Literasi Media, Pentingkah?

8662143

Literasi media adalah sebuah kemampuan untuk memahami, menganalisis dan juga mengetahui bagaimana sebuah media/informasi dibuat dan diakses publik. Media membangun fakta yang ada di lapangan untuk kemudian mentransfernya menjadi sebuah makna/informasi kepada pembaca. Media juga memiliki kekuasaan untuk menyebarkan informasi dari objek yang satu ke objek lainnya. Perlahan namun pasti, media bertransformasi menjadi sebuah kekuatan baru yang dapat memengaruhi intelektualitas publik.

Mari kita umpamakan media sebagai makanan. Jurnalis layaknya seorang chef yang bertugas meracik dan meramu bahan-bahan makanan sehat menjadi menu makanan yang sehat dan menyehatkan pula. Kemampuan yang dimiliki chef untuk mengolah bahan makanan dengan baik, dapat menghasilkan sajian makanan dengan nilai gizi tinggi. Begitu pula halnya seorang jurnalis, jika mereka memiliki kemampuan/integritas mengolah fakta lapangan dengan baik maka mereka akan menghasilkan berita dengan nilai informasi yang berkualitas.

Selain mengetahui hal yang memengaruhi aspek pengolahan media seperti yang telah disinggung di atas, kita sebagai publik juga harus mampu memahami proses pendistribusian informasi tersebut. Dalam hal makanan, publik dituntut untuk cerdas memilih makanan cepat saji dengan risiko gizi rendah atau makanan lain dengan gizi yang lebih tinggi. Pendistribusian makanan dilakukan di restoran dan tempat-tempat makan. Namun, bagaimana jika restoran/tempat makan yang ada di wilayah kita dimonopoli oleh segelintir pemilik modal yang lebih mementingkan keuntungan dibanding kesehatan publik?

Seperti halnya makanan, pendistribusian media juga tidak lepas dari jawilan tangan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka mampu memengaruhi jurnalis atau ruang media untuk menampilkan informasi-informasi tertentu saja. Memonopoli makna informasi kepada publik. Jurnalis yang baik pun, kadang tunduk dengan sistem pendistribusian media ini. Hal seperti inilah yang harusnya kita hindari. Berbekal kemampuan literasi media, publik dapat membedakan antara informasi berkualitas dan informasi yang tak jelas.

Hasil survey literasi dunia PISA (Programme for International Student  Assesment) pada tahun 2009 menunjukkan rendahnya literasi (menulis dan menbaca) di kalangan pelajar indonesia. Indonesia menempati urutan ke-62 dari 72 negara, tertinggal jauh dari negara tetangga kita Thailand yang menempati urutan posisi ke-53. Hasil survey tersebut dapat menjadi cambuk bagi kita untuk mulai kembali menggalakkan budaya literasi. Budaya literasi yang tidak lagi hanya membahas ruang menulis dan membaca, namun juga mulai membentuk paradigma literasi baru yakni ‘Literasi Media’.

Harapannya, gerakan literasi media mampu mencerdaskan publik untuk dapat membuat keputusan sendiri dalam memilih media. Seperti makanan yang kita pilih, antara makanan cepat saji atau makanan yang lebih bergizi lainnya.

 

Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Literasi_media (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.43)
http://medialiterasindonesia.blogspot.com/2012/03/media-literasi-di-indonesia-menurut.html (diakses tanggal 28 januari 2015 : 17.45)
https://haidarism.wordpress.com/2014/02/18/literasi-sebagai-budaya-mencerdaskan-bangsa/ (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.47)
http://prianganaulia.blogspot.com/2014/02/transformasi-makna-literasi.html (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.50)
http://2012pbic.blogspot.com/2014/02/menumbuhkan-budaya-literasi-bukan-lisan.html (diakses tanggal 29 Januari 2015 : 05.52)

 

Penulis
Maisyarah Pradhita Sari
Mahasiswi Fakultas Teknik UGM

 

Wikileaks: Ketika Para Diplomat Bergosip

sby-wikileaks
Di awal pertengahan bulan Maret 2011, berita mengenai cacatnya kepemimpinan presiden Indonesia menjadi headline dalam dua media massa Australia
. Sumber berita berasal dari bocoran kawat diplomatik AS yang dilansir Wikileaks, dengan tajuk ‘Yudhoyono Abused the Power’ (The Age) dan ‘Corruption Allegations Against Yudhoyono’ (The Sydney Morning Herald/SMH). Di awal bulan April 2011 ini, berita tersebut menghilang dan terlupakan…

Sensasi Media

Harian The Age dan The SMH berasal dari satu perusahaan media yang sama, Fairfax Ltd. Keduanya merupakan surat kabar berpengaruh di wilayah cetaknya masing-masing. The Age terbit di Ibu Kota Victoria, Melbourne. Sedangkan The SMH beredar di Ibu Kota New South Wales, Sydney. Kesamaan headline dan isu-isu yang diangkat antara keduanya menimbulkan tuduhan mengenai kaitan antara kepemilikan dengan kontrol pemberitaan. Tuduhan tersebut merupakan isu lawas. Pada tahun 1971, juragan Fairfax, Sir Warwick Fairfax, pernah menegaskan bahwa kebijakan editorial tidak diatur perusahaan. Meski demikian, media-media dibawah kendali perusahaan yang sama cenderung akan mengeluarkan pemberitaan yang serupa arahan kepentingan pemilik perusahaan sebuah media terhadap konten-konten produknya merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.

