Tak ada satu pun makhluk hidup di dunia ini yang tidak membutuhkan air. Kalimat itu selalu diulang oleh guruku dalam kelas, setiap hari. Kalimat yang tak bosan diulang-ulang dalam pelajaran yang baru dikenalkan beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2020, pelajaran pendidikan hutan dan lingkungan. Entah apa yang menyebabkan mata pelajaran ini muncul. Aku pun tak tahu. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 1 SD. Meski begitu, aku bersyukur karena sekarang tampaknya sudah tidak ada lagi produsen kertas yang menebang pohon untuk keperluan bahan bakunya. Aku pun tak tahu apa penggantinya, untuk apa aku memikirkannya? Lebih baik aku fokus pada persiapan ujian masuk perguruan tinggi yang tinggal beberapa bulan lagi.
“Mas, kalau ada virus seperti ini bagaimana caranya ya?” lamunanku dibuyarkan Bimo, adikku satu-satunya yang duduk di kelas 5 SD. Dia menyodorkan tablet super hybrid-nya, dibingungkan dengan gangguan kecil virus yang sering menjangkiti gadget produksi lima tahun lalu. Wajarlah, kami dari keluarga yang kurang begitu mampu, hanya bisa mendapatkan piranti bekas dan itu pun sudah tertinggal cukup jauh dari barang keluaran terbaru yang sistem operasinya diberi nama“gulali” produksi dalam negeri.
“Sini coba tak lihat! Halah, ini memang kelemahan produk Korea.” sembari menyentuh beberapa kali bagian layarnya, kulihat di kanan dan kiri, ketemu sumber virusnya, dan selesai.
“Makasih ya, Mas….” Bimo spontan tersenyum lalu pergi begitu saja meninggalkanku.
Dunia begitu cepat berubah dan aku masih baru akan mengawali langkahku dalam dunia kuliah. Akan jadi seperti apa kelak? Apakah akan menjadi pohon yang hadirnya sangat dibutuhkan manusia sekarang? Entahlah.Pohon kini begitu berharga, pemanasan global kian menggila. Pun dengan mata pelajaran pendidikan hutan dan lingkungan yang sudah kuterima selama hampir satu dekade ini tak juga memberikan pengaruh nyata. Adapun yang nyata kurasakan sekarang adalah konflik terjadi dimana-mana. Kebijakan yang diambil pemerintah manapun semua fokus pada masalah hutan dan lingkungan. Ehmm… benar kiranya dari serentetan sejarah kepemimpinan di Indonesia, masa pemerintahan Presiden Muhariyadi-lah yang paling fenomenal memberikan perubahan. Sayangnya itu perubahan yang buruk.
“Le.. cepet makan! Sudah malam, dari tadi kamu belum makan to? Belajarnya dilanjut lagi nanti!” Sekarang giliran abah yang membuyarkan kecamuk pikiranku.
“Nggih, Bah….” Kulihat Abah tengah asik membuka tablet lawasnya. Barang kuno itu masih setia menemani Abah menghilangkan penatnya untuk sekedar bermain Angry Bird.
Kuambil tempe goreng khas buatan ibu, ditemani dengan sambel pecel dan kelem[1]bayam. Kulirik Bimo tengah asik mengerjakan tugas sekolahnya di depan tablet-nya. Ah, dunia benar-benar sudah berubah. Lalu bagaimana caranya aku menemukan satu hal yang tidak akan pernah berubah di dunia ini? Mana mungkin pertanyaan guruku sesimpel aku menjawab bahwa oksigen dan air lah yang tak akan pernah berubah? Sudahlah.. makanan ini terlalu enak untuk dinikmati bersama kecamuk pikiran tugas sekolah.
