan-pasukan yang lain segera berkerumun di antara keduanya. Setiap mata yang ada di sana menyaksikan adu pedang antara penyair dan ksatria cendekiawan. Bisik-bisik terdengar. Tentang penyair yang menghunus pedang.

Kelihaian ksatria cendekiawan dalam menggunakan pedang jelas lebih lincah dari si penyair. Maka dalam suatu kondisi, si penyair akhirnya kelelahan. Ia terpeleset jatuh ke dalam sungai saat membabi-buta menyerang ksatria cendekiawan. Malang, kepalanya terantuk batu sungai. Nyawanya mengalir dengan cepat ke alam baka seperti derasnya aliran sungai tempat tubuhnya terjatuh.

Ksatria pembual datang menyibak kerumunan para pasukan. Ia ingin menyalahkan ksatria cendekiawan atas kematian seorang penyairnya, namun terlalu banyak mata yang menjadi saksi. Kejadian itu adalah kesalahan si penyair. Ia bertarung dengan lawan yang lebih tangguh darinya dengan alasan yang masih menjadi praduga.

“Engkau tahu aku tidak bersalah. Aku turut berduka atas kematian penyairmu.”

Ksatria pembual sama sekali tidak membalas perkataan ksatria cendekiawan. Raut mukanya memendam amarah yang kemudian ia pupuk menjadi dendam. Ia lalu berbalik meninggalkan arena. Meskipun ia mengutuk tindakan bodoh si penyair, tetapi ia sadar kehilangan seorang penyair setara dengan kehilangan seribu pasukan pedang. Kata-kata seorang penyair jauh lebih tajam dari sebuah pedang. Dalam hati, ksatria pembual membuat perhitungan dengan ksatria cendekiawan.

Perjalanan menuju istana berlanjut. Dendam kesumat ksatria pembual terhadap ksatria cendekiawan membuatnya buta hati. Ia benar-benar tidak peduli dengan rakyat, meskipun mulutnya berbusa menawarkan janji manis untuk rakyat. Ia jalin hubungan baik dengan negeri-negeri tetangga yang bermuka dua. Negeri-negeri yang sejak dulu mengintai negerinya. Negeri-negeri yang hendak merampok negerinya. Negeri-negeri yang adidaya. Semuanya agar mereka mendukung dan memuluskan jalannya menuju istana.

Benar saja. Ksatria pembual akhirnya mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa basa-basi, ia segera mengeluarkan kebijakan negara. Seluruh penyair yang mengabdi pada ksatria pembual dilarang bersyair. Sabak dan grib mereka disita. Mereka tidak diijinkan mengikuti sayembara syair tahunan. Mati sudah. Mati para penyair yang melantunkan syair kebenaran.

Sudah sejak lama ksatria cendekiawan tahu dari para mahaguru bahwa kekuasaan akan memberikan kekuatan bagi siapapun yang mendapatkannya. Hari itu, hari ketika para penyairnya diadili tanpa sidang, akhirnya ia membuktikannya sendiri. Dia yang punya kekuasaan akan bertambah mengerikan jika dalam dirinya terdapat kekhawatiran. Khawatir terhadap musuh yang selama ini menghalangi jalannya menuju tahta kekuasaan. Maka jangan heran jika dia melancarkan serangan kepagian, yaitu serangan yang tiba-tiba, tanpa alasan, dan dilakukan tidak lama setelah ia duduk di singgasananya. Semua itu dia lakukan untuk mempertahankan kekuasaannya.

[1] Batu tulis yang dahulu digunakan sebagai buku. Pelajar Indonesia zaman kolonial menggunakan benda ini sebagai alat tulis mereka.

[2]Pasangan dari sabak. Sabak dan grip adalah dua benda yang tidak dapat dipisahkan. Grip berperan sebagai bolpoin. Grip juga menjadi asal-usul istilah doosgrip, yaitu wadah yang digunakan sebagai tempat pensil.

Penulis
Henny Alifah,
Anggota FLP Wilayah Yogyakarta

Membangkitkan Kejayaan Pers Islam (Bagian 2)

Penggerak lembaga dakwah kampus mulai memikirkan pemanfaatan media sebagai sarana pencerdasan keislaman ke masyarakat maupun sekadar untuk menunjukkan eksistensinya. Kemajuan teknologi informasi menuntut aktivis dakwah kampus dapat menyesuaikan diri dengan medan dakwah yang baru. Munculnya Facebook, Twitter, Instagram, Line, WordPress, WhatsApp, dan lain sebagainya, seakan menggiring mereka untuk memiliki akun di masing-masing media sosial tersebut. Secara perlahan, optimalisasi dakwah media suatu lembaga dakwah kampus dinilai dari kuantitas publikasinya di media sosial. Di sisi lain, kuantitas media cetak dari lembaga dakwah kampus semakin berkurang.

Kaderisasi Aktivis Dakwah Media

Perkembangan suatu organisasi tidak luput dari peran kaderisasi. Ada beberapa poin yang hendaknya diperhatikan dalam kaderisasi aktivis dakwah media. Pertama, lembaga dakwah kampus tidak hanya merekrut orang-orang yang memiliki passion yang dapat mendukung bidang kemediaan, seperti desain grafis, kepenulisan, ataupun fotografi. Lembaga dakwah kampus juga harus membina mereka sesuai passion-nya dan membekali mereka dengan strategi bermedia.

Pembinaan sesuai passion dapat meningkatkan profesionalitas aktivis dakwah media dalam berkarya. Adapun membekali mereka dengan strategi bermedia berarti melatih mereka agar menghadirkan jiwa dalam karyanya. Sebuah artikel dapat ditulis dengan gaya bahasa yang begitu indah, namun sejauh mana pembaca dapat menggali pemikiran penulis juga merupakan sesuatu yang penting. Urgensi pembekalan tentang strategi bermedia juga dapat menguatkan aktivis dakwah media dalam menghadapi derasnya arus informasi, baik itu dalam memilah sumber informasi, meng-counter isu maupun sebagai opinion leader. Jika lembaga dakwah kampus belum dapat memfasilitasi kedua hal ini secara maksimal, maka arahkanlah aktivis dakwah media agar mencari ilmu yang dibutuhkannya.

