Serial Animasi: Bukan Sekadar Hiburan

animasi

Perangi Rasuah”, begitu judul dari salah satu episode Upin-Ipin Season 8. Pada episode tersebut, tampak si kembar Upin-Ipin sedang belajar mengenai Rasuah atau dalam bahasa Indonesia lebih kita kenal dengan sebutan suap. Si kembar itu diajarkan bahwa suap-menyuap dengan maksud tertentu adalah perbuatan yang tercela, baik itu berupa uang ataupun barang-barang lainnya, dan mereka juga diajak untuk memerangi kegiatan suap-menyuap tersebut. Tak hanya sampai di situ, Upin Ipin dan teman-temannya juga dikenalkan dengan Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM), atau bisa disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-nya Malaysia, sebagai lembaga yang memproses tindakan suap-menyuap di Malaysia.

Episode tersebut adalah salah satu bagian dari kisah si kembar dari negeri jiran, Upin Ipin. Upin Ipin sendiri adalah sebuah serial animasi 3D untuk anak-anak yang mengisahkan tetang keseharian dari Upin Ipin bersama keluarga dan teman-temannya. Serial ini sangat disukai oleh anak-anak karena kisahnya yang lucu dan sederhana. Pesan atau nilai dari tiap-tiap kisah pun disampaikan dengan cara yang sederhana dan mudah ditangkap oleh anak-anak.

Pengaruh televisi bagi kepribadian seorang anak memang cukup signifikan. Adegan-adegan di dalam televisi akan dengan mudah dicontoh oleh anak. Contoh kasus, maraknya anak-anak yang mengikuti adegan gulat smackdown hingga menimbulkan korban jiwa, dan yang terbaru, seorang anak didapati gantung diri di lemari kamarnya diduga terinspirasi oleh adegan kartun-kartun Jepang. Di sini, bukan hanya peran dari orangtua untuk mengatur “asupan” televisi bagi anak-anak yang dibutuhkan, perlu juga komitmen dari segala pihak baik pengatur kebijakan maupun rumah produksi. Peranan dari rumah produksi ialah bagaimana menciptakan film-film yang mendidik dan bernilai, tanpa mengurangi nuansa hiburan yang disukai oleh anak-anak.

Sekarang, mari kita bandingkan serial Upin Ipin dari negeri tetangga dengan beberapa serial animasi lain yang ditayangkan di Indonesia. Pertama, kartun animasi dari Jepang dan Amerika. Serial animasi dari dua Negara tersebut paling mendominasi siaran-siaran animasi di televisi Indonesia. Sebagai contoh, Naruto atau SpongeBob. Dari segi cerita, kedua animasi tersebut tetap ada nilai yang dapat diambil, seperti persahabatan dan semangat juang. Namun, proses penanaman pesan dari cerita tersebut cenderung rumit bagi anak-anak, dan juga jalan cerita terkadang justru dapat memberi contoh buruk bagi anak, seperti adegan perkelahian.

Kemudian serial animasi dari Indonesia yang ditayangkan di televisi, kita ambil contoh Keluarga Somat dan Adit & Sopo Jarwo. Film pertama, Keluarga Somat, menceritakan tentang keseharian keluarga Pak Somat. Tokoh utama dari film ini adalah Dudung, anak sulung Pak Somat, yang cukup bandel dan sering mengusili adik dan teman-temannya. Cerita dalam film ini cenderung mengedepankan sisi hiburan dibandingkan dengan menyampaikan nilai. Sementara film Adit & Sopo Jarwo, nilai atau pesan biasanya disampaikan di akhir cerita. Yaitu ketika salah satu tokoh “antagonis”, Jarwo, terkena masalah hasil dari perbuatannya sendiri. Saat itu muncul sosok seorang sesepuh yang memberi nasihat agar Jarwo tidak mengulangi perbuatannya. Dari segi pengemasan, sosok Jarwo selalu menjadi biang masalah hampir di tiap episodenya. Tentu hal ini kurang baik jika dicontoh oleh anak-anak.

Jika dibandingkan dengan animasi-animasi Amerika, Jepang dan Indonesia di atas, serial animasi Upin Ipin jauh lebih sederhana dalam proses penyampaian pesan dan nilai. Hal ini cenderung lebih mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh anak-anak. Selain itu, dalam serial Upin Ipin jarang muncul tokoh yang menggambarkan orang jahat atau tidak baik. Film-film diatas hanya sebagai contoh saja, masih ada lagi film-film lain yang bagus untuk anak-anak, seperti Laptop si Unyil, Si Bolang, dan film-film sejenisnya.

Peranan dari rumah produksi dan investor untuk dapat mengembangkan film-film penuh nilai sangat dibutuhkan sekarang. Film yang tak hanya memuat pesan, namun juga disukai oleh anak-anak. Peranan orangtua dan pembuat kebijakan saja belum cukup, harus juga disertai dengan munculnya film-film yang dapat menjadi tuntunan dan aman bagi anak-anak.

Penanaman nilai-nilai sejak kecil dapat menjadi pondasi ketika dewasa nanti. Memang, tidak ada yang dapat memastikan ketika masa anak-anaknya baik, dewasanya pasti baik, atau pun sebaliknya. Namun, penanaman nilai sejak kecil adalah sebagai bentuk ikhtiar untuk membentuk generasi terbaik di masa depan nanti. Maka, mari kita doakan agar muncul seniman-seniman yang tak hanya memiliki skill yang baik, namun juga memiliki idealisme untuk membentuk karakter anak-anak Indonesia menjadi generasi terbaik yang peduli dengan agama, bangsa dan negara.

 

Referensi:

  1. http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/22-literasi-media/32476-azimah-tidak-semua-program-tv-baik-untuk-anak
  2. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/01/17/nia74g-terinspirasi-kartun-jepang-pelajar-bunuh-diri-dalam-lemari

 

Ahmad Faqih Mahalli – Alumni Forum Media BEM se-UGM, Alumni Jurusan Teknik Fisika UGM

 

Anak Tiri Media Tunanetra

Tablet Tunanetra (Image from Here)

       Ketunanetraan yang disandang oleh seseorang berdampak langsung pada kemampuannya untuk mengakses informasi. Ketunanetraan mengakibatkan keterbatasan dalam variasi pengalaman, kemampuan dalam bermobilitas, kemampuan melakukan sesuatu, dan mengontrol lingkungan sekitar. Secara umum ketunanetraan tidak secara otomatis menimbulkan inteligensi rendah. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara tingkat IQ dengan ketunanetran. Tilman dan Osborne (2003) membandingkan antara anak tunanetra dan non-tunanetra, menunjukkan anak tunanetra dapat mempertahankan pengalamanannya tetapi tidak dapat mengintregasi dengan pengalaman lainnya. Hal ini pun diperparah dengan minimnya fasilitas untuk tunanetra dalam mengakses informasi. Media  yang ada tidak memiliki layanan khusus bagi penyandang tunanetra. Jelas hal ini sangat merugikan para penyandang tunanetra karena informasi yang mereka dapatkan sangat terbatas.