“Angga..! Angga..! Metuo[2]!” terdengar serombongan orang berteriak memanggil nama Abah. Huft.. kapan aku bisa tenang bersama keluargaku!, aku menggerutu dalam hati. Sudah semacam jadi hal yang rutin tiap pekan sekali ada sekelompok orang datang ke rumah, menuntut ini dan itu. Semuanya tak lepas dari permasalahan air. Mulai dari ijin mengambil air, ijin melewati kawasan lindung, pipa air warga yang bocor, hingga rasa tidak puas atas sekian pelayanan yang telah diberikan Abah dalam tiap kinerjanya. Jika melihat dari nada suara orang-orang yang datang, tampaknya itu adalah segerombolan orang yang ingin menuntut sesuatu atau merasa tidak puas atas peraturan yang ada.
Aku pun menyadarinya. Memang sudah menjadi resiko kerja Abah sebagai seorang sinder[3] hutan terlebih di kawasan hutan lindung. Meski demikian, aku masih bersyukur Abah tidak ditempatkan di kawasan hutan jati. Konon di sana lebih berbahaya, lebih banyak gesekan dan konflik terlebih dengan para pembalak hutan, pencuri kayu. Tak tanggung-tanggung, mereka berkelompok dan bersenjata tajam, sedangkan para polisi hutan, sudah sejak lama mereka tak diijinkan membawa pistol.
Aku pun bergegas menyelesaikan makanku. Aku menghampiri Abah yang bersiap keluar rumah, mengencangkan sarung dan memakai peci sekenanya. Tablet yang menemaninya tergeletak begitu saja di kursi goyang tempat duduknya tadi. Aku pun mengekor di belakang Abah, penasaran dengan mereka yang tampak emosi membawa beberapa kertas karton bertuliskan tuntutan dan tanda tangan yang cukup banyak.
“Ada apa nggih, Pak? Kok ndak masuk saja ke rumah dan dibicarakan semua sambil duduk?” Abah berusaha memelankan suara serombongan orang itu. Kulihat paras mereka, tampak kemerahan dipenuhi darah yang memuncak sampai ubun-ubun. Aku yakin mereka datang dari luar desa sini. Wajah mereka tampak asing bagiku. Seketika itu pula aku sadar bahwa kawasan kerja Abah cukup luas, tak hanya lintas desa, tapi lintas kecamatan.
“Tai Asu! Aturan macam apa yang kamu buat ini?! Masak kami sudah tidak bisa membuat jalur air yang baru? Padahal sebelum kami, semua sudah beres, diijinkan, tidak ada masalah! Apa kudu mbayar jutaan rupiah dulu?!”
Abah hanya mengernyitkan dahi, lalu menarik nafas dalam dan mengempaskannya bebas. “Baik, jika Bapak dan rekan-rekan sekalian tidak berkenan masuk dan duduk dibicarakan di dalam rumah, maka saya ingin tahu Bapak dan rekan-rekan sekalian dari desa mana nggih?”
“Kami dari Desa Genilangit! Bapak tahu sendiri kan di sana banyak tetangga kami yang bisa membuat jalur air untuk kebutuhan sehari-hari yang diambil dari hutan. Kenapa kami tidak bisa?”
“Bapak dari kelompok tani desa setempat kah? Atau instansi baru atau bahkan perseorangan?” Kulihat mimik Abah tampak lebih tenang. Seolah sudah mengetahui duduk perkaranya seperti apa.
“Arrgh… kebanyakan tanya! Intinya, Bapak ini mengijinkan kami atau tidak?! Jika tidak, kami akan memotong semua pipa yang ada di desa biar sekalian semua warga tidak ada yang mendapatkan air!”
“Silakan… jika memang itu yang Bapak kehendaki, saya tidak bisa membantu apapun misal terjadi apa-apa nantinya.” Abah tetap tenang. Abah tahu bahwa hal semacam itu tidak akan pernah terjadi. Jika itu terjadi, maka seluruh warga akan marah pada mereka.