Kedua, memfokuskan aktivis dakwah media dalam mengelola sebuah media. Sedikitnya SDM pada sebuah bidang, tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menarik aktivis dakwah media dari bidangnya dan membuat mereka mengurusi bidang lain yang kekurangan SDM tersebut. Jika aktivis media ditarik dari medannya, ia akan menelantarkan media yang dikelolanya. Ada satu hal yang perlu dipahami dalam prinsip kaderisasi, yaitu mengoptimalkan peran aktivis dakwah dalam berkarya sesuai dengan kompetensinya. Dalam hal ini, diperlukan kepercayaan bahwa setiap orang terlahir untuk menjawab permasalahan sesuai zamannya.

Optimalisasi Media Lembaga

Optimalisasi media lembaga dapat ditentukan dari hasil evaluasi bidang kaderisasi. Dengan melihat passion yang dominan di kalangan aktivis dakwah media, selanjutnya dapat ditentukan bentuk media yang dapat digunakan. Misalnya, evaluasi kaderisasi suatu lembaga dakwah kampus menunjukkan bahwa passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan bidang kepenulisan. Selanjutnya, lembaga dakwah kampus ini dapat mengoptimalkan dakwah medianya melalui buletin, Twitter, maupun mengaktivasi sebuah website.  Jika passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan pada bidang desain grafis atau fotografi, maka pengadaan pameran poster atau fotografi, mengaktivasi akun Facebook, Instagram, maupun Line dapat menjadi pilihannya dalam mengoptimalkan dakwah media.

Di sisi lain, peningkatan kualitas dan kuantitas konten yang dipublikasikan juga menjadi hal yang penting. Dalam hal ini, peningkatan kualitas konten menjadi poin yang perlu diprioritaskan karena berperan dalam membangun kepercayaan audience terhadap media yang dimiliki oleh suatu lembaga dakwah kampus. Adanya jadwal publikasi dapat mendukung aktivis dakwah media dalam mempersiapkan konten yang berkualitas. Sedangkan kuantitas konten dapat meningkat seiring dengan jam terbang aktivis dakwah media dalam berkarya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah harmonisasi gerak dalam dakwah media. Aktivis dakwah media hendaklah memposisikan dirinya sebagai suatu kesatuan umat Islam. Jika mereka melihat kelemahan suatu media Islam, maka mereka akan melengkapinya. Cita-cita sebagai pendobrak media mainstream yang semakin jauh dari nilai Islam perlu dijadikan tujuan bersama, bukan sekadar mementingkan masing-masing golongan. Peran aktivis dakwah media adalah menghadirkan media Islam sebagai problem solver atas kebimbangan masyarakat dalam memilih sumber terpercaya di tengah derasnya arus informasi.

Penulis
Wening Mulat Asih
Anggota Lembaga Dakwah Jama’ah Shalahuddin UGM yang aktif dalam Komisi Ke-LDK-an Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja periode 2013-2015

Bagian 1 dapat dilihat disini

(Review) Film Filosopi Kopi

Judul : Filosofi Kopi

Cast : Chicco Jerikho (Ben), Rio Dewanto (Jody), Julie Estelle (El)

Sutradara : Angga  Sasongko

Script writer : Jenny Jusuf

“Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”(Dee Lestari dalam bukunya “Filosofi Kopi”)

Filosofi Kopi adalah salah satu cerpen milik Dewi “Dee” Lestari yang dibukukan dengan judul buku yang sama.

Sinopsis

Ben, seorang barista kafe yang dia beri nama “Filosofi Kopi” yang menyuguhkan berbagai macam kopi dengan filosofi masing-masing. Ben barista lumayan idealis karena dia menolak adanya wifi di kafe dan sangat memperhatikan kualitas kopi yang dijualnya. Hal ini berbeda dengan Jody. Sebagai manajer kafe yang dibebani utang 800 juta peninggalan ayahnya, Jody berperan sebagai Paman Gober. Si bebek tua yang pelit dan cermat. Filosofi Kopi berkembang dan terkenal karena keunikannya dalam menyajikan kopi. Ada filosofi yang diberikan pada setiap kopi yang disuguhkan.

Di saat yang genting, datang seorang pengusaha kaya yang menantang Ben untuk membuat kopi paling enak dan akan menentukan kelanjutan tendernya. Dia menjanjikan 100 juta untuk Ben. Ben menyanggupi dengan syarat bukan 100 juta tetapi 1 milyar! Jika kalah? Ben yang akan membayar 1 milyar kepada orang tersebut.

“Gue nggak pernah bercanda soal kopi.” (Ben)

Ben membutuhkan waktu dua pekan untuk meracik kopi blend dengan berbagai macam kopi yang dikumpulkan. Setelah berhasil, ia menjual kopi yang dinamai “Ben’s Perfecto” di kafenya. Kemudian datanglah El, seorang Q-Grader (pencicip cita rasa kopi) bersertifikasi internasional yang mewawancarai Jody untuk Ben’s Perfecto. El mengatakan rasa Ben’s Perfecto enak, bukan paling enak. Menurut El, kopi yang paling enak adalah kopi tiwus. Saat itulah Ben meradang karena tidak terima masterpiece-nya direndahkan. Lalu pencarian kopi tiwus pun dimulai dan menghadirkan polemik serta kenangan masa lalu.

Filosofi Cappuccino: Keseimbangan dan keindahan adalah syarat mutlak keberhasilan. (Kartu Filosofi Kopi Cappuccino)

Review

Pendalaman karakter Ben dan Jody sangat bagus. Persahabatan mereka seperti nyata! Two thumbs up untuk Jenny Jusuf dalam menuliskan script-nya. Dialog mereka lancar alami, seperti tidak dibuat-buat. Bagaimana mungkin mereka berselisih paham pada setiap diskusi, namun ternyata benar-benar saling memahami? Lewat tatapan mata saja, Anda bakal mengetahui perhatian mereka, satu sama lain. Entah bagaimana Angga Sasongko mengarahkan adegan-adegan tersebut, sehingga tidak terasa canggung sama sekali. Dari segi latar tempat, landskap perkebunan kopi nya sangat pas dan nyata. Alur flashback dari kisah ini semakin terasa saat terkuaknya masa lalu dari tiap tokohnya.

