Rahasia Sang Ksatria Pena

Melimove (Media and Literacy Movement) adalah sebuah perkumpulan yang mencoba membangun generasi bangsa Indonesia yang cerdas bermedia. Melimove sudah menjelajah selama lebih dari tiga bulan untuk mendalami pemahaman kemediaan. Kali ini, Melimove berkesempatan berdiskusi dengan Ataka, Sang Ksatria Pena.

Sang Ksatria Pena

Nama lengkapnya adalah Ahmad Ataka Awwalur Rizqi. Ia sempat menimba ilmu di Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada dan kini sedang melanjutkan pendidikan di King’s College London di bidang robotika. Meskipun tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan, namun keluarga Ataka mempunyai budaya dan tradisi yang baik dalam hal kecintaan pada buku. Sejak kecil, sang ibu sering membacakan buku-buku dongeng sebagai pengantar tidur. Ketika beranjak ke masa kanak-kanak, Ataka mulai membaca komik karena sang kakek yang rutin membelikan bahan bacaan untuknya. Saat berada di kelas 4 SD, ia pertama kali berkenalan dengan serial Harry Potter-nya JK Rowling. Inilah yang kemudian menyadarkannya, bahwa membaca novel lebih mengasyikan daripada membaca komik karena ia memiliki kebebasan berimajinasi.

Menginspirasi dengan Imajinasi

Dua tahun setelah pertemuan pertamanya dengan novel, Ataka sudah memiliki banyak koleksi novel. Di antaranya adalah serial Harry Potter, The Lord of The Rings dan The Hobbit karya JRR Tolkien, karya-karya Roald Dahl dan Eva Ibbotson, serta berbagai buku anak-anak terjemahan lainnya. Di akhir masa sekolah dasar, Ataka mulai menulis. Kisah fiksi pertamanya ditulis di atas kertas buram seusai ujian kenaikan kelas. Meskipun setelahnya Ataka melanjutkan kisah-kisah itu, namun belum ada yang selesai menjadi sebuah kisah yang utuh.

Suatu hari, Ataka melakukan perjalanan bersama keluarga ke Madura. Dalam kemacetan, ia berhasil membuat sebuah jalinan cerita yang lengkap. Inilah yang menjadi cikal bakal buku pertamanya, Misteri Pedang Skinheald 1, Sang Pembuka Segel. Pada tahun 2005, novel pertama Ataka diterbitkan dengan tebal sekitar 200 halaman. Tak lama setelahnya, novel kedua berjudul Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Poter diterbitkan. Novel ber-genre detektif ini ditulis saat Ataka sedang asyik membaca serial Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Jika Anda sering membaca komik Detektif Conan (Meitantei Conan), pastilah sudah tidak asing dengan nama ini.

Di akhir masa SMP, novel ketiga Ataka terbit dengan judul Misteri Pedang Skinheald 2, Awal Petualangan Besar. Novel dengan tebal 660 halaman ini merupakan kelanjutan dari novel pertamanya. Novel ini di-launching bersama Pak Arswendo di Jakarta dan Noe Letto di Yogyakarta.

Karya-karya Ataka tidak terlepas dari motivasi di baliknya. Sederhana, Ataka sekedar ingin menuangkan imajinasi dan menjadikannya sebagai pelampiasan atas ketidakpuasan pada buku-buku bacaannya. Di sisi lain, Ataka juga mencoba menyisipkan nilai atau pesan melalui alur ceritanya dalam kisah-kisah fiksinya. Passion-nya dalam hal menulis tetap berlanjut hingga masa kuliah. Perjalanannya bersama teman-teman di Cendekia Teknika, Gadjah Mada Aerospace Team dan tim PIMNAS UGM, serta masa-masa KKN-nya menjadi ladang inspirasi baginya. Lalu, Ataka menuangkannya ke dalam tulisan dengan tema-tema seperti persahabatan, perjuangan, maupun pengabdian.