       Fungsi indra penglihatan ini secara mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Akan tetapi, tidak berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indra yang demikian yang demikian akan membawa konsuekuensi pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi dan pengelolaan media agar aksesibel bagi penyandang tunanetra. Pada prinsipnya pengelolaan lingkungan belajar penyandang tunanetra sama dengan pengelolaan media belajar orang-orang biasa. Namun demikian ada hal-hal khusus yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya tetapi menjadi kebutuhan penyandang tunanetra.

       Salah satu layanan yang diharapkan ada yaitu layanan yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Tujuan layanan ini dapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Selain itu diharapkan penyandang tunanetra termotivasi untuk mencintai literasi dan memberikan alternatif dalam mewujudkan tunanetra berwawasan.Berbagai alat bantu yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi layanan bagi tunanetra, menghasilkan alat-alat yang bersifat manual, mekanis, sampai alat elektronik yang canggih, seperti Komputer dengan program JAWS, Printer Braille (Impact Printer), Open Book scanner, DAISY Player (Digital Ascesible System Player), Buku bicara (Digital Talking Book), Termoform, maupun Telesensory. 

        Komputer yang memudahkan penyandang tunanetra mengakses informasi dari internet maupun ketika mengetik adalah computer yang memiliki aplikasi screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi screen reader yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai menginformasikan dimana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang terbaca pada screen (membaca kata perkata maupun huruf demi huruf). Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program JAWS dapat juga menerjemahkan kata dari Bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

        Beberapa alat bantu yang telah berkembang belum dapat dinikmati secara merata. Kendalanya sangat beragam, mulai dari tingkat sosial ekonomi, kebutuhan akan literasi yang beragam, keterbatasan alat yang didistribusikan, sampai tingkat kepedulian masyarakat yang rendah. Media pembantu ini pun semakin tidak populer di masyarakat karena masyarakat belum menjadikan penyandang tunanetra sebagai bagian dari penerima berita dan informasi. Sudah menjadi rahasia umum jika penyandang tunanetra menjadi komunitas yang termarjinalkan di Indonesia. Pemerintah sangat tidak peduli akan kebutuhan akses informasi yang aksesibel oleh mereka. Masih segar dalam ingatan, seorang tunanetra yang ditolak oleh sebuah bank saat akan mendaftarkan dirinya sebagai pengguna ATM. Peristiwa ini seakan menjadi bukti daftar panjang ketidakpedulian para pemangku jabatan terhadap pemenuhan hak-hak difabel.  Padahal menurut data di tahun 2012, terdapat lebih dari dua juta penyandang tunanetra di Indonesia, baik tunanetra total maupun low vision.

        Sebagai negara yang menghormati hak-hak sipil warga negara, seharusnya berbagai layanan dapat diterapkan di berbagai lini media sehingga dapat mempermudah dan memfasilitasi penyandang tunanetra untuk mengakses informasi yang tidak dapat mereka peroleh karena keterbatasaan dalam penglihatan. Sudah saatnya penyandang tunanetra tidak dianaktirikan dan diberikan kesempatan untuk dapat mengakses berbagai macam media. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan layanan berbasis teknologi sehingga penyandang tunanetra dapat sejajar dengan warga negara lain.

Dwitya Sobat Ady Dharma, Alumni Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta

Narsis Abad 21

Menurut KBBI, narsisme adalah hal atau keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan. Kata narsis diambil dari nama Narcissus, tokoh mitologi Yunani. Kisah tentangnya sudah berulang kali diceritakan dalam berbagai tulisan. Singkat cerita, Narcissus adalah orang yang terpesona pada keelokan parasnya sendiri. Setiap hari ia memandangi wajahnya dalam bayangan air kolam. Pada akhirnya, ia pun meninggal karena tidak dapat meninggalkan sumber kekagumannya.

        Kini kita dapati istilah narsis tidaklah seseram kisah awalnya. Narsis merupakan hal yang wajar bagi setiap orang. Fenomena narsis justru semakin mewabah. Kita dapat melihatnya dalam berbagai macam aksi foto, baik selfie maupun welfie. Teknologi pun mendukung perilaku narsis dengan adanya inovasi baru, seperti tongsis (tongkat narsis).

       Narsis memang identik dengan foto. Namun bukan berarti narsis tidak memiliki jenis lain. Narsis di media sosial misalnya. Facebook, Twitter, Blog, Tumblr, Flickr, Path, Podcast, Youtube, Instagram, Wikipedia, Bulletin Board. Siapa yang masih awam dengan nama-nama ini?! Manusia abad 21 yang telah bersinggungan akses internet tentu akrab dengan mereka.

       Narsis di media sosial identik dengan ng-eksis. Siapa yang rajin menampakkan diri di banyak media sosial tersebut, maka ia dianggap eksis. Eksis diambil dari kata eksistensi yang pada KBBI dijelaskan sebagai hal berada atau keberadaan. Inilah yang seharusnya kita waspadai. Sebab narsis dan eksis dapat berujung pada sikap riya’ atau pamer. Pada konteks ini, yaitu sikap pamer agar mendapat pengakuan keberadaan diri dari orang lain.

       Seperti yang kita ketahui bersama, kegiatan rutin pengguna akun-akun media sosial di antaranya update status, upload foto, share info, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bentuk interaksi antar sesama pengguna media sosial. Supaya tidak terjatuh pada narsis bahkan riya’, ada baiknya selalu tanyakan kepada diri sendiri terlebih dahulu sebelum menampakkan diri di media sosial. Apa tujuan kita update status? Untuk apa kita upload foto? Alasan apa yang membuat kita share info? Hanya menarik perhatian orang lain atau memang orang lain perlu tahu tentang semua hal itu? Atau hanya candu yang selalu membuat ketagihan penikmatnya?

       Selain itu ada dua hal penting yang harus diperhatikan saat berinteraksi di media sosial. Pertama, terkait isi konten—info, berita, foto—yang akan dibagikan kepada khalayak umum. Kedua, terkait komentar terhadap sebuah posting, baik info, berita, maupun foto.