“Filosofi Macchiato: Sendirian atau berdampingan hidup sepatutnya tetap penuh arti.(Kartu Filosofi Kopi Macchiato)

Secara umum, saya kagum dengan bagaimana Jenny mengeksplorasi cerita pendek sehingga menjadi sebuah film berdurasi nyaris dua jam ini. Detail adegannya tidak terasa kaku dan memperkaya suasana. Di sisi lain, walaupun film ini didukung oleh brand kopi terkenal, tetapi kemunculan logonya tidak memaksa dan cukup unik. Melalui Filosofi Kopi, Anda akan diajak untuk menyelami pengaruh biji kopi terhadap karakter dan kehidupan seseorang. Yang terjadi dengan Ben di masa lalu, telah membuatnya mendedikasikan hidup untuk kopi.

Filosofi Kopi juga sedikit menyinggung tentang “ambisi” dan “cinta”. Dua hal tersebut akan sangat berbeda pengaruhnya ketika diimplementasikan dalam pekerjaan yang kita lakukan, seperti yang dialami Ben dan Pak Seno. Implikasinya adalah bagaimana penerimaan kita terhadap kegagalan atas pekerjaan kita.

“Filosofi Kopi Tubruk: Kenali lebih dalam dan terpukaulah oleh lugunya sebuah pesona”. (Kartu Filosofi Kopi Tubruk) 

Namun, tak ada gading yang tak retak

Saya memiliki beberapa catatan mengenai film ini juga. Pertama, sebuah detail kecil namun sangat mengganggu, yaitu sosok Ben yang perokok aktif. Setahu saya, pecinta kopi apalagi barista, tidak akan merokok se-addict itu. Sebab, lidahnya akan terpapar tembakau dan kemampuannya untuk merasakan aroma dan cita rasa kopi akan menurun. Selain itu, kopi sangat sensitif terhadap bau. Kopi akan terpapar bau rokok, sehingga rasa kopi tersebut akan berbeda dengan yang natural. Saya kurang mengetahui apa motif Angga Sasongko dengan adegan rokok berkali-kali ini.

Kedua, peran El sebagai Q-Grader hendaknya bisa menjelaskan, mengapa tiwus disebut kopi terbaik? Sebagian besar penonton mungkin tidak mengetahui rasa tiwus. Melalui penjelasan seorang Q-Grader, sebenarnya penonton akan dapat membayangkan kenikmatan kopi tiwus. Namun latar belakang El sebagai Q-Grader malah kurang terasa. Seperti apa rasa kopi tiwus? Apakah harum dan gurih seperti kopi Aceh Gayo? Atau earthy dan asam seperti kopi Toraja? Ataukah sedikit fruity seperti kopi Flores Bajawa? Agaknya kopi tiwus masih menjadi misteri.

“Filosofi Tiwus: Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya. (Kartu Filosofi Kopi Tiwus)

Meskipun begitu, saya menyarakankan Anda menonton film ini. Kita dapat mengambil perspektif yang sangat berbeda dengan film lain di Indonesia. Karena kopi sebagai komoditas Indonesia terbesar ketiga sedunia, malah kurang diperhatikan kualitas dan pengolahannya dari hulu ke hilir.

Oleh :
Luthfi Izzaty
Mahasiswa Teknik Geodesi UGM, pecinta kopi specialty, penulis, blogger, penyuka segala jenis musik.

Tayangan Televisi Kita Hari Ini

Masyarakat kita hari ini bisa dipastikan setiap hari nonton TV setiap hari, entah di rumah, tempat kerja, ruang tunggu terminal, rumah sakit, atau gardu pos ronda. Setiap hari, bahkan setiap waktu dengan mudahnya menonton TV. Maka tidak heran jika media televisi menjadi media dengan konsumen paling besar dibanding jenis media lain. Siaran televisi menjadi “makanan wajib” mulai membuka mata sampai mata tertutup kembali.Hal inilah yang menjadi latar belakang kenapa media TV berkontribusi besar dalam membentuk pola pikir masyarakat dan menjadi agen pewarisan nilai-nilai sosial. Tapi apakah media TV sudah berhasil membentuk pola pikir dan mewariskan nilai-nilai sosial yang baik?

Mari kita cermati kembali, tayangan apa saja yang sekarang ini mendominasi layar pertelevisian kita. Pagi hari kita disuguhi gosip artis, siangnya serial FTV, malam hari dipenuhi sinetron, acara lawakan, dan acara mistis di tengah malamnya. Sesekali ada acara keagamaan seperti pengajian yang durasinya sangat pendek, dan fokus penayangannya tidak kepada ilmunya, tetapi menurut saya lebih kepada lawakan khas penceramah yang dijadikan tren baru, atau parade fashion baju seragam ibu-ibu peserta pengajian dengan beragam warna semua ada.

Dari sekian acara yang ditayangkan, ada nilai-nilai yang kemudian diserap oleh masyarakat kita saat ini. Misalnya acara sinetron, masyarakat cenderung meniru adegan-adegan yang ada di sinetron (terutama anak-anak) misalnya, berani bicara kasar kepada orang tua, membentak, bicara kasar ke orang lain (pembantu), dan sebagainya. Jika dicermati, banyak sekali tayangan sinetron yang lebih bersifat fitnah, menghasut, bohong, bahkan menyesatkan. Mayoritas acara televisi adalah sinetron yang berlebihan. Ektra sadis, ekstra baik, ekstra sial, ekstra kaya raya, ekstra mistis, ekstra cantik, atau ekstra lainnya. Tayangan gosip yang tiap pindah channel ada, muncul dengan beragam judul tapi sama secara substansi, dan hal tersebut diulang-ulang. Atau berita kriminal yang justru tidak mengingatkan masyarakat agar waspada, namun lebih kepada menakut-nakuti.

Nah, sayangnya masyarakat kita kebanyakan menelan mentah-mentah apapun yang disiarkan di TV, seolah apapun yang disiarkan di TV adalah informasi yang sudah benar, nyata terjadi, dan patut untuk diikuti. Karena masyarakat kita belum memiliki tradisi membaca dengan baik, hal inilah yang menjadikan masyarakat menjadikan media televisi ini sebagai rekan pengisi waktu luang. Menganggapnya mampu memenuhi semua kebutuhan akan informasi. Ironisnya jika TV lebih dipercaya daripada relasi sosial yang lebih konkret. Apa yang disajikan di TV yang bersifat realitas simbolik itulah yang dianggap sebagai realitas obyektif yang sedang terjadi di luar sana. Semakin disayangkan bahkan, ketika semakin lama media memberikan interpretasi sepihak yang mengarahkan opini masyarakat mengikuti alur logika pemilik media.