Angin malam pun berhembus, dingin mulai merasuk menusuk-nusuk kulit hingga ke tulang. Desir suaranya memecah keheningan yang tercipta selepas kalimat Abah pada mereka. Kulihat mereka terdiam sejenak, ekspresi mereka tampak bingung. Ancaman mereka tak mempan untuk Abah. Bisik-bisik pun mulai terdengar dari dalam gerombolan orang itu. Keresahan tampak nyata di wajah Bapak yang sedari tadi marah-marah pada Abah.
“Mari, Pak, kita bicarakan di dalam saja. Saya khawatirnya, bapak-bapak sekalian belum tahu mekanismenya atau bahkan cerita di balik aturan yang baru saja bapak-bapak komplain. Kami dari pengelola Perhutani berupaya semaksimal mungkin untuk kebaikan semua pihak Pak!Monggo pinarak[4]…”
Aku pun ikut mendengarkan pembicaraan Abah bersama bapak-bapak itu. Aku duduk di samping Abah, mendengarkan dengan seksama. Tanpa diminta, Ibu sudah menyajikan teh hangat dengan gorengan yang baru saja dibeli dari warung dekat rumah. Tak lupa yang selalu tersaji untuk siapapun yang hadir di rumah dinas Perhutani ini, minuman Madu Perhutani dalam kemasan gelas.
“Silakan Pak, dinikmati hidangan seadanya ini. Bapak-bapak yang di luar juga silakan dinikmati! Maaf tempatnya tidak muat untuk semua orang masuk ke dalam!”
Lalu tanpa berpanjang lebar lagi, Abah menjelaskan duduk perkara munculnya aturan itu. Sejatinya aturan yang belum lama diterapkan ini untuk menertibkan penduduk yang sekehendak hati mengambil air dari mata air di kawasan hutan lindung. Abah menyampaikan bahwa sumber daya alam juga mempunyai batasnya, jika terlalu besar dieksploitasi, khawatir akan habis dan butuh waktu lebih lama untuk mengembalikannya. Bapak-bapak itu hanya bisa mengangguk dan seksama mendengar penjelasan dari Abah.
“Sumber air Tirtogumarang itu sudah diambil beberapa desa Pak. Tidak hanya itu, PDAM Magetan juga mengambil air dari sumber air yang sama. Jadi bisa dikatakan, pasokan air kabupaten Magetan sangat bergantung pada mata air di hutan alam ini. Jika terjadi kerusakan atau bahkan kekeringan karena terlalu dieksploitasi, bisa mengancam seluruh warga satu kabupaten lho Pak. Pripun jika seperti itu kejadiannya?”
Bapak-bapak yang tadinya tersulut emosi, kini berubah menjadi pucat pasi. Nampak kebingungan di wajah mereka. Semuanya terdiam, hening sejenak. Suara sruputan teh hangat pun terdengar. Abah meletakkan kembali teh hangatnya di meja.
“Monggo lho Pak, sambil diminum teh-nya.”
Mereka tetap diam. Beberapa hanya mengangguk sembari mengambil teh yang tersaji di depannya sebagai bentuk penghormatan pada Abah.
“Kalau diam saja, saya kan juga ndak tahu harus bagaimana. Misal masih ada yang mengganjal di hati bapak-bapak sekalian? Monggo disampaikan, semoga ada solusi untuk kebaikan bersama.”
“Kami bisa memahami permasalahan yang disampaikan Pak Angga, tapi kelompok PHBM[5] di desa kami membedakan orang satu dengan orang lain. Terlebih jika ada ketidakcocokan yang kami sendiri tidak tahu itu apa. Apa yang harus kami perbuat Pak? Padahal Pak Angga tahu sendiri kalau air adalah kebutuhan paling penting untuk kita kan?”
“Baik Pak,insyaAllah nanti akan kami kelola sedemikian rupa agar hal-hal yang seperti bapak-bapak alami tidak lagi terjadi. Ini kan sudah 2030, masak kita masih saja mau perang kayak jaman penjajahan dulu?! Kan ndak lucu to?” Abah tersenyum simpul, lalu diikuti bapak-bapak di ruangan yang tak terlalu besar ini.
Beginilah rutinitas yang hampir terjadi setiap pekan. Abah selalu menerima kehadiran tamu yang tak diundang, menjelaskan detail duduk perkara suatu permasalahan. Istilah wanatani juga sangat sering disampaikan Abah ketika menjelaskan pada para tamu. Mungkin inilah salah satu faktor kenapa program studi agroforestri begitu menarik minatku untuk berkuliah dan mendalami ilmunya. Aku ingin seperti Abah, menjadi seorang agroforester yang bermanfaat untuk semua orang. Abah yang tahu permasalahan lingkungan, dan tahu bagaimana menyelesaikannya dengan menggunakan pendekatan budaya. Terima kasih Abah, sepertinya aku bisa menemukan jawaban PR pendidikan hutan dan lingkungan.
“Saya pamit mengerjakan PR dulu nggih Bah, bapak-bapak sekalian….”
Kubungkukkan badanku, merunduk berjalan pelan-pelan melalui Abah dan bapak-bapak yang sudah mulai menemukan titik terang atas permasalahan yang ada. Aku pun tersenyum senang, mendapatkan ilmu dari obrolan Abah dan bapak-bapak tadi. Begitulah, aku selalu tak ingin melewatkan obrolan bersama Abah. Pasti ada ilmu baru untukku.
Malam ini, ilmu itu yang sekaligus bisa menjawab pertanyaan dari guruku adalah tentang satu hal yang tidak akan pernah berubah. Hal yang tak akan pernah berubah adalah kreatifitas manusia. Seperti halnya oksigen dan air yang selamanya akan dibutuhkan manusia untuk hidup. Kreatifitas manusia inilah yang membedakan dengan ciptaan lainnya. Ya, aku yakin guruku akan membenarkannya.
—–
Kicau burung perlahan memudar, embun perlahan sirna bersama hangat sinar mentari yang mulai tinggi. Pagi ini, jam pelajaran ketiga dan keempat, pendidikan hutan dan lingkungan. Aku tak sabar mendengar komentar dari Bu Murni. Semalam sebelum tidur tugas telah kukirimkan pada beliau. Aku cemas, sedikit grogi. Ehmm.. atau aku yang terlalu percaya diri? Ah sudahlah… ditunggu saja beliau masuk ruang kelas.
“Roni! Silakan maju ke depan…” Bu Murni langsung memanggil namaku selepasnya duduk dan menyiapkan presentasi hari ini.
“Iya, Bu? Saya?” kupasang mimik kaget dan bingungku. Yes, sesuai perkiraanku! Bu Murni pasti memintaku untuk presentasi di depan kelas, batinku girang. Mungkin beginilah ciri orang-orang bermuka dua? Jujur, baru kali ini saja aku seperti ini. Kejadian semalam seperti kristalisasi sekian permasalahan yang dijumpai Abah lalu kutarik satu pelajaran berharga.
“Iya! Kamu Roni, silakan maju ke depan. Ibu mau minta tolong tarik layar presentasi ini. Ibu kesulitan. Bisa kan?”
“Ooh.. baik Bu.” Aku maju ke depan sembari menundukkan kepala, tersenyum kecut. Malu pada diri sendiri yang terlalu percaya diri bahwa Bu Murni akan memberikan nilai terbaik pada presentasiku. Sesampainya di depan kelas, belum sempat menarik layar untuk presentasi, Bu Murni menepuk pundakku kemudian mengarahkan tubuhku agar menghadap ke arah teman-teman sekelas.