       Arus persebaran informasi pada abad ini bergerak sangat cepat. Ganjar Widhiyoga—Dosen Universitas Slamet Riyadi Surakarta yang sedang menempuh pendidikan Ph. D di Durham University—mengungkapkan bahwa ada 3 indikasi yang dapat dijadikan acuan apakah sebuah posting, terutama berita, pantas disebar atau tidak. Ketiga indikasi tersebut yaitu adanya bukti tertulis, adanya saksi mata terpercaya, dan konteksnya sesuai.

       Maraknya kegiatan menyebar berbagai info seringkali mengundang komentar di sana-sini. Ganjar Widhiyoga menambahkan bahwa seringkali kita hanya melihat sekelumit kecil peristiwa. Oleh sebab itu, sebaiknya kita hati-hati berkomentar dalam forum umum. Baiknya kita selalu berusaha untuk melihat sisi lain peristiwa tersebut sebelum berkomentar. Terkadang, pada kondisi tertentu akan lebih baik jika kita hanya mengamati dan memperhatikan reaksi orang lain.

       Pada abad 21, dunia bergerak lebih cepat dari abad-abad sebelumnya. Jika kita tidak hati-hati, kecepatannya dapat menggilas tubuh kita hidup-hidup. Perlu diwaspadai juga agar sikap kehati-hatian yang kita terapkan pada media tidak berubah menjadi sikap paranoid. Keseimbangan perlu diterapkan dalam banyak hal, termasuk media.

       Pada abad 21, siapapun dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan kecanggihan teknologi yang semakin luar biasa. Bisa jadi, bukan hanya manusia saja yang menyesuaikan diri dengan kehidupan abad 21, melainkan syaitan pun demikian halnya. Manusia menyesuaikan diri agar dapat bertahan hidup. Adapun syaitan menyesuaikan diri dengan kehidupan abad 21 agar misinya dalam menyesatkan umat manusia tercapai. Itulah mengapa kita patut untuk waspada.

Henny Alifah, Anggota FLP Wilayah Yogyakarta

Memoar Inspiratif Mas Muja

Judul                : Sebuah Masjid Seribu Kisah (Sepilihan kisah tentang Masjid Mujahidin UNY)

Tim Penulis      : Mujahidin Family

Penerbit           : Profetika Publishing dan Mujahidin Family

Halaman           : 250 halaman

Terbit               : Desember 2014

       Segenap penulis telah mengisahkan dengan khas seputar perjalanan hidupnya yang terpaut pada Mas Muja, Masjid Mujahidin. Kisah di dalamnya memancarkan kesan bahwa masjid umpama rumah, keluarga, bangunan sejarah, tempaan ilmu dan mental, perekat persaudaraan, episentrum peradaban, dan banyak lainnya. Semua penulisnya memiliki kisah masing-masing yang dirangkum secara baik sebagai ‘bangunan makna’ dalam pengantar buku ini.

       Sejarah berdiri dan berkembangnya Mujahidin tidak terlepas dari sikap berani dan cinta para pelopor maupun manusia yang terlibat aktif di dalamnya. Secara garis besar dapat ditangkap dari berbagai kepingan kisah, Mujahidin mulai terasa geliat syiar keislaman sejak awal tahun 90-an, di mana mulai terbentuk Takmir Masjid Mujahidin. Kemudian disusul pembentukan organisasi Islam mahasiswa, UKKI.

       Membaca buku ini kita dibawa pada perjuangan dakwah Islam dengan suasana akhir masa Orde baru dan peralihan pada masa Reformasi. Wajar saja karena sebagian besar penulis adalah mahasiswa era 90-an yang kembali berbagi alih-alih tak sekadar menulis kisah nostalgia. Kisah perjuangan di kala itu, membuat generasi sekarang akan ber-O-ria. O, Mujahidin dulu sering kemalingan. O, Mujahidin jadi tempat berteduh aktivis berlabel takmir maupun penghuni takmir ilegal. O, Mujahidin dulu dengan kerimbunan pohonnya menjadi tempat yang nyaman. O, Mujahidin dulu punya radio Mafaza FM sebagai wadah syiar Islam. O, Mujahidin Punya corong media bernama Progress.

       Mujahidin gencar melakukan syiar lewat media radio dan koran tempel. Tersebutlah Radio Dakwah Kampus Mafaza FM yang giat mengudara hingga tahun 2002. Sayangnya, studio Mafaza FM yang berada di salah satu kamar takmir harus berhenti mengudara karena kendala perizinan terbit. Ada lagi Progress, si koran tempel, ditempel rutin seminggu sekali pada tempat strategis di wilayah kampus. Progress sampai sekarang masih setia menebar kebaikan dan sudah berwujud bulletin.

       Mujahidin tempo dulu seolah menjadi cermin untuk melihat SDM yang berada dalam didikannya. Manusia-manusia kala itu sangat rajin membaca sehingga pemahaman keIslaman dan hal kontemporer amat baik. Mereka memiliki daya juang untuk hidup dan menghidupi jiwa maupun raga dengan sungguh-sungguh. Mereka bisa saling meneladani satu sama lain. Hasilnya, pada era sekarang mereka menjadi pribadi yang lebih bermanfaat. Sebagian besar dari mereka kini mengabdikan diri sebagai ‘pekerja’-nya Allah. Ada yang jadi pemimpin, pendidik, pengusaha, maupun penggerak masyarakat. Kualitas SDM kira-kira berbanding lurus dengan kualitas aktivitasnya di masjid.

Yuk, kita berkenalan dengan mereka!

       Di awali oleh kisah penggagas buku ini, Dwi Budiyanto mengisahkan secara lugas dan dalam,

“Di mujahidin, kami dididik untuk meneladani Rasulullah dari hal-hal yang sederhana. Kami diperkenalkan dengan Islam yang anggun dan indah. Dan, untuk seluruh pembiasaan itu saya tidak merasa ditekan, tapi saya merasa disadarkan. Saya tidak merasa dipaksa, tapi saya merasa dipahamkan.”

       Setelahnya, ada kisah Abdullah Imadudin tentang itsar (mendahulukan saudaranya di atas dirinya), suatu akhlak berdaya tarik magis yang berusaha diwujudkan oleh para aktivisnya. Ada juga Akbar K. Setiawan yang berbagi kenyataan mengharukan bahwa PR II, Dr. Zuhdi (alm) membuat surat imbauan sholat berjamaah di Masjid Mujahidin kepada seluruh civitas akademik.