Keterampilan melek media khususnya media TV sangat diperlukan, yaitu mencerna dan mengkritisinya. Harapannya masyarakat tidak mudah meniru adegan-adegan yang tidak baik. Media pun juga begitu, harusnya mampu memberikan tayangan-tayangan yang lebih mendidik. Menghadirkan figure-figure yang tidak hanya mampu ber-acting dengan baik, tetapi dapat dicontoh dari kesehariannya. Tidak hanya mengacu kepada rating semata, tetapi bagaimana bisa membentuk karakter masyarakat Indonesia menjadi lebih baik ke depannya untuk kemajuan bangsa.

Penulis
Ari Wibowo
Alumni UGM

Inspirasi

Tak ada satu pun makhluk hidup di dunia ini yang tidak membutuhkan air. Kalimat itu selalu diulang oleh guruku dalam kelas, setiap hari. Kalimat yang tak bosan diulang-ulang dalam pelajaran yang baru dikenalkan beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2020, pelajaran pendidikan hutan dan lingkungan. Entah apa yang menyebabkan mata pelajaran ini muncul. Aku pun tak tahu. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 1 SD. Meski begitu, aku bersyukur karena sekarang tampaknya sudah tidak ada lagi produsen kertas yang menebang pohon untuk keperluan bahan bakunya. Aku pun tak tahu apa penggantinya, untuk apa aku memikirkannya? Lebih baik aku fokus pada persiapan ujian masuk perguruan tinggi yang tinggal beberapa bulan lagi.

“Mas, kalau ada virus seperti ini bagaimana caranya ya?” lamunanku dibuyarkan Bimo, adikku satu-satunya yang duduk di kelas 5 SD. Dia menyodorkan tablet super hybrid-nya, dibingungkan dengan gangguan kecil virus yang sering menjangkiti gadget produksi lima tahun lalu. Wajarlah, kami dari keluarga yang kurang begitu mampu, hanya bisa mendapatkan piranti bekas dan itu pun sudah tertinggal cukup jauh dari barang keluaran terbaru yang sistem operasinya diberi nama“gulali” produksi dalam negeri.

“Sini coba tak lihat! Halah, ini memang kelemahan produk Korea.” sembari menyentuh beberapa kali bagian layarnya, kulihat di kanan dan kiri, ketemu sumber virusnya, dan selesai.

“Makasih ya, Mas….” Bimo spontan tersenyum lalu pergi begitu saja meninggalkanku.

Dunia begitu cepat berubah dan aku masih baru akan mengawali langkahku dalam dunia kuliah. Akan jadi seperti apa kelak? Apakah akan menjadi pohon yang hadirnya sangat dibutuhkan manusia sekarang? Entahlah.Pohon kini begitu berharga, pemanasan global kian menggila. Pun dengan mata pelajaran pendidikan hutan dan lingkungan yang sudah kuterima selama hampir satu dekade ini tak juga memberikan pengaruh nyata. Adapun yang nyata kurasakan sekarang adalah konflik terjadi dimana-mana. Kebijakan yang diambil pemerintah manapun semua fokus pada masalah hutan dan lingkungan. Ehmm… benar kiranya dari serentetan sejarah kepemimpinan di Indonesia, masa pemerintahan Presiden Muhariyadi-lah yang paling fenomenal memberikan perubahan. Sayangnya itu perubahan yang buruk.

Le.. cepet makan! Sudah malam, dari tadi kamu belum makan to? Belajarnya dilanjut lagi nanti!” Sekarang giliran abah yang membuyarkan kecamuk pikiranku.

Nggih, Bah….” Kulihat Abah tengah asik membuka tablet lawasnya. Barang kuno itu masih setia menemani Abah menghilangkan penatnya untuk sekedar bermain Angry Bird.

Kuambil tempe goreng khas buatan ibu, ditemani dengan sambel pecel dan kelem[1]bayam. Kulirik Bimo tengah asik mengerjakan tugas sekolahnya di depan tablet-nya. Ah, dunia benar-benar sudah berubah. Lalu bagaimana caranya aku menemukan satu hal  yang tidak akan pernah berubah di dunia ini? Mana mungkin pertanyaan guruku sesimpel aku menjawab bahwa oksigen dan air lah yang tak akan pernah berubah? Sudahlah.. makanan ini terlalu enak untuk dinikmati bersama kecamuk pikiran tugas sekolah.

“Angga..! Angga..! Metuo[2]!” terdengar serombongan orang berteriak memanggil nama Abah. Huft.. kapan aku bisa tenang bersama keluargaku!, aku menggerutu dalam hati. Sudah semacam jadi hal yang rutin tiap pekan sekali ada sekelompok orang datang ke rumah, menuntut ini dan itu. Semuanya tak lepas dari permasalahan air. Mulai dari ijin mengambil air, ijin melewati kawasan lindung, pipa air warga yang bocor, hingga rasa tidak puas atas sekian pelayanan yang telah diberikan Abah dalam tiap kinerjanya. Jika melihat dari nada suara orang-orang yang datang, tampaknya itu adalah segerombolan orang yang ingin menuntut sesuatu atau merasa tidak puas atas peraturan yang ada.

Aku pun menyadarinya. Memang sudah menjadi resiko kerja Abah sebagai seorang sinder[3] hutan terlebih di kawasan hutan lindung. Meski demikian, aku masih bersyukur Abah tidak ditempatkan di kawasan hutan jati. Konon di sana lebih berbahaya, lebih banyak gesekan dan konflik terlebih dengan para pembalak hutan, pencuri kayu. Tak tanggung-tanggung, mereka berkelompok dan bersenjata tajam, sedangkan para polisi hutan, sudah sejak lama mereka tak diijinkan membawa pistol.

Aku pun bergegas menyelesaikan makanku. Aku menghampiri Abah yang bersiap keluar rumah, mengencangkan sarung dan memakai peci sekenanya. Tablet yang menemaninya tergeletak begitu saja di kursi goyang tempat duduknya tadi. Aku pun mengekor di belakang Abah, penasaran dengan mereka yang tampak emosi membawa beberapa kertas karton bertuliskan tuntutan dan tanda tangan yang cukup banyak.