Rahasia Sang Ksatria Pena

Dalam proses menghasilkan karya di bidang menulis, Ataka menyampaikan dua hal yang dibutuhkan. Hal pertama adalah membaca. Ataka tidak pernah mengikuti kursus menulis dan tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan. Dari silsilah keturunan keluarganya, tidak ada yang pernah menerbitkan buku. Ataka justru belajar menulis dari buku-buku yang dibacanya. Di sisi lain, orangtua Ataka juga mengenalkannya kepada kawan-kawan dari komunitas sastra di Yogyakarta. Dari komunitas sastra inilah, Ataka mulai mengenal buku-buku sastra Indonesia, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, maupun NH Dini.

Ditilik dari perjalanannya dalam menghasilkan ketiga novel fiksinya, hal itu memang tak lepas dari buku-buku bacaannya yang sebagian besar memang merupakan novel fiksi. Selain itu, kawan-kawannya di komunitas sastra juga merupakan penggemar genre fiksi fantasi. Oleh karena itu, jelaslah bahwa membaca merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam menghasilkan karya di bidang menulis. Banyak membaca dan berdiskusi juga dapat membuka cakrawala pemikiran kita dan memperkaya nilai atau pesan yang akan disampaikan melalui tulisan.

Hal kedua adalah keberanian. Kita sering kali merasa “malu” saat orang lain membaca tulisan kita, apalagi jika tulisan itu adalah tulisan pertama kita. Menurut Ataka, hal semacam ini wajar terjadi. “Tetapi”, katanya, “kalau kita mencoba melihat dari perspektif lain, sebenarnya justru dengan membiarkan orang lain membaca, kita akan mendapat respons dan masukan yang membantu kita menjadi lebih baik.” Lalu Ataka berkata lagi,”Jadi, tips dan trik yang bisa saya berikan adalah mulailah membaca dan mulailah menulis.”

Berkarya untuk Keabadian

Di akhir diskusi, Ataka menyampaikan sebuah pernyataan yang dikutip dari salah satu penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Beliau berkata bahwa,”Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Lalu Ataka menjelaskan,”Hidup ini singkat. Tapi dengan menulis, suara kita akan terus bergaung sepanjang zaman. Selamat berkarya untuk keabadian.”

Penulis
Wening Mulat Asih,
Kru INSPIRE Creative Media Factory
Mahasiswi FMIPA Kimia UGM

Sastra Santun; Sebuah Gerakan Antimainstream

open-book1

Sastra merupakan karya yang menjadi ciri khas bangsa. Kemajuan budaya sering dikaitkan dengan sastra. Sastra di Indonesia mulai berlangsung setelah bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan asing, yakni kebudayaan Hindu, Islam, dan Barat.  Ada berbagai macam sastra, yaitu sastra klasik, kontemporer, modern,  pop, dll.

Berawal dari sebuah kajian bertema Sastra Santun di Jogja Islamic Book Fair beberapa waktu lalu, rekan-rekan Melimove sepakat untuk menjadikan tema ini sebagai bahasan diskusi di grup Whatsapp.

Ahad, 18 Januari 2015 telah dilaksanakan diskusi dengan menghadirkan Yeni Mulati atau yang biasa dikenal Afifah Afra sebagai pemantik diskusi. Beliau tentu tidak asing lagi di kalangan penyuka fiksi islami. Afifah Afra bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) sejak 1999. Pernah menjabat sebagai Ketua FLP Cabang Semarang, lalu Ketua FLP Wilayah Jawa Tengah, dan sekarang diamanahi sebagai Sekjen Badan Pengurus Pusat FLP (2013-2017).

Apa itu sastra santun? Sastra santun lebih dikenal dengan istilah sastra islami atau sastra profetik. Mengingat kedua istilah itu terlihat sangat “khusus”, maka dipilih kata “santun” untuk membangun kesan yang lebih universal.