Umumnya, perusahaan media di Australia lebih pro terhadap pemerintahan dari Partai Liberal, yang lebih membuka kebebasan terhadap para pemilik modal besar bahkan pemonopoli (perusahaan media) dibanding Partai Buruh yang cenderung kiri. Namun, media dibawah Fairfax Limited selama ini dikesankan sebagai media yang bias dalam keberpihakannya terhadap golongan tertentu di pemerintahan. Besar kemungkinan bahwa perusahaan media tersebut tidaklah mengejar keberpihakan melainkan selling point. Semakin spektakuler dan menggemparkan suatu berita maka media yang memuatnya akan semakin diminati.

Bukan hanya kali ini saja media yang dinaungi Fairfax menggemparkan publik Indonesia. Pada 10 April 1986, The SMH menerbitkan sebuah artikel karangan David Jenkins yang dianggap menghina Presiden Republik Indonesia. David Jenkins yang pada 2011 ini berusia 68 tahun, di masa mudanya merupakan satu dari sedikit wartawan yang mampu mewawancarai Presiden Soeharto dan Ibu Tien. Lulusan Jurusan Hukum dari Melbourne University tersebut memilihkan judul “After Marcos, Now for the Suharto Billion” untuk tulisan yang akhirnya sempat meretakkan hubungan Australia dan Indonesia kala itu. Jenkins bahkan dicekal masuk ke Indonesia, dan baru mendapat izin kembali saat Konferensi APEC dilaksanakan di Jakarta tahun 1994.

Jurnalis di Australia hanya berpegang pada norma dan prinsip-prinsip yang disepakati bersama. Salah satunya ialah tidak memfitnah dan mencemarkan nama baik (Libel). Sistem pers di Australia tidak mengenal sensor, karena menerapkan sistem kebebasan pers liberal. Menurut Zulkifli Hamid dalam buku Sistem Politik Australia (Remaja Rosdakarya, 1999), dalam sistem pers liberal Australia, tidak ada legislasi yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk campur tangan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap isi pemberitaan maupun program-program dalam media massa.

Itulah mengapa baik dalam kasus artikel Jenkins maupun bocoran Wikileaks dalam harian Australia tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Untuk merespon pemuatan artikel Jenkins, Bill Morison, Dubes Australia kala itu, hanya mampu menyatakan penyesalan atas dimuatnya tulisan tersebut. Adapun kali ini, Dubes Australia Greg Moriaty enggan menyampaikan komentarnya.

 

Gosip di Kalangan Elit

Laporan yang disajikan dalam kawat diplomatik AS menunjukkan betapa diplomat Amerika Serikat menjalankan kerjanya dengan sangat baik. Observasi merupakan salah satu kewajiban perwakilan diplomatik. Seorang duta diharapkan mampu menelaah dengan sangat cermat tiap dinamika yang terjadi di negara penerima. Hal ini terutama sekali berkenaan dengan kondisi pemerintahan setempat yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan serta arah kebijakan luar negeri negara asalnya. Laporan mengenai hasil pengamatan dikirimkan kepada pemerintah negara asal dan bersifat rahasia.

Seperti yang diungkapkan oleh Scott Marciel, Duta Besar AS untuk Indonesia, bahwa laporan dalam kawat diplomatik seringkali bersifat mentah. Laporan tersebut mungkin saja hanya berasal dari interaksi yang dilakukan para utusan negara dengan pejabat-pejabat di negara penerima. Mereka merumpi dan bergosip, hingga akhirnya terkoreklah aib-aib yang tidak layak diketahui khalayak.

 

Martabat Presiden

Laporan kawat diplomatik memang tidak layak dijadikan berita dalam media massa karena sifatnya yang sepihak, tidak cover both sides. Apabila beredarnya kawat-kawat diplomatik AS menunjukkan hasil kerja seorang diplomat dalam menjalankan kewajibannya, maka beredarnya isu yang dimuat dalam dua media cetak Australia menunjukkan kelemahan media dalam pembuatan berita. Dengan memperhatikan karakteristik perusahaan media Fairfax, bisa jadi headline dalam The Age dan The SMH hanya dimaksudkan untuk kepentingan komersil belaka, yakni menaikkan oplah penjualan dengan menghadirkan berita panas tentang Indonesia disaat wakil presidennya berkunjung ke Canberra.

Kalau saja pihak SBY mau, mereka dapat melaporkan pemberitaan tidak menyenangkan media Australia kepada The Press, Dewan Pers Australia (karena berita tersebut melanggar norma Libel yang seharusnya dijunjung bersama, misalnya). Beberapa kalangan bahkan memberi usul untuk memperkarakan pemberitaan tersebut. Permasalahannya adalah, pihak SBY memang tidak beritikad mengadukan pemberitaan yang menyaingi kegoncangan gempa dan tsunami di Jepang itu. Jalan yang dipilih pihak SBY untuk menangani perkara ini ialah bungkam dan mengubur pemberitaan ini dalam-dalam.

Organisasi Petisi 28 yang sempat lantang untuk melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh SBY ke Komisi Pemberantasan Korupsi kini tidak terdengar lagi gaungnya. KPK ogah menindaklanjuti data bocoran Wikileaks. Seorang pejabat negara menyatakan bahwa berita tersebut, kendati merusak martabat bangsa, tak lain hanyalah sampah belaka. SBY sendiri merasa bangga karena beliau dan pihaknya tidak terus-menerus turut dalam kegaduhan pemberitaan Wikileaks karena menganggap masih banyak hal yang dirasa lebih penting, dan mendorong rakyatnya untuk percaya bahwa dirinya menjaga integritas sebagai pemimpin negeri ini. Pada kunjungannya menemui Menteri Luar Negeri Australia, Kevin Rudd, tanggal 27 Maret kemarin pun, Juru Bicara Presiden Teuku Faizasyah menyatakan bahwa keduanya sama sekali tidak mengungkit perihal wikileaks.

Jika memang benar isi berita tersebut hanya merupakan data kacangan, hendaknya pihak SBY berani melakukan pembuktian dan bukannya membuat publik lupa akan pemberitaan tersebut. Walaupun hanya sekadar gosip, belum tentu bukan fakta. Meski sifat pemberitaannya menabrak norma, bukan berarti tidak nyata.

Apabila kasus ini dianggap merusak martabat bangsa, pihak SBY seyogyanya menyajikan pembenaran yang dapat kembali memperbaiki martabat Indonesia tercinta, dan bukannya mengajak masyarakat meredam kasus ini dalam-dalam, demi membangun kembali martabat SBY. Rakyat sungguh akan percaya terhadap integritas SBY, jika diyakinkan dengan bukti, tak sekedar kata dan pencitraan belaka.

Di awal pertengahan bulan Maret 2011, berita mengenai cacatnya kepemimpinan presiden Indonesia menjadi headline dalam dua media massa Australia. Di awal bulan April 2011 ini, berita tersebut menghilang dan terlupakan…

 

Referensi:

Hamid, Zulkifli.Sistem Politik Australia.1999.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suryono, SH., Edi, dan Moenir Arisoendha.Hukum Diplomatik: Kekebalan dan Keistimewaannya.1986.Surakarta:Penerbit Angkasa.

 

Penulis
Ulya Amalia
Alumni Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UGM, Staff MITI Indonesia

Memaknai Indepedensi Media

        Dibukanya keran reformasi menjadi pedang bermata dua bagi perkembangan pers di tanah air.Hingga April 1999, telah diterbitkan 852 SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang memperluas kesempatan pengusaha untuk mendirikan usaha pers. Padahal selama 32 tahun era kekuasaan orde lama, Pemerintah hanya mengeluarkan 321 SIUPP. Di sisi lain, reformasi juga menjadikan media menjadi sangat bebas. Banyak media yang kurang melakukan penyidikan dan penelitian mendalam terhadap beritanya. Kebebasan yang diusung era reformasi membuat pers lebih berorientasi populis dan hanya mengangkat persoalan yang digunjingkan publik. Padahal pers memiliki peran yang krusial sebagai kontrol sosial. Terlebih lagi, permasalahan konglomerasi pers, dimana pers hanya dimiliki oleh segelintir pengusaha yang memanfaatkan media sebagai ajang untuk mempengaruhi publik agar mengikuti ideologi dan tujuan mereka.

   Konglomerasi media tentu tidak terlepas dari independensi media. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstieldalam sembilan elemen jurnalismenya, para jurnalis harus menjaga independensi terhadap sumber berita.Pada prinsipnya wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Wartawan yang beropini juga harus tetap menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan mematuhi berbagai ketentuan lainnya.

        Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik pun menjelaskan bahwa Pers sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Pers haruslah melaksanakan kegiatan jurnalistik tanpa ada campur tangan atau keterikatan dari pihak manapun baik itu keterikatan kepemilikan ataupun unsur politik.

            Kasus gugatan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi salah satu contoh buruknya independensi media saat ini. KIDP menggugat dengan alasan, Kominfo dan KPI lalai dalam menjalankan Undang-Undang Penyiaran terkait pengaturan pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran. Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pasal 32 PP Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, mengatur jelas bahwa satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda.

            Ada begitu banyak penyebab berkurangnya independensi media. Mulai dari sistem kelembagaanpengawasan terhadap media hingga regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Era reformasi yang sejalan dengan semangat kebebasan seharusnya dapat dimaknai sebagai kebebasan yang taat aturan. Harus disadari oleh semua pihak bahwa media tidak hidup di ruang yang vakum, melainkan berkembang secara dinamis di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa informasi yang beredar adalah informasi yang mencerdaskan.

 

Desi Martika Vitasari, Alumnus Fakultas Hukum UGM