“Ada apa nggih, Pak? Kok ndak masuk saja ke rumah dan dibicarakan semua sambil duduk?” Abah berusaha memelankan suara serombongan orang itu. Kulihat paras mereka, tampak kemerahan dipenuhi darah yang memuncak sampai ubun-ubun. Aku yakin mereka datang dari luar desa sini. Wajah mereka tampak asing bagiku. Seketika itu pula aku sadar bahwa kawasan kerja Abah cukup luas, tak hanya lintas desa, tapi lintas kecamatan.

Tai Asu! Aturan macam apa yang kamu buat ini?! Masak kami sudah tidak bisa membuat jalur air yang baru? Padahal sebelum kami, semua sudah beres, diijinkan, tidak ada masalah! Apa kudu mbayar jutaan rupiah dulu?!”

Abah hanya mengernyitkan dahi, lalu menarik nafas dalam dan mengempaskannya bebas. “Baik, jika Bapak dan rekan-rekan sekalian tidak berkenan masuk dan duduk dibicarakan di dalam rumah, maka saya ingin tahu Bapak dan rekan-rekan sekalian dari desa mana nggih?”

“Kami dari Desa Genilangit! Bapak tahu sendiri kan di sana banyak tetangga kami yang bisa membuat jalur air untuk kebutuhan sehari-hari yang diambil dari hutan. Kenapa kami tidak bisa?”

“Bapak dari kelompok tani desa setempat kah? Atau instansi baru atau bahkan perseorangan?” Kulihat mimik Abah tampak lebih tenang. Seolah sudah mengetahui duduk perkaranya seperti apa.

Arrgh… kebanyakan tanya! Intinya, Bapak ini mengijinkan kami atau tidak?! Jika tidak, kami akan memotong semua pipa yang ada di desa biar sekalian semua warga tidak ada yang mendapatkan air!”

“Silakan… jika memang itu yang Bapak kehendaki, saya tidak bisa membantu apapun misal terjadi apa-apa nantinya.” Abah tetap tenang. Abah tahu bahwa hal semacam itu tidak akan pernah terjadi. Jika itu terjadi, maka seluruh warga akan marah pada mereka.

Angin malam pun berhembus, dingin mulai merasuk menusuk-nusuk kulit hingga ke tulang. Desir suaranya memecah keheningan yang tercipta selepas kalimat Abah pada mereka. Kulihat mereka terdiam sejenak, ekspresi mereka tampak bingung. Ancaman mereka tak mempan untuk Abah. Bisik-bisik pun mulai terdengar dari dalam gerombolan orang itu. Keresahan tampak nyata di wajah Bapak yang sedari tadi marah-marah pada Abah.

“Mari, Pak, kita bicarakan di dalam saja. Saya khawatirnya, bapak-bapak sekalian belum tahu mekanismenya atau bahkan cerita di balik aturan yang baru saja bapak-bapak komplain. Kami dari pengelola Perhutani berupaya semaksimal mungkin untuk kebaikan semua pihak Pak!Monggo pinarak[4]

Aku pun ikut mendengarkan pembicaraan Abah bersama bapak-bapak itu. Aku duduk di samping Abah, mendengarkan dengan seksama. Tanpa diminta, Ibu sudah menyajikan teh hangat dengan gorengan yang baru saja dibeli dari warung dekat rumah. Tak lupa yang selalu tersaji untuk siapapun yang hadir di rumah dinas Perhutani ini, minuman Madu Perhutani dalam kemasan gelas.

“Silakan Pak, dinikmati hidangan seadanya ini. Bapak-bapak yang di luar juga silakan dinikmati! Maaf tempatnya tidak muat untuk semua orang masuk ke dalam!”

Lalu tanpa berpanjang lebar lagi, Abah menjelaskan duduk perkara munculnya aturan itu. Sejatinya aturan yang belum lama diterapkan ini untuk menertibkan penduduk yang sekehendak hati mengambil air dari mata air di kawasan hutan lindung. Abah menyampaikan bahwa sumber daya alam juga mempunyai batasnya, jika terlalu besar dieksploitasi, khawatir akan habis dan butuh waktu lebih lama untuk mengembalikannya. Bapak-bapak itu hanya bisa mengangguk dan seksama mendengar penjelasan dari Abah.

“Sumber air Tirtogumarang itu sudah diambil beberapa desa Pak. Tidak hanya itu, PDAM Magetan juga mengambil air dari sumber air yang sama. Jadi bisa dikatakan, pasokan air kabupaten Magetan sangat bergantung pada mata air di hutan alam ini. Jika terjadi kerusakan atau bahkan kekeringan karena terlalu dieksploitasi, bisa mengancam seluruh warga satu kabupaten lho Pak. Pripun jika seperti itu kejadiannya?”

Bapak-bapak yang tadinya tersulut emosi, kini berubah menjadi pucat pasi. Nampak kebingungan di wajah mereka. Semuanya terdiam, hening sejenak. Suara sruputan teh hangat pun terdengar. Abah meletakkan kembali teh hangatnya di meja.

Monggo lho Pak, sambil diminum teh-nya.”

Mereka tetap diam. Beberapa hanya mengangguk sembari mengambil teh yang tersaji di depannya sebagai bentuk penghormatan pada Abah.

“Kalau diam saja, saya kan juga ndak tahu harus bagaimana. Misal masih ada yang mengganjal di hati bapak-bapak sekalian? Monggo disampaikan, semoga ada solusi untuk kebaikan bersama.”

“Kami bisa memahami permasalahan yang disampaikan Pak Angga, tapi kelompok PHBM[5] di desa kami membedakan orang satu dengan orang lain. Terlebih jika ada ketidakcocokan yang kami sendiri tidak tahu itu apa. Apa yang harus kami perbuat Pak? Padahal Pak Angga tahu sendiri kalau air adalah kebutuhan paling penting untuk kita kan?”

“Baik Pak,insyaAllah nanti akan kami kelola sedemikian rupa agar hal-hal yang seperti bapak-bapak alami tidak lagi terjadi. Ini kan sudah 2030, masak kita masih saja mau perang kayak jaman penjajahan dulu?! Kan ndak lucu to?” Abah tersenyum simpul, lalu diikuti bapak-bapak di ruangan yang tak terlalu besar ini.

Beginilah rutinitas yang hampir terjadi setiap pekan. Abah selalu menerima kehadiran tamu yang tak diundang, menjelaskan detail duduk perkara suatu permasalahan. Istilah wanatani juga sangat sering disampaikan Abah ketika menjelaskan pada para tamu. Mungkin inilah salah satu faktor kenapa program studi agroforestri begitu menarik minatku untuk berkuliah dan mendalami ilmunya. Aku ingin seperti Abah, menjadi seorang agroforester yang bermanfaat untuk semua orang. Abah yang tahu permasalahan lingkungan, dan tahu bagaimana menyelesaikannya dengan menggunakan pendekatan budaya. Terima kasih Abah, sepertinya aku bisa menemukan jawaban PR pendidikan hutan dan lingkungan.

“Saya pamit mengerjakan PR dulu nggih Bah, bapak-bapak sekalian….”

Kubungkukkan badanku, merunduk berjalan pelan-pelan melalui Abah dan bapak-bapak yang sudah mulai menemukan titik terang atas permasalahan yang ada. Aku pun tersenyum senang, mendapatkan ilmu dari obrolan Abah dan bapak-bapak tadi. Begitulah, aku selalu tak ingin melewatkan obrolan bersama Abah. Pasti ada ilmu baru untukku.

Malam ini, ilmu itu yang sekaligus bisa menjawab pertanyaan dari guruku adalah tentang satu hal yang tidak akan pernah berubah. Hal yang tak akan pernah berubah adalah kreatifitas manusia. Seperti halnya oksigen dan air yang selamanya akan dibutuhkan manusia untuk hidup. Kreatifitas manusia inilah yang membedakan dengan ciptaan lainnya. Ya, aku yakin guruku akan membenarkannya.

—–

Kicau burung perlahan memudar, embun perlahan sirna bersama hangat sinar mentari yang mulai tinggi. Pagi ini, jam pelajaran ketiga dan keempat, pendidikan hutan dan lingkungan. Aku tak sabar mendengar komentar dari Bu Murni. Semalam sebelum tidur tugas telah kukirimkan pada beliau. Aku cemas, sedikit grogi. Ehmm.. atau aku yang terlalu percaya diri? Ah sudahlah… ditunggu saja beliau masuk ruang kelas.

“Roni! Silakan maju ke depan…” Bu Murni langsung memanggil namaku selepasnya duduk dan menyiapkan presentasi hari ini.

“Iya, Bu? Saya?” kupasang mimik kaget dan bingungku. Yes, sesuai perkiraanku! Bu Murni pasti memintaku untuk presentasi di depan kelas, batinku girang. Mungkin beginilah ciri orang-orang bermuka dua? Jujur, baru kali ini saja aku seperti ini. Kejadian semalam seperti kristalisasi sekian permasalahan yang dijumpai Abah lalu kutarik satu pelajaran berharga.

“Iya! Kamu Roni, silakan maju ke depan. Ibu mau minta tolong tarik layar presentasi ini. Ibu kesulitan. Bisa kan?”

Ooh.. baik Bu.” Aku maju ke depan sembari menundukkan kepala, tersenyum kecut. Malu pada diri sendiri yang terlalu percaya diri bahwa Bu Murni akan memberikan nilai terbaik pada presentasiku. Sesampainya di depan kelas, belum sempat menarik layar untuk presentasi, Bu Murni menepuk pundakku kemudian mengarahkan tubuhku agar menghadap ke arah teman-teman sekelas.

“Saya mengapresiasi tugas yang telah dikerjakan Roni. Bukan karena Roni adalah anak seorang pegawai Perhutani, melainkan lebih pada bagaimana Roni bisa mengambil satu pelajaran berharga dari peristiwa yang telah ia alami selama ini. Baik pengalaman yang dialami langsung maupun pengalaman dari hasil pembacaan buku dan lingkungan sekitarnya. Saya juga tidak akan memintanya presentasi di depan kelas, tetapi kuminta Roni membuat tulisan khusus atas tugas yang telah dibuat, kemudian kirimkan ke media massa.”

“Tapi, Bu, saya….”

“Sudah, tidak ada tapi lagi. Kalian semua juga diperkenankan untuk menuliskan hasil tugas kemarin, lalu mengirimkannya ke media massa, khusus untuk Roni hukumnya wajib!” Bu Murni menegaskan sekali lagi padaku atas pentingnya ulasan pembahasanku. “Dicoba saja ya Roni! Masukkan ke media massa, segera!”

“Ibu melihat ada poin penting yang telah dibahas Roni dalam presentasinya. Terima kasih Roni telah membantu Ibu menyiapkan layar presentasi.” Bu Murni tampak tersenyum bangga. Aku pun kembali ke tempat duduk dan dengan seksama memperhatikan apa yang dijelaskan Bu Murni di dalam kelas.

“Roni telah mengulas dalam tugasnya tentang peran wanatani, atau yang lebih sering kita dengar di kelas dengan istilah agroforestri. Bagaimana Roni memadukan antara hutan, pertanian, dan kehidupan sosial budaya telah memunculkan satu formulasi yang selama ini saya sendiri tidak berpikir sejauh itu.”

Huft... Bu Murni tak tahu apa yang kuinginkan!, aku hanya menggerutu dalam hati. Bu Murni masih lanjut menceritakan betapa temuan itu sangat berarti. Aku tak sehebat itu!, jengkelku semakin menjadi ketika Bu Murni menampilkan presentasi ciptaannya modifikasi atas konten tugas yang telah kubuat. Teknologi tiga dimensi telah membuat semuanya lebih mudah dan bisa tampak lebih nyata. Terlebih Bu Murni telah menggunakan perangkat keluaran terbaru dengan sistem operasi gulali.

Sudahlah... tak ada gunanya pula aku protes pada guruku, suara seorang siswa selamanya tak akan pernah digubris oleh siapapun. Katanya aku ini masih anak ingusan, anak kemarin sore. Lihat saja kelak ketika tiba masanya aku mengambil peran nyata seperti Abah, akan kuubah Indonesia menjadi negeri yang jauh lebih berarti. Biarkan hari ini aku bermimpi dengan sejuta harapan yang ingin kuraih, lalu lihatlah nanti! Indonesia akan bangga punya anak negeri yang tak pernah takut membangun cita dan mimpi. Terima kasih Abah, atas semua inspirasi yang tiada henti.