Sastra arus utama/mainstream sekarang didominasi pada sastra berupa narasi minoritas dan pendobrakan hal-hal yang dipandang tabu. Cenderung pro antikemapanan. Karena semangatnya mendobrak hal-hal tabu, misal seks, maka mereka justru mengangkat tema tentang seks secara vulgar. Jika yang menulis adalah perempuan, derajatnya dua kali lebih keren. Seks adalah tabu di ruang publik, jika yang mengungkap perempuan, lebih tabu lagi. Maka, ketika muncul para perempuan yang menulis seks dengan sangat vulgar, dianggap “hebat kuadrat”. Jika tema-tema seperti ini menjadi tren, tentu akan berpengaruh pada perkembangan budaya masyarakat Indonesia. Harapannya sastra santun menjadi antitesa dari aliran arus utama tersebut.

Kriteria sastra santun, antara lain:

  1. Mengusung ide-ide kebaikan dan mencerahkan;
  2. Bahasa lembut dan sopan;
  3. Bahasa indah namun mudah dipahami dan sesuai dengan audiens;
  4. Tidak vulgar dan mengandung unsur-unsur yang melanggar norma.

Gerakan sastra santun ini punya “ambisi besar”yaitu:

1) Mendekonstruksi pemahaman tentang sastra yang akhirnya cenderung sesuai dengan pemahaman mainstream.

2) Menjadi mainstream sendiri dengan “pranata sastra” yang juga kuat. Misalnya, ada lomba sendiri, award, writer and reader festival (semacam khatulistiwa literary award).

Untuk tujuan ini, FLP sebagai inisiator akan mengajak pihak-pihak yang memiliki visi yang sama. FLP akan back up penuh karya-karya yang bisa menjadi bagian dari sastra santun mulai dari proses kepenulisan hingga promosi.

Sastra santun merupakan pengembangan dari sastra Islami. Dalam hal isi, harapannya pada sastra santun, keislaman muncul sebagai substansi. Bukan sekadar kulit. Cara pengemasan juga harus semakin bagus. Sastra memiliki kaidah-kaidah yang “harus dipatuhi”. Para penulis sastra santun harus belajar mengemas karya sebaik mungkin.

Di perbukuan, setelah penulis, satu-satunya “pintu” bisa jadi hanya editor.  Kadang di penerbit tidak ada mekanisme cross check dari bagian selain redaksi. Dari pemerintah memang ada penilaian dari Diknas, tapi sifatnya tidak wajib. Jadi, memang sangat mengerikan karena nyaris tidak ada saringan.

Bahkan, display di toko buku pun tidak dibatasi. Maka, tidak heran jika banyak novel yang tidak sesuai kategori umur. Novel-novel asing yang diterjemahkan untuk dewasa bebas dibaca remaja. Buku-buku sejenis itu juga banyak didapat di perpus milik pemerintah. Pernah ditemukan buku-buku jenis itu di Perpusda Kabupaten Bintan. Setelah dikonfirmasi ke petugas, mereka tahunya itu kiriman dari pusat.

Nantinya, penulis yang menandatangani “kontrak sastra santun”, terikat secara moral untuk menulis sesuai kontrak. FLP juga akan bergerak ke penerbit-penerbit untuk ikut bergabung. Peran kita sebagai pembaca juga harus melakukan advokasi. Kalau kita membiarkan buku-buku yang tidak sesuai norma beredar, mungkin kita sendiri yang ikut mengkonsumsi dan lama-lama sensitivitas kita akan berkurang.

Sastra santun ini bentuk ke depannya bukan organisasi, tetapi gerakan. FLP akan mengajak organisasi-organisasi kepenulisan lain, juga penulis mandiri yang sevisi, utk bergabung. Gagasan ini masih sangat mungkin dikembangkan. Grand launchingnya insyaAllah November 2015. Nantinya diadakan acara semacam Ubud Writer and Reader Festival di Makassar, mungkin 3 hari. Siap-siap nabung!