       Ada juga kisah lucu dari Arif Taat Ujiyanto yang salah tangkap. Ia dan temannya mencurigai seseorang sebagai pencuri sepatu di Mujahidin lantaran seseorang tersebut mendekati rak sepatu di saat sholat berjamaah berlangsung. Lucu lagi adalah sosok yang biasa berperangai keras dan galak ternyata mendapat sebutan sebagai penjawab telepon takmir yang bersuara lembut. Baginya, saat jadi pelayan umat ia harus berikan yang terbaik.

       Masjid itu adalah fasilitas milik bersama yang harus kita cintai, rawat, nikmati dan hidupi dengan kegiatan ibadah dan keilmuan. Kesimpulan tersebut senada dengan kisah-kisah yang dialami oleh Deden Anjar Herdiansyah, Dilakhira Yasa, Khairudin, Ph.D, Nasiwan, M.Si, Sabar Nurohman, M.Pd, dan Dr.Suharno.

       Pun ada kisah tercipta dari skenario Allah yang kadang disebut-sebut sebagai ‘tersesat dalam kebaikan’. Pada awalnya niat tidak demikian tetapi yang terjadi malah demikian. Ah, betapa Allah sayang pada manusia. Penulis ini pun demikian: Imam Subekhi (mantan tukang ketik rental komputer), Sigit Nursyam Priyanto (masuk UNY supaya pondoknya tidak terkena blacklist), Sujatmika Dwi Atmaja (awalnya ogah-ogahan berorganisasi), dan Deni Hardianto (tercerahkan karena dua buah permen). Kejadian-kejadian yang dianggap tak sengaja, secara tak terduga mendekatkan mereka pada Mujahidin yang isinya aktivis masjid sekaligus aktivis organisasi.

       Di bagian akhir, buku ini memuat celoteh-celoteh generasi sekarang tentang masjid. Seperti Aeni Husniah, Mifta Damai R., Rizki Ageng M., dan Fika Enggar P. Dilengkapi pula kolom tentang masjid dan universitas oleh Didik Purwantoro serta memberdayakan ekonomi dari masjid oleh Mimin Nur Aisyah.

       Semua pengalaman yang dikisahkan tersebut menempatkan masjid memiliki peran yang strategis. Dwi Budiyanto menegaskan kembali bahwa kampus membentuk orang-orang berkompeten di bidangnya, sementara itu masjid menyiapkan pribadi-pribadi dengan orientasi hidup yang benar, visi yang kuat, serta karakter yang handal. Keduanya saling melengkapi dan menguatkan. Hanya saja beberapa pengalaman terasa hampir sama karena seperti diulang oleh penulis yang berbeda. Perulangan pengalaman tersebut tetap menghadirkan hikmah yang khas dari tiap penulis.

       Hadirnya buku ini menjadi suatu bentuk usaha penyadaran sejarah Mujahidin kepada generasi sekarang. Ternyata tokoh yang berusaha sholeh dan mesholehkan umat terus lahir di balik Mujahidin. Pembaca diajak berhenti sejenak untuk bercermin, seberapa seringkah interaksi dengan masjid atau seberapa berkualitaskah ibadah didalamnya. Akhirnya, bagaimanapun tiap generasi memiliki tantangan yang berbeda tetapi generasi yang maju tidak boleh meninggalkan masjid dengan segala kemashalatan di dalamnya.

Novi Trilisiana, Mahasiswi UNY

Literasi Media Sosial (Bagian #1)

Social Media

Masih hangat di telinga kita tragedi penembakan yang tertuju pada kantor majalah satir Perancis, Charlie Hebdo. Cherif Kouachi dan saudaranya, Said, diberitakan media menyerang kantor majalah tersebut dan menembaki orang di dalamnya. Dua belas orang meninggal termasuk sang editor, beberapa kartunis, dan polisi.

Atas tragedi tersebut, manusia sedunia yang menjadi pengguna media sosial menemukan setidaknya dua hashtag paling massif yang muncul di jagat twitland. Keduanya adalah #RespectForMuslim dan #JeSuisCharlie. #RespectForMuslim muncul sebagai wujud solidaritas warga dunia kepada umat muslim atas kartun satir Nabi Muhammad SAW yang dimuat majalah Charlie Hebdo. Kartun yang sebagian besar muslim menganggap sebagai penghinaan dan ekspresi kebencian majalah tersebut terhadap Islam. Adapun #JeSuisCharlie yang berarti “Saya Charlie” ditujukan kubu yang lain dalam rangka belasungkawa kepada pembunuhan jurnalis Charlie Hebdo.

Melihat beberapa pekan sebelum peristiwa itu, juga marak gerakan media sosial dengan hashtag #illridewithyou yang menjadi ungkapan solidaritas kepada umat muslim di Australia. Gerakan ini muncul setelah kejadian penyanderaan 40 orang di sebuah kafe di Sidney. Media memberitakan pelakunya diduga militan Islam karena memperlihatkan bendera dengan huruf Arab. Sebagian mengaitkannya dengan ISIS. Sontak, banyak muslim di Australia yang merasa takut menjadi sasaran kemarahan warga. Hashtag #illridewithyou muncul untuk membantu muslim/muslimah mengatasi rasa takutnya dengan menjadi teman bagi mereka di ruang publik.

Masih pada Januari ini, di awal bulan lalu terbukti pula sebuah people power di negara kita sendiri melalui sosial media. Produsen salah satu merek rokok di Indonesia menghentikan penayangan iklan kontroversial di papan besar. Ini menjawab kritik masyarakat yang terkesan menyebar pesan mesum dan bernada melecehkan. Iklan tersebut mengundang munculnya petisi online melalui situs Change.org. Terhitung ada lebih dari 3.000 pendukung petisi tersebut dari 2.500 pendukung yang diperlukan. Para pendukung petisi umumnya menilai pesan iklan tersebut bisa mengancam generasi penerus bangsa.

Contoh-contoh di atas memberikan kita gambaran tentang aktivitas yang terjadi di media sosial terkini. Kurang dari satu dekade, media sosial telah berkembang menjadi kekuatan masyarakat yang sangat hebat. Seperti dikutip dalam id.techinasia.com, Tim WeAreSocial Singapore baru-baru ini membuat slideshow yang memperlihatkan semua fakta dan statistik mengenai 2,5 miliar pengguna internet. Dari keseluruhan jumlah tersebut, terdapat 1,86 miliar pengguna aktif media sosial di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah pasar potensial yang dapat menjadi pusat ekosistem startup di wilayahnya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia di tahun 2013 mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat ke-4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Menurut data dari Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi, untuk wilayah Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif. Pengguna Twitter, berdasarkan data PT Bakrie Telecom, memiliki 19,5 juta pengguna di Indonesia dari total 500 juta pengguna global.

Dikutip dari situs kominfo.go.id kebanyakan pengguna Twitter di Indonesia adalah konsumen, yaitu mereka yang tidak memiliki Blog atau tidak pernah mengunggah video di Youtube namun sering update status di Twitter dan Facebook. Sangat  disayangkan apabila perkembangan dan kemajuan teknologi internet ini hanya digunakan untuk sekadar update status atau saling menimpali komentar status maupun foto yang diunggah ke Facebook dan Twitter. “Seharusnya, kemajuan teknologi internet dapat lebih digali dan dimanfaatkan lebih dalam lagi agar nantinya Indonesia tidak hanya menjadi pengekor dari penemuan-penemuan luar dan dapat juga bersaing dengan negara lainnya,” ujar mantan Menkominfo Tifatul Sembiring.

Oleh karena itu sangat diperlukan sebuah edukasi bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi besar tersebut melalui literasi media sosial. Berikut pembahasannya yang diambil dari hasil diskusi anggota Melimove pada Sabtu, 20 Desember 2014 bersama Ganjar Widhiyoga (Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena, Dosen, dan sedang menempuh pendidikan Ph.D di Durham University).

Apa sesungguhnya media sosial? Banyak definisi, yang paling sederhana yakni penggunaan web dan teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Mengapa media sosial bisa sangat berkembang? Beberapa alasannya karena media sosial mengubah trend web yang semula statis menjadi dinamis, butuh pengetahuan teknis (coding, programming) menjadi lebih ramah pengguna, meningkatkan partisipasi publik di dunia maya.

Apa saja bentuk media sosial? Ada beberapa kategori, seperti Facebook dan Twitter, Blog dan Tumblr, Podcast dan Youtube, Path dan Instagram, Wikipedia dan Bulletin Boards, dll. Masing-masing memiliki perbedaan secara karakteristik media yang diolah. Intinya segala sesuatu di dunia maya, di mana pengguna dapat berkreasi, berpartisipasi, dan berbagi konten.

Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah media sosial (medsos) “baik” untuk masyarakat? Jawabannya tergantung pemakaian. Contoh kontemporer penggunaan medsos yang baik, pertama, live report konflik Gaza pada Ramadhan 2014 melalui Twitter, Facebook, dan medsos lainnya. Mampu menimbulkan eksposur paling luas dalam sejarah konflik Gaza serta menembus blokade Israel dan politik media. Kedua, hashtag #illridewithyou yang mampu mengubah suasana di Australia yang awalnya tegang dan dikhawatirkan akan muncul kekerasan pada umat muslim menjadi sangat bersahabat. Contoh kontemporer yang tidak baik adalah hoax, hoax, dan hoax yang bertebaran di medsos Indonesia.

Dalam menjalani aktivitas di media sosial, para pengguna haruslah berbekal literasi yang baik. Berikut ini literasi media sosial bagi seorang “konsumen” berita:

  1. Pahami bahwa pesan medsos itu “politis”, sebagaimana di media mainstream. Semua pesan ada maksud/tujuannya.
  2. Tidak semua user dapat dipercaya. Kenapa Anda percaya pada user anonim? Apa Anda percaya kalau ada orang yang tidak Anda kenal dan bilang “Nama saya meong2010, ada info kalau blablabla?”
  3. Jumlah teman yang banyak di medsos tidak sama dengan jumlah pertemanan yang berkualitas.
  4. Karena orang berlindung di “balik layar”, maka cenderung lebih kasar di medsos daripada di dunia nyata. Don’t take it too personality.

Di sisi lain, berikut ini literasi media sosial bagi seorang “produsen” berita:

  1. Punya visi. Jangan menggunakan medsos “karena trend” atau “just because”.
  2. Kenali karakter platform medsos. Twitter karakter terbatas, konten lebih cepat update namun juga lebih cepat kadaluwarsa, dsb.
  3. Pilih medsos yang paling cocok dengan gaya Anda dan pesan yang ingin Anda sampaikan. Tidak perlu memaksa diri menggunakan semua platform
  4. Jaga kualitas konten Anda.
  5. Bagikan konten yang tepat pada kelompok yang tepat. Gunakan pengaturan privasi jika perlu.
  6. Sebelum posting, selalu timbang: apa saya berani sampaikan apa yang saya posting ini di dunia nyata?
  7. Dengarkan masukan dari jaringan medsos Anda. Interaksi akan menguatkan eksistensi Anda di hadapan mereka (baik secara algoritme medsos maupun secara psikologis).

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Gunakan secara cerdas dan bijak sehingga kita tidak terjerumus ke dalam kebohongan informasi atau hal yang sia-sia dibalik potensinya yang sangat besar. Melalui literasi media sosial yang baik kita dapat menyerap dan atau memberi lebih banyak hal positif dari jaringan raksasa bernama media sosial. Selamat menjadi pengguna medsos yang cerdas.

Referensi:

1.http://news.viva.co.id/news/read/575273-sampoerna-hentikan-iklan-rokok-kontroversial-a-mildutm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter (diunduh 20 Januari 2015)

2. http://id.techinasia.com/statistik-pengguna-internet-di-dunia-dan-indonesia-slideshow/ (diunduh 20 Januari 2015)

3. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker (diunduh 20 Januari 2015)

Maruti Asmaul Husna Subagio, Anggota Forum Lingkar Pena Yogyakarta, Alumni Fakultas Teknik UGM

Tentang Film Assalamualaikum Beijing

Indonesia kembali menunjukkan kemampuannya dalam memproduksi film. Assalamualaikum Beijing (AB) merupakan salah satunya. Namun, ada suatu greget yang berbeda dengan film yang diangkat dari novel garapan  Asma Nadia dengan judul yang sama.

Kisah cinta menjadi tema pada film ini. Tema yang tidak lekang zaman dan telah menghiasi banyak film Indonesia. Tetapi kisah cinta dalam AB berbeda dengan film-film romantis pada umumnya. Kisah cinta di film ini lebih banyak disampaikan dalam bentuk hikmah daripada adegan sepasang kekasih. Satu lagi perbedaannya dengan film lain ialah, meskipun ber-genre romantis, namun AB aman disaksikan oleh hampir segala usia. Hal ini karena adegan yang ditampilkan sama sekali tidak perlu disensor tanpa perlu mengurangi esensi pesan yang hendak disampaikan.