“Roni, ada apa kamu senyum-senyum sendiri?”, lagi-lagi lamunanku selalu dibuyarkan begitu saja. Semoga mimpi yang telah kutulis dalam jiwa tak pernah padam dan hilang seperti lamunanku yang diganggu oleh suatu peristiwa.

Ohya.. nggak papa, Bu. Silakan dilanjutkan penjelasannya. Saya suka.”, kuberikan senyum terbaikku pada Bu Murni. Aku teringat dengan daftar mimpiku yang belum tuntas. Bismillah, aku akan melangkah meraih mimpi selanjutnya!

[1]Sayur yang dimasak rebus sampai terlihat layu atau empuk. Bisa sayur bayam, sayur sawi atau cesim, dll.

[2]Keluarlah!

[3]Nama lain dari Asper (asisten perhutani), kepala suatu kawasan hutan setingkat BKPH di Perhutani.

[4]Mari, silakan masuk…

[5]Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Salah satu program yang dicanangkan oleh Perhutani dalam mengelola kawasan hutan.

Penulis
Angga Suprapto

Mahasiswa studi Pasca Sarjana Kehutanan UGM
Anggota Aktif FLP Yogyakarta

Membangkitkan Kejayaan Pers Islam (Bagian 1)

Kemajuan teknologi informasi memperluas ladang dakwah umat Islam. Kesadaran ini mulai terlihat di kalangan aktivis dakwah kampus. Misalnya dengan dibentuknya komisi khusus bidang kemediaan dalam Forum Lembaga Dakwah Kampus se-Indonesia (FSLDK Indonesia) periode 2012-2015.

Di sisi lain, ternyata dakwah media bukanlah medan dakwah baru dalam sejarah bangsa kita. Bagaimana perjalanan dakwah media di Indonesia? Untuk itu, kita perlu menelusuri perjuangan para pendahulu dakwah media.

Perjalanan Pers Islam Indonesia

Sepanjang sejarah perjalanan pers di Indonesia, jurnalis muslim sudah menorehkan kontribusinya.  Misalnya, mereka menyuarakan kehidupan rakyat Indonesia dalam tulisan-tulisannyapada masa penjajahan Belanda. Jurnalis muslim pada masa itu mulai menyadari bahwa media berperan dalam membentuk opini publik. Pemikiran ini senantiasa diwariskan dan terekam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Soekarno, Hatta, Natsir, maupun Tjokroaminoto, merupakan tokoh-tokoh muslim yang turut aktif berperan dalam merebut kemerdekaan Indonesia melalui jurnalistik. Selain mereka, ada pula Adinegoro.

Perjuangan Adinegoro melalui jurnalistik dimulai sejak bersekolah di STOVIA. Di sekolah itu, beliau tidak diperbolehkan menulis sehingga menggunakan nama samaran “Adinegoro”. Tulisan-tulisannya yang acap kali menyerang Belanda secara halus, membuat rumahnya sering digeledah. Akhirnya beliau keluar dari STOVIA, lalu mempelajari ilmu jurnalistik di Belanda dan Jerman. Ketika kembali ke Indonesia, beliau sempat memimpin majalah Panji Pustaka (1931), surat kabar Pewarta Deli (1932-1942), Sumatera Shimbun, majalah Mimbar Indonesia (1948-1950), Yayasan Pers Biro Indonesia (1951), dan bekerja di Kantor Berita Nasional.Nama beliau diabadikan dalam ajang penghargaan karya jurnalistik Indonesia, Anugerah Adinegoro, yang diselenggarakan setiap tahun. Eksistensi beliau sebagai tokoh pers nasional semakin membuktikan peran umat Islam dalam sejarah pers di Indonesia.

Di sisi lain, berkembang pula pers Islam. Salah satunya adalah Pedoman Masyarakat dengan mottonya “Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam”. Sayangnya, perkembangan pers di Indonesia -termasuk pers Islam- semakin meredup seiring karena kerakusan Jepang terhadap kertas. Pada masa Soekarno, pers di Indonesia sempat merasakan kebebasan dalam berekspresi dan mengekplorasi diri. Namun hal itu tidak berlangsung lama.Pemerintah membredeli pers yang berusaha menyuarakan pendapatnya. Hanya pers yang memberitakan kabar pemerintah yang masih bertahan.

Bergantinya pemerintahan Soekarno menjadi pemerintahan Soeharto diharapkan dapat mengembalikan peluang dakwah media. Namun ternyata Soeharto menerapkan sistem penyederhanaan partai politik yang secara langsung berpengaruh terhadap media partai politik itu sendiri. Penekanan terhadap kebebasan pers yang dilakukan pemerintah Soeharto semakin melemahkan dakwah media.

Selain itu, ada beberapa hal yang menghambat bergeraknya pers Islam pada masa Soeharto. Pertama, sistem politik yang meminggirkan peran umat Islam dengan menentang segala simbol keislaman. Dari kondisi ini, muncullah pers Islam tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Di sisi lain, kebijakan Soeharto dalam bidang ekonomi yang mengutamakan para konglomerat telah mengecilkan potensi masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah umat Islam.Hal ini berimbas pada kelangkaan pengusaha muslim yang terjun dalam pers Islam.

Selain faktor tersebut, melemahnya dakwah media disebabkan oleh internal pers Islam, yaitu sumber daya manusia. Ketahanan pers Islam tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusianya. Karya yang diterbitkan oleh pers Islam sangat ditunggu karena kualitas penulisnya. Bahkan pembaca lebih tertarik karena mengenal penulisnya daripada medianya. Hal ini menunjukkan lemahnya pengkaderan.

Refleksi terhadap Dakwah Media Sekarang

Perjalanan pers Islam di Indonesia menunjukkan bahwa dakwah media bukanlah suatu hal yang baru bagi bangsa kita. Umat Islam di negeri ini justru tak pernah ketinggalan dalam mengambil peran bagi perkembangan pers. Ada beberapa akar permasalahan dalam sejarah pers Islam yang kita jumpai saat ini.