Setelah launching, penulis dan penerbit yang bergabung, menyepakati, lalu berkarya sebanyak-banyaknya dan sebagus-bagusnya. Selain itu, anggota gerakan sastra santun bisa memberikan edukasi ke masyarakat, toko buku dan penerbit, atau bahkan ke pemerintah untuk membuat ketentuan yang lebih ketat lagi.

Apalagi sekarang mulai muncul banyak penerbit indie. Proses editing hanya pada penulis, bukan di penerbit. Gerakan sastra santun ini belum akan bergerak di controlling. Entah nantinya, karena pasti akan sangat sulit realisasinya. Tetapi, kalo kita bisa meyakinkan pemerintah untuk memperbaiki regulasi perbukuan, itu bisa diantisipasi. Jika regulasi perbukuan kuat, tugas kita akan menjadi lebih mudah. Mestinya ini memang tugas pemerintah. Kita tentu ingin agar karya-karya kita tetap tidak melanggar batas-batas norma.

Ah, dua jam tidaklah cukup membahas tuntas tentang sastra. Sebagai penutup, Afra mengingatkan bahwa, “Pada prinsipnya manusia itu makhluk rabbaniyyah. Mereka akan menyukai karya-karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerahkan. Menjadi penulis yang rabbaniyyah bukan sekadar kita bisa menggerakan pena untuk merangkai kata-kata yang bagus. Tetapi juga menyusupkan ruh. Bukankah ketika Allah menghendaki kebaikan datang dari kita, tangan kita sebenarnya sedang “Dipinjam” Allah untuk menjadi lantaran hidayah?

 

 

Penulis
Yonea Bakla
Apoteker lulusan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Kutu buku sejak SD

Gambar: google.com

Literasi Media Sosial (Bagian #1)

Social Media

Masih hangat di telinga kita tragedi penembakan yang tertuju pada kantor majalah satir Perancis, Charlie Hebdo. Cherif Kouachi dan saudaranya, Said, diberitakan media menyerang kantor majalah tersebut dan menembaki orang di dalamnya. Dua belas orang meninggal termasuk sang editor, beberapa kartunis, dan polisi.

Atas tragedi tersebut, manusia sedunia yang menjadi pengguna media sosial menemukan setidaknya dua hashtag paling massif yang muncul di jagat twitland. Keduanya adalah #RespectForMuslim dan #JeSuisCharlie. #RespectForMuslim muncul sebagai wujud solidaritas warga dunia kepada umat muslim atas kartun satir Nabi Muhammad SAW yang dimuat majalah Charlie Hebdo. Kartun yang sebagian besar muslim menganggap sebagai penghinaan dan ekspresi kebencian majalah tersebut terhadap Islam. Adapun #JeSuisCharlie yang berarti “Saya Charlie” ditujukan kubu yang lain dalam rangka belasungkawa kepada pembunuhan jurnalis Charlie Hebdo.

Melihat beberapa pekan sebelum peristiwa itu, juga marak gerakan media sosial dengan hashtag #illridewithyou yang menjadi ungkapan solidaritas kepada umat muslim di Australia. Gerakan ini muncul setelah kejadian penyanderaan 40 orang di sebuah kafe di Sidney. Media memberitakan pelakunya diduga militan Islam karena memperlihatkan bendera dengan huruf Arab. Sebagian mengaitkannya dengan ISIS. Sontak, banyak muslim di Australia yang merasa takut menjadi sasaran kemarahan warga. Hashtag #illridewithyou muncul untuk membantu muslim/muslimah mengatasi rasa takutnya dengan menjadi teman bagi mereka di ruang publik.