“Saya mengapresiasi tugas yang telah dikerjakan Roni. Bukan karena Roni adalah anak seorang pegawai Perhutani, melainkan lebih pada bagaimana Roni bisa mengambil satu pelajaran berharga dari peristiwa yang telah ia alami selama ini. Baik pengalaman yang dialami langsung maupun pengalaman dari hasil pembacaan buku dan lingkungan sekitarnya. Saya juga tidak akan memintanya presentasi di depan kelas, tetapi kuminta Roni membuat tulisan khusus atas tugas yang telah dibuat, kemudian kirimkan ke media massa.”
“Tapi, Bu, saya….”
“Sudah, tidak ada tapi lagi. Kalian semua juga diperkenankan untuk menuliskan hasil tugas kemarin, lalu mengirimkannya ke media massa, khusus untuk Roni hukumnya wajib!” Bu Murni menegaskan sekali lagi padaku atas pentingnya ulasan pembahasanku. “Dicoba saja ya Roni! Masukkan ke media massa, segera!”
“Ibu melihat ada poin penting yang telah dibahas Roni dalam presentasinya. Terima kasih Roni telah membantu Ibu menyiapkan layar presentasi.” Bu Murni tampak tersenyum bangga. Aku pun kembali ke tempat duduk dan dengan seksama memperhatikan apa yang dijelaskan Bu Murni di dalam kelas.
“Roni telah mengulas dalam tugasnya tentang peran wanatani, atau yang lebih sering kita dengar di kelas dengan istilah agroforestri. Bagaimana Roni memadukan antara hutan, pertanian, dan kehidupan sosial budaya telah memunculkan satu formulasi yang selama ini saya sendiri tidak berpikir sejauh itu.”
Huft... Bu Murni tak tahu apa yang kuinginkan!, aku hanya menggerutu dalam hati. Bu Murni masih lanjut menceritakan betapa temuan itu sangat berarti. Aku tak sehebat itu!, jengkelku semakin menjadi ketika Bu Murni menampilkan presentasi ciptaannya modifikasi atas konten tugas yang telah kubuat. Teknologi tiga dimensi telah membuat semuanya lebih mudah dan bisa tampak lebih nyata. Terlebih Bu Murni telah menggunakan perangkat keluaran terbaru dengan sistem operasi gulali.
Sudahlah... tak ada gunanya pula aku protes pada guruku, suara seorang siswa selamanya tak akan pernah digubris oleh siapapun. Katanya aku ini masih anak ingusan, anak kemarin sore. Lihat saja kelak ketika tiba masanya aku mengambil peran nyata seperti Abah, akan kuubah Indonesia menjadi negeri yang jauh lebih berarti. Biarkan hari ini aku bermimpi dengan sejuta harapan yang ingin kuraih, lalu lihatlah nanti! Indonesia akan bangga punya anak negeri yang tak pernah takut membangun cita dan mimpi. Terima kasih Abah, atas semua inspirasi yang tiada henti.
“Roni, ada apa kamu senyum-senyum sendiri?”, lagi-lagi lamunanku selalu dibuyarkan begitu saja. Semoga mimpi yang telah kutulis dalam jiwa tak pernah padam dan hilang seperti lamunanku yang diganggu oleh suatu peristiwa.
“Ohya.. nggak papa, Bu. Silakan dilanjutkan penjelasannya. Saya suka.”, kuberikan senyum terbaikku pada Bu Murni. Aku teringat dengan daftar mimpiku yang belum tuntas. Bismillah, aku akan melangkah meraih mimpi selanjutnya!
[1]Sayur yang dimasak rebus sampai terlihat layu atau empuk. Bisa sayur bayam, sayur sawi atau cesim, dll.
[2]Keluarlah!
[3]Nama lain dari Asper (asisten perhutani), kepala suatu kawasan hutan setingkat BKPH di Perhutani.
[4]Mari, silakan masuk…
[5]Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Salah satu program yang dicanangkan oleh Perhutani dalam mengelola kawasan hutan.
Penulis
Angga Suprapto
Mahasiswa studi Pasca Sarjana Kehutanan UGM
Anggota Aktif FLP Yogyakarta