Pertama dari segi pengkaderan. Jika dalam sejarahnya pers Islam dapat memunculkan tokoh seperti Buya Hamka yang semasa hidupnya dapat menulis ratusan buku bahkan menulis sebuah tafsirQur’an, bagaimana SDM kita saat ini? Padahal kualitas pers tidak terlepas dari kualitas SDM-nya. Selain itu, opini sebagian aktivis dakwah yang belum menganggap media sebagai sarana berdakwah menjadikan kuantitas SDM lamban mencapai peningkatan. Padahal, umat Islam harus ikut serta dalam meng-coverkuatnya arus informasi.

Akar permasalahan yang kedua adalah manajemen media. Dakwah media dianggap sebagai hal yang baru sehingga kita seolah kekurangan referensi dalam mengembangkan manajemen media. Jika kita menoleh ke masa lalu, meski riwayat Pedoman Masyarakat telah berakhir pada masa Jepang, namun penggagasnya segera menerbitkan majalah Semangat Islam sehingga dakwah media tetaplah berjalan.

Selain itu, hal yang tak kalah penting ialah harmonisasi dalam gerak dakwah media.Perlu disepakati bahwa media Islam satu sama lain memiliki peran saling menguatkan.Tentunya berawal dari kesamaan frekuensi para penggagas media Islam –yang saat ini bertebaran- bahwa kebangkitan media membutuhkan kekuatan besar. Masih ada permasalahan yang lebih prioritas dari sekadar mementingkan masing-masing golongan, yakni mendobrak media arus utama yang semakin jauh dari nilai keislaman.

Referensi:

Lahirnya Pers Islam di Indonesia (http://jejakislam.net/?p=331)
Membungkam Pers Islam di Masa Silam (http://jejakislam.net/?p=746)
Seniman Sastra: Adinegoro (http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/adinegoro.html)
Penulis
Wening Mulat Asih
Anggota Lembaga Dakwah Jama’ah Shalahuddin UGM yang aktif dalam Komisi Ke-LDK-an Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja periode 2013-2015

Puisi : Keberadaan

Oleh : Rezha Aditya M.*

Matahari itu pasti akan selalu bersinar tanpa diminta
Dan Bulan pun akan selalu menggantikannya dengan tanpa ada yang memperhatikannya
Pelangi pun akan selalu muncul ketika reaksi itu bertemu
Dan Hujan pun turun ketika unsur-unsur di langit saling bertabrakan

Namun ketika Mereka hanya dianggap sebuah siklus
Hanya sebuah pembiasaan, dan menjadi terbiasa
Mereka hanyalah sebuah benda yang tak terlihat
Mata secara fisik maupun mata hati

Sebuah pernyataan keberadaan adalah keniscayaan yang terjadi
Bukan untuk popularitas dan dianggap ada
Namun sebuah timbal balik sebuah kerja,
Yaitu kepercayaan

Seringkali kita mengelak, dan berkata
Mereka itu ada di hati, tidak perlu diucapkan dengan indah
Bukankah hati milik pribadi, dan itu caraku menjaga untuknya
Tapi pernahkah meneropong hati mereka?
Ketika mereka ingin dianggap secara kasat mata

Berbeda itu pasti
Namun bagaimana kita memahaminya
Adalah kekuatan terindah dari suatu kata
Komitmen, diantara kita dan amanah.

——————————————————————————–

*Penulis adalah Anggota Aktif FLP Yogyakarta

Reklamasi Singapura

Reklamasi adalah proses perluasan wilayah yang dilakukan secara sengaja oleh negara yang bersangkutan dengan cara melakukan pengerukan. Perluasan wilayah ini dilakukan oleh negara Singapura sesuai dengan Concept Plan mereka pada tahun 2001 yaitu bertujuan untuk memberikan daya tampung yang lebih terhadap rencana penambahan kawasan perumahan, industri, rekreasi, infrastruktur dll. Concept Plan ini juga didesain untuk memproyeksi dan memperluas wilayah Singapura dalam jangka 50 tahun kedepan. Saat ini Singapura mengalami perluasan hingga 710 km2 atau maju sejauh 12 km ke arah perbatasan Indonesia yaitu Kepulauan Riau (Pulau Nipah).

Pengerukan guna memperoleh tambahan pasir dilakukan Singapura dengan mengimpor dari Negara Indonesia, pengerukan dilakukan sejak tahun 1965, meskipun sejak tahun 2002 pemerintah sudah memberhentikan/mengharamkan pengerukan pasir namun masih ada saja beberapa pihak yang masih mengambil kesempatan ini untuk mendapat keuntungan dari penambangan pasir. Sebelumnya, Malaysia juga merupakan negara yang mengekspor pasir pantainya untuk kepentingan reklamasi Singapura, namun tidak berapa lama malaysia mulai memperhitungkan aspek lingkungan akibat adanya penambangan pasir tersebut, termasuk adanya resiko gelombang pasang yang besar yang akan mengancam kehidupan pesisir Malaysia.

Proyek reklamasi Negara Singapura juga merupakan upaya mereka untuk melindungi daratannya dari ancaman semakin tingginya permukaan air laut. Secara etika, Singapura sudah mempertimbangkan segala aktifitas perluasan wilayah demi keberlangsungan lingkungan dan kehidupan negara mereka, namun bagaimana etika lingkungan yang digunakan Singapura jika dilihat dampaknya bagi Negara perbatasan yaitu Indonesia?.

Dampak lingkungan akibat adanya ekspor pasir pantai dari Indonesia ke Singapura ialah pengurangan wilayah daratan di Indonesia, terutama di beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau seperti Pulau Nipah.

Pulau Nipah merupakan pulau terluar dari Indonesia yaitu Kepulauan Riau. Pada tahun 2003 lalu perairan di sekitar Pulau Nipah mengalami kenaikan yang begitu besar hingga daratan hanya terrsisa beberapa meter saja dari permukaan laut. Isu hilangnya pulau ini semakin diperkuat dengan adanya penambangan pasir secara liar dan ditambah lagi dengan sumber daya pasir Pulau Nipah yang memiliki sumber mineral yang cukup banyak hingga banyak kapal penyedot pasir yang mengekstrasi pasir di atas kapal, lalu kemudian membuang lumpur serta sisa lempungnya di perairan sekitar. Hal ini juga yang menjadi salah satu akibat mengapa perairan sekitar Pulau Nipah menjadi keruh.
(bersambung…)

Penulis
Maisyarah Pradhita Sari
Mahasiswi Fakultas Teknik UGM

Gambar : Bakosurtanal.go.id