Masih pada Januari ini, di awal bulan lalu terbukti pula sebuah people power di negara kita sendiri melalui sosial media. Produsen salah satu merek rokok di Indonesia menghentikan penayangan iklan kontroversial di papan besar. Ini menjawab kritik masyarakat yang terkesan menyebar pesan mesum dan bernada melecehkan. Iklan tersebut mengundang munculnya petisi online melalui situs Change.org. Terhitung ada lebih dari 3.000 pendukung petisi tersebut dari 2.500 pendukung yang diperlukan. Para pendukung petisi umumnya menilai pesan iklan tersebut bisa mengancam generasi penerus bangsa.

Contoh-contoh di atas memberikan kita gambaran tentang aktivitas yang terjadi di media sosial terkini. Kurang dari satu dekade, media sosial telah berkembang menjadi kekuatan masyarakat yang sangat hebat. Seperti dikutip dalam id.techinasia.com, Tim WeAreSocial Singapore baru-baru ini membuat slideshow yang memperlihatkan semua fakta dan statistik mengenai 2,5 miliar pengguna internet. Dari keseluruhan jumlah tersebut, terdapat 1,86 miliar pengguna aktif media sosial di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah pasar potensial yang dapat menjadi pusat ekosistem startup di wilayahnya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia di tahun 2013 mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat ke-4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Menurut data dari Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi, untuk wilayah Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif. Pengguna Twitter, berdasarkan data PT Bakrie Telecom, memiliki 19,5 juta pengguna di Indonesia dari total 500 juta pengguna global.

Dikutip dari situs kominfo.go.id kebanyakan pengguna Twitter di Indonesia adalah konsumen, yaitu mereka yang tidak memiliki Blog atau tidak pernah mengunggah video di Youtube namun sering update status di Twitter dan Facebook. Sangat  disayangkan apabila perkembangan dan kemajuan teknologi internet ini hanya digunakan untuk sekadar update status atau saling menimpali komentar status maupun foto yang diunggah ke Facebook dan Twitter. “Seharusnya, kemajuan teknologi internet dapat lebih digali dan dimanfaatkan lebih dalam lagi agar nantinya Indonesia tidak hanya menjadi pengekor dari penemuan-penemuan luar dan dapat juga bersaing dengan negara lainnya,” ujar mantan Menkominfo Tifatul Sembiring.

Oleh karena itu sangat diperlukan sebuah edukasi bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi besar tersebut melalui literasi media sosial. Berikut pembahasannya yang diambil dari hasil diskusi anggota Melimove pada Sabtu, 20 Desember 2014 bersama Ganjar Widhiyoga (Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena, Dosen, dan sedang menempuh pendidikan Ph.D di Durham University).

Apa sesungguhnya media sosial? Banyak definisi, yang paling sederhana yakni penggunaan web dan teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Mengapa media sosial bisa sangat berkembang? Beberapa alasannya karena media sosial mengubah trend web yang semula statis menjadi dinamis, butuh pengetahuan teknis (coding, programming) menjadi lebih ramah pengguna, meningkatkan partisipasi publik di dunia maya.

Apa saja bentuk media sosial? Ada beberapa kategori, seperti Facebook dan Twitter, Blog dan Tumblr, Podcast dan Youtube, Path dan Instagram, Wikipedia dan Bulletin Boards, dll. Masing-masing memiliki perbedaan secara karakteristik media yang diolah. Intinya segala sesuatu di dunia maya, di mana pengguna dapat berkreasi, berpartisipasi, dan berbagi konten.

Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah media sosial (medsos) “baik” untuk masyarakat? Jawabannya tergantung pemakaian. Contoh kontemporer penggunaan medsos yang baik, pertama, live report konflik Gaza pada Ramadhan 2014 melalui Twitter, Facebook, dan medsos lainnya. Mampu menimbulkan eksposur paling luas dalam sejarah konflik Gaza serta menembus blokade Israel dan politik media. Kedua, hashtag #illridewithyou yang mampu mengubah suasana di Australia yang awalnya tegang dan dikhawatirkan akan muncul kekerasan pada umat muslim menjadi sangat bersahabat. Contoh kontemporer yang tidak baik adalah hoax, hoax, dan hoax yang bertebaran di medsos Indonesia.