Tidak hanya pujian yang menghampiri film AB sebagai terobosan baru syiar Islam di dunia showbiz, melainkan juga kritikan dari yang tumpul sampai yang tajam tertuju kepadanya. Beberapa bentuk kritik tersebut di antaranya dari penayangan akting pemainnya yang cenderung mengajarkan pacaran. Tampak dari banyaknya adegan Asma dan Zhong Wen yang sering pergi berdua, meskipun sebenarnya diceritakan dalam porsi Asma sebagai wartawan dengan Zhong Wen sebagai pemandunya selama meliput berita di Beijing. Kritik lainnya yaitu aktris dan aktornya yang katanya jauh dari Islami dalam kehidupan nyata.

Segala sesuatu pastinya tidak lepas dari pro dan kontra meskipun upaya tersebut diniatkan untuk kebaikan. Wajar saja jika kritik pada film AB bermunculan karena banyak pihak yang menghendaki sebuah film yang “murni” Islami dengan segala sisi syariatnya terpenuhi secara sempurna. Kesempurnaan tersebut meliputi sosok aktor dan aktrisnya yang nyaris tanpa cela di dalam film maupun dunia nyata seperti pada film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Tetapi hal yang harus diingat ialah mayoritas objek dakwah merupakan orang-orang yang selama ini “jauh” dari Islam. Film semacam KCB akan lebih semacam “alien” bagi objek dakwah jenis tersebut karena tidak familiar dengan kehidupan yang dihadapi sehari-hari. Bukankah Rasulullah SAW sendiri juga mempunyai metode berdakwah yang berbeda untuk para objek dakwahnya yang bervariasi? Bagaimana pun juga suatu kebenaran jika tidak disampaikan dengan cara yang apik, bukan saja tidak bisa dipahami dengan baik tetapi juga membuat yang didakwahi trauma.

Dunia hiburan, termasuk film, merupakan ladang yang selama ini paling gersang dari nilai-nilai Islam. Terlalu riskan karena berbagai kepentingan yang sering menggelincirkan idealisme datang menghampiri. Namun tidak bisa disangkal pula bahwa dunia hiburan selama ini juga memiliki andil yang tidak kecil dalam membentuk moral generasi muda, moral baik atau pun buruk. Apabila sudah mulai terbuka kesempatan berdakwah dalam bentuk film dan pangsanya lumayan menjanjikan, kenapa tidak? Daripada selamanya dunia yang satu ini dijejali oleh film-film yang lebih menayangkan (baca: mengajarkan) nilai-nilai sadisme, pornografi, sampai dengan perusakan akidah.

Ketika memutuskan menggunakan ruang abu-abu seperti ini maka tentunya yang menjadi pedoman ialah fiqh prioritas. Alternatif manakah yang lebih sedikit menghasilkan kemudharatan. Jika problematikanya semata-mata track record para sineasnya yang selama ini cenderung tidak Islami maka justru hal tersebut bisa menjadi kesempatan mengajak mereka untuk menggarap proyek-proyek kebaikan. Bukankah orang-orang seperti ini juga berhak untuk didekatkan kepada dakwah? Semakin ia jauh dari Islam maka semakin besar haknya pula untuk didekatkan kepada nilai-nilainya. Semoga film AB dapat memantapkan langkah para sineas Indonesia untuk menghadirkan unsur dakwah sehingga hasilnya bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Monica Novianti, Alumni Fakultas MIPA UGM 2009

Mereka yang Terlupakan: Nasib Dramatis Penyandang Tunanetra di Negeri Gempa

Kejadian tak diinginkan saat bencana sebetulnya bisa diminimalisasi jika tunanetra punya kemampuan menyelamatkan diri. Ini penting karena kebanyakan dari difabel belum mengetahui apa yang harus dilakukan ketika gempa berlangsung. Sedikit merefleksi gempa Jogja tahun 2006 lalu, tak sedikit korban yang merupakan difabel. Untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan pelayanan yang mengarah pada pengembangan aksi tanggap darurat yang menitikberatkan pada kemandirian difabel saat gempa terjadi.

Memperbincangkan Indonesia dan gempa sangat berkaitan dengan letak geografisnya yang berada dalam jalur ring of fire. Negeri kita ini terletak pada pertemuan tiga lempeng kulit bumi aktif, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bersinggungan sehingga Lempeng Indo-Australia menghujam ke bawah Lempeng Euro-Asia. Gempa tak jarang menimbulkan banyak korban, baik seseorang yang sudah mengalami difabel maupun seseorang yang menjadi difabel karena gempa melanda.

Persoalan lain yang cukup penting adalah kenyataan bahwa negeri kita ini minim sistem peringatan dini dan sistem evakuasi bencana alam yang aksesibel terhadap difabel. Di tengah keadaan yang tak mendukung ini, masih saja diwarnai dengan tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk merehabilitasi yang merengkuh ranah secara holistik, misalnya ekonomi dan sosial. Hal ini pun diperparah dengan tidak adanya tim mitigasi yang difokuskan untuk menangani penyandang tunanetra dan kelompok rentan lainnya. Yang paling mengkhawatirkan, dalam penelitian Saru Arifin (2008),[i] selama ini kebijakan mitigasi bencana sejak awal proses penanggulangan korban bencana menggunakan paradigma masyarakat secara normal. Sementara bagi kaum difabel, hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok swasta.

Diskriminasi pun kerap mewarnai dalam proses evakuasi misalnya menempatkan mereka pada kelompok terakhir dalam penanganannya. Gempa bisa datang kapan saja. Gempa pun seringkali memakan korban yang cukup banyak. Parahnya, tunanetra merupakan salah satu pihak yang rentan karena mereka sering terlupakan saat penyelamatan. Banyaknya korban tunanetra sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaktahuan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan, sebelum gempa, saat dan sesudahnya. Dengan adanya informasi yang tepat, kita sebetulnya dapat mengurangi risiko bencana kepada difabel dengan cara memperluas akses penyelamatannya. Langkah pemecahan strategis dapat dilakukan dengan menyentuh tiga dimensi, yaitu secara individual, kultural, dan struktural. Secara individual, dapat dilakukan dengan pemahaman akan keselamatan diri dengan pelatihan. Pelatihan dikatakan kontekstual dengan tunanetra apabila sesuai dengan karakteristiknya. Penerapan pendekatan kontekstual dalam training O&M dilakukan dengan cara mengaitkan konten training dengan situasi dunia nyata untuk membuat hubungan antara pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari. Proses memahamkan makna konten yang dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan dan lingkungan sekitarnya.

Training pun dapat dilakukan dengan cara menerapkan strategi yang joyfull dan problem based instruction (training berbasis masalah). Training ini akan dibuat menjadi kegiatan yang menyenangkan, yang dapat membuat tunanetra berpikir logis dan mampu mengeluarkan ide-idenya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Tutor harus mampu mengembangkan organisasi instruksional termasuk di dalamnya kemampuan menyelidiki sumber belajar dan seleksi untuk penerapan instruksional, di samping penguasaan konten. Konten yang diajarkan dapat berupa pendidikan siaga bencana yang berisi kumpulan pengetahuan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana, sehingga tercipta kesiapsiagaan dan tanggap darurat dalam menyelamatkan diri.

Dalam konteks kultural, eksistensi tunanetra yang semakin tenggelam dalam program keselamatan tidak hanya dilihat semata-mata dari keadaan tunanetra sendiri. Kondisi tunanetra yang semakin terpuruk ini justru lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Tanpa disadari masyarakat cenderung memandang difabel dari segi negatif sehingga kebutuhan sosial yang terkait partisipasi dan penerimaan sosial menjadi tidak terpenuhi. Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995) menyebutkan bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat.[ii] Padahal, difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat akan mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial.

Oleh karena itu, memperluas akses aktualisasi prestasi penyandang tunanetra hal yang mutlak dilakukan. Akibatnya, tunanetra semakin eksis dalam proses sosial kemasyarakatan. Dalam dimensi struktural, masyarakat harus aktif dalam advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak pada penyandang tunanetra. Apalagi permasalahan kecacatan kini tak lagi dipandang dalam dimensi kesehatan, namun lebih ditekankan pada dimensi sosial. Hal ini diperjelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Mensos Nomor 82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja Departemen Sosial yang menyatakan bahwa titik tekan penanganan permasalahan disabilitas di Indonesia diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Akibatnya, program-program yang bersifat pemberdayaan tunanetra menjadi menarik untuk dikembangkan, seperti pemulihan ekonomi pasca gempa, pembangunan sarana umum yang aksesibel bagi penyandang tunanetra, maupun rapat kebijakan publik yang merangkul tunanetra untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, keterlibatan penyandang tunanetra dalam sektor pembangunan publik bukan hanya sebagai penerima pasif dari manfaat pembangunan melainkan sebagai pelaku aktif dari pembangunan. Rekomendasi ini menggambarkan wacana yang holistik sehingga dapat menyelesaikan persoalan secara utuh dan mendasar. Harapan dari semua ini adalah terciptanya situasi sosial yang tak lagi memandang tunanetra dari ketidaberdayaannya. Oleh karena itu adalah keniscayaan bagi kita untuk menggandeng seluruh elemen masyarakat dalam proses membangun tatanan yang lebih baik karena hasil terbaik selalu dari hasil kerja kolektif.

Daftar Pustaka : [i] Saru Arifin. (2008). Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. [ii] Sri Moerdiani. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. h.16.

Dwitya Sobat Ady Dharma, Alumni Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta

Arus Media dan Informasi

Kita berada pada zaman yang penuh dengan lintasan informasi. Reformasi telah berlalu hampir dua dekade silam dan meninggalkan banyak hal untuk diperbaiki sampai saat ini. Pun dengan bertambahnya hal-hal baru yang jauh berbeda dengan zaman rezim orde baru. Bagi yang tak terbiasa dengan kondisi zaman ini, maka ia akan memilih bersama dengan kebiasaan lamanya hingga anak-anak reformasi dituntut untuk berjuang mengubah kebiasaan orang-orang orde baru ini. Sayangnya, mereka masih saja bercokol di instansi pemerintah dari pusat hingga daerah.

Terlepas dari kegundahan orang-orang orde baru di zaman ini, penting kiranya kita mencermati tiap arus informasi yang sangat cepat setiap harinya. Bahkan arus informasi ini semakin menggila seiring dengan bertambahnya media serta inovasi yang menyertainya. Sekitar tahun 2008 kita disajikan dengan hadirnya facebook dalam dunia maya, sebelumnya ada friendster yang tak kalah menyita perhatian. Tahun-tahun setelahnya semakin banyak ragam dan pilihan yang selalu hadir dan tersaji dalam hidup kita. Kegilaan semakin menjadi ketika semua perkembangan media itu bisa dengan cepat tersaji dalam genggaman tangan kita.

Lantas apa pentingnya kita mencermati tiap arus informasi yang begitu cepat setiap harinya? Jika mengamati pergerakan media-media di Indonesia, maka kita akan tersadar bahwa sulit menemukan media yang tidak mempunyai keberpihakan pada instansi tertentu, termasuk media sosial yang menjamur dengan beragam warna yang bisa melekat padanya. Masih hangat dalam ingatan kita momen pemilu yang terselenggara  tahun 2014 lalu bagaimana MetroTV dan TvOne selalu berlomba memberitakan masing-masing calon presiden yang diusunnya. Sebuah kemustahilan menemukan MetroTV memberitakan hal negatif tentang Joko Widodo, pun sebaliknya pada TvOne.

Sedikit berbeda dengan media sosial yang sangat beragam ini. Bentuk keberpihakannya akan seperti apa? Atau mereka berpihak pada siapa? Di sinilah letak perbedaan media sosial, setiap orang bisa mewarnainya dengan ideologi ataupun kepentingan yang diusungnya. Oleh karena itu, sounding pada suatu hal yang diusung di media sosial menjadi sangat penting, seberapa banyak orang atau akun media sosial yang membicarakan topik tertentu hingga bisa menjadi bahan pembicaraan yang ramai dan meluas. Di sinilah kekuatan yang bisa dimanfaatkan dari media sosial. Maka wajar jika kita menemukan akun palsu di suatu media sosial. Setiap akun aktif bisa digunakan untuk sounding satu isu atau satu kepentingan oleh pihak tertentu.

Lalu, masih enggan mencermati perkembangan informasi di media tanah air kita? Atau masih enggan memanfaatkan segudang media sosial yang menjamur dalam genggaman gadget kita? Social media movement memiliki kekuatan luar biasa kasus koin Prita Mulyasari misalnya yang memanfaatkan media sosial facebook, gerakan kampanye trending topic di twitter dengan menggunakan tagar (tanda pagar) dan tak sedikit dari para calon kepala daerah maupun partai politik yang memanfaatkan fasilitas di twitter ini. Lalu masih banyak lagi media sosial yang dapat digunakan sesuai dengan karakteristik media sosial tersebut. Misalnya, BBM, Instagram, Zello, LiteBig, dll. Beberapa media sosial menggunakan tagar untuk memudahkan proses pencarian berikut pengklasifikasian atas hal-hal yang diposting ke dalam suatu akun. Oleh karena itu, memanfaatkan tagar untuk mengampanyekan gerakan kita pada suatu isu menjadi sangat penting.

Mungkin akan menjadi bahasan pada tulisan selanjutnya atau orang yang lebih ahli dalam media sosial untuk mengulas pentingnya tagar berikut karakter pada tiap akun media sosial. Semoga kita semakin bijak dan teliti dalam mencermati informasi yang bersumber dari media apapun, karena tak semua informasi layak untuk dikonsumsi dan tak semua media punya garansi untuk dipercaya bahkan untuk sekedar dibaca.

Rochim Angga Kusuma Suprapto

Menggagas Sastra Santun

Notula Acara “Menggagas Sastra Santun”  bersama Joni Ariadinata dan Afifah Afra

Jum’at, 2 Januari 2015

Di Jogja Islamic Fair, GOR UNY

 

Pada zaman dahulu, penulis mendapatkan cara bersaing yang sehat melalui proses publikasi tulisan ke media. Mereka  harus mengirimkan tulisannya, berlomba agar dimuat di salah satu media. Kondisi tersebut berbeda dengan sekarang, ketika seseorang dengan mudah mempublikasikan tulisannya di sosial media. Selanjutnya tulisan-tulisan tersebut mendapat apresiasi dari pembaca, yang didominasi oleh teman-teman di sosial medianya. Dahulu, tulisan yang ditolak tidak dapat dipublikasikan di media lain. Namun saat ini, jika tulisan ditolak oleh media penulis dapat menerbitkannya melalui akun facebook-nya. Dahulu, proses penerbitan begitu rumit. Kini, kumpulan cerita pendek yang secara rutin di sosial media sudah dapat diterbitkan oleh penulis sendiri. Saat ini rasanya sulit menemukan penulis, karena penulis yang sebenarnya adalah mereka yang telah bersaing agar tulisannya dimuat oleh penerbit yang memiliki kredibilitas tinggi. Bahkan, salah satu parameter penulis sekarang adalah banyaknya follower akun twitter-nya, sehingga tidak begitu diperhatikan kualitas tulisannya. Perbandingan kondisi ini membentuk dua tipe kepribadian penulis yang berbeda.

 

Sastra santun dapat diartikan sebagai fiksi profetik atau fiksi religi. Sastra santun memiliki parameter, yaitu:

  1. Sastra santun menggunakan bahasa yang indah dan membekas, dalam artian memberikan makna positif. Sastra santun bukanlah cacian. Hal ini didasarkan pada Qur’an Surah An Nissaa’ ayat 63:

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasehat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.”

  1. Sastra santun menggunakan bahasa yang mudah dan praktis. Sastra santun bukan sastra yang berbeli-belit, sebagaimana hal ini tercantum pada Surah Al Israa’ ayat 28:

“Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut.”

Fiksi dibolehkan berdasar hadits “Sampaikanlah kisah kepada Bani Israil…” Tuliskanlah kisah seperti yang tertera dalam Qur’an: to the point dan indah.

  1. Sastra santun menggunakan bahasa yang lemah lembut, tidak provokatif.
  2. Sastra santun menggunakan bahasa dengan tepat waktu dan sasaran. “Bicaralah kepada orang-orang tentang apa yang mereka pahami…

 

Sastra santun ialah sebuah kebenaran yang terbingkai dalam imajinasi. Penulis yang baik, tidak boleh membungkus kotoran dalam bungkus yang indah. Ibarat membuang kotoran yang dipajang di toko buku. Namun penulis yang baik ibarat melahirkan bayi, yang kemudian menghadirkan kebaikan yang lain. Dari perumpamaan tersebut, terlihat pula perbedaan lain antara keduanya yaitu perbedaan waktu yang digunakan untuk memproses suatu karya.

 

Persepsi yang berkembang di masyarakat adalah menganggap sastra Islami sebagai khotbah. Ini merupakan persepsi yang salah. Sastra memang memiliki nilai, tapi tidak semuanya merupakan khotbah sehingga tidak menyerupai buku fiqh. Dalam karya sastra, kesadaran didapat secara tidak langsung yaitu melalui kisah. Misalnya dalam salah satu cerpen yang ditulis Pak Joni, yang menceritakan kotornya ruangan yang digunakan oleh PSK, seperti kotornya seperti kasur, kolong dipan, maupun ember yang digunakan di sudut ruangan. Kisah itu ternyata menjadikan pembaca merasa enggan mendatangi lokalisasi, meski penulis tidak mencantumkan dalil tentang larangan berzina.

 

Menulis adalah sebuah pertarungan yang luar biasa sehingga bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang bermental ingin dipuji. Menulis adalah medan bagi orang yang bermental sekuat baja bukan selemah kertas, sehingga ketika tulisannya ditolak berkali-kali, iapun tetap menulis berkali-kali. Orang yang tulisannya gagal seratus satu kali, lebih baik dibanding mereka yang gagal tiga kali namun sudah menyerah. Keistiqomahanlah yang akan menjadikanmu seorang penulis. Karya yang bagus adalah karya yang tidak mudah dilupakan, bahkan hingga pembaca pun selalu mengingat tiap adegan yang diceritakan.

 

Bila kita membandingkan hasil penjualan berbagai jenis novel, hasil terbanyak adalah novel Islami. Namun jika terjadi penurunan hasil penjualan, mungkin karena pembaca merasa jenuh, sehingga tantangannya adalah bagaimana mengemas fiksi Islami dengan konsep yang baru. Pendekar Tongkat Emas maupun Supernova ternyata masih kalah dalam jumlah penontonnya bila dibandingkan dengan Ayat-Ayat Cinta maupun Assalamualaikum Beijing. Ini menjadi bukti bahwa publik ternyata menyukainya. Sadarilah bahwa penulis memiliki pembaca setia, maka hadirkanlah karya yang menggelegar dan membekas terhadap pembaca.

 

Wening Mulat Asih, Mahasiswi Fakultas MIPA UGM Angkatan 2010