Kebangkitan Sastra Islami

Novels
Setiap mendengar kata “novel dakwah”, “novel Islami”, “sastra Islami”, saya hanya dapat membayangkan “Ayat Ayat Cinta” saja walaupun saya pribadi termasuk terlambat membaca novelnya. Saya baru membaca novelnya pada 3 Desember 2014 kemarin, 10 tahun setelah diterbitkan. Tapi saya sudah menonton filmnya saat diputar di bioskop.

Novel “Ayat Ayat Cinta” pertama kali cetak pada Desember 2004, setelah dirilis menjadi cerita bersambung di harian Republika dari 10 April sampai 23 September 2004. Sama seperti novelnya yang meraih lebih dari 30 kali cetak, filmnya mendulang lebih dari 3 juta penonton.

Begitu fenomenalnya, Mohammad Fauzil Adhim dalam endorse-nya, sampai tidak yakin akan ada novel serupa “Ayat Ayat Cinta” dari penulis muda Indonesia lainnya mungkin hingga beberapa puluh tahun ke depan. Novel “Ayat Ayat Cinta” dinilai begitu menyentuh, dalam, dan dewasa.

Terkait dakwah melalui novel, belum banyak novel di Indonesia menyamai “Ayat Ayat Cinta” yang sanggup mengolah alur cerita sehingga ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah dapat masuk dan mengalir lembut tanpa pembaca merasa dipaksa menerima.

Banyak yang bertanya-tanya apa resep menulis Kang Abik sehingga mampu menghasilkan banyak karya sastra yang demikian fenomenal, khususnya “Ayat Ayat Cinta”. Sampai pada Jogja Islamic Fair 2nd di Masjid Mujahidin UNY tanggal 6 Januari 2015, saya mendengar sendiri Kang Abik mengatakan bahwa niatnya menulis (“Api Tauhid”) adalah untuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu pada kolom wawancara di harian Republika, Ahad, 4 Januari 2015, Kang Abik memberitahukan bahwa, “… Bahwa setiap kali menulis jangan lupa membaca basmalah. Lalu begitu mulai menulis, jangan biarkan tangan yang menulis kata-katamu, tapi serahkan kepada jiwa dan hati untuk menulisnya! Selamat berkarya.”

Terkait dengan dakwah, “Ayat Ayat Cinta” membuktikan bahwa melalui novel pun kesuksesan dakwah dapat direngkuh. Menyebarkan pemikiran-pemikiran Islam, meluruskan aqidah, memperindah akhlaq, membakar semangat mencari ilmu, menguatkan tekad menuju Baitullah untuk umrah dan Haji, dan sebagainya.

Indonesia masih butuh banyak “Ayat Ayat Cinta” yang lain. Masih banyak materi keislaman yang lain yang butuh diceritakan kepada masyarakat luas melalui novel. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa buku terutama novel, lebih mudah menyentuh segala lapisan sosial masyarakat. Orang lebih suka membaca yang ringan dibanding tema berat seperti kenegaraan, politik, budaya, filsafat, ekonomi, teknik, diktat kuliah. Jika ke toko buku, saya memperhatikan, rak buku bagian komik dan novel sering ramai berbeda dengan rak buku bagian sosial, buku pelajaran.

Semoga sastra Islami semakin banyak lahir dan kualitasnya meningkat dari waktu ke waktu.

 

Penulis
Yurista Yohasari
Alumni Fakultas Hukum UGM

Leave a comment