Dalam menjalani aktivitas di media sosial, para pengguna haruslah berbekal literasi yang baik. Berikut ini literasi media sosial bagi seorang “konsumen” berita:

  1. Pahami bahwa pesan medsos itu “politis”, sebagaimana di media mainstream. Semua pesan ada maksud/tujuannya.
  2. Tidak semua user dapat dipercaya. Kenapa Anda percaya pada user anonim? Apa Anda percaya kalau ada orang yang tidak Anda kenal dan bilang “Nama saya meong2010, ada info kalau blablabla?”
  3. Jumlah teman yang banyak di medsos tidak sama dengan jumlah pertemanan yang berkualitas.
  4. Karena orang berlindung di “balik layar”, maka cenderung lebih kasar di medsos daripada di dunia nyata. Don’t take it too personality.

Di sisi lain, berikut ini literasi media sosial bagi seorang “produsen” berita:

  1. Punya visi. Jangan menggunakan medsos “karena trend” atau “just because”.
  2. Kenali karakter platform medsos. Twitter karakter terbatas, konten lebih cepat update namun juga lebih cepat kadaluwarsa, dsb.
  3. Pilih medsos yang paling cocok dengan gaya Anda dan pesan yang ingin Anda sampaikan. Tidak perlu memaksa diri menggunakan semua platform
  4. Jaga kualitas konten Anda.
  5. Bagikan konten yang tepat pada kelompok yang tepat. Gunakan pengaturan privasi jika perlu.
  6. Sebelum posting, selalu timbang: apa saya berani sampaikan apa yang saya posting ini di dunia nyata?
  7. Dengarkan masukan dari jaringan medsos Anda. Interaksi akan menguatkan eksistensi Anda di hadapan mereka (baik secara algoritme medsos maupun secara psikologis).

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Gunakan secara cerdas dan bijak sehingga kita tidak terjerumus ke dalam kebohongan informasi atau hal yang sia-sia dibalik potensinya yang sangat besar. Melalui literasi media sosial yang baik kita dapat menyerap dan atau memberi lebih banyak hal positif dari jaringan raksasa bernama media sosial. Selamat menjadi pengguna medsos yang cerdas.

Referensi:

1.http://news.viva.co.id/news/read/575273-sampoerna-hentikan-iklan-rokok-kontroversial-a-mildutm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter (diunduh 20 Januari 2015)

2. http://id.techinasia.com/statistik-pengguna-internet-di-dunia-dan-indonesia-slideshow/ (diunduh 20 Januari 2015)

3. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker (diunduh 20 Januari 2015)

Maruti Asmaul Husna Subagio, Anggota Forum Lingkar Pena Yogyakarta, Alumni Fakultas Teknik UGM

Media dan Literasi di Ujung Tanduk

media-freedom-newsfirst

” Bingung ya, beda media beda beritanya ”

” Media yang iitu kalau bikin cerita suka nggak nyambung judul dengan isinya ”

” Media S punya si A. Ya iyalah.., bakal belain. Kelompoknya sendiri kok ”

“ Website yang ini isinya jarang yang bener. Kok masih pada nge-share ya? ”

” Gw udah gak tau mau percaya berita yang mana. Bingung gw ”

Keluhan-keluhan serupa mungkin sering kamu dengar di percakapan sehari-hari atau malah kamu merupakan salah satu dari orang yang mengeluhkan hal tersebut.  Keberadaan  media masa (cetak dan elektronik) mulai jauh dari ketidakberpihakan dan etika jurnalisme. Kondisi ini membuat masyarakat bingun dalam mencari sumber informasi yang dapat dipercaya kebenarannya. Media yang beredar pada saat ini cenderung untuk berpihak kepada suatu kelompok sehingga informasi yang disampaikan cenderung memberikan keuntungan bagi kelompoknya masing-masing. Pembaca sebagai konsumen berita pun menjadi salah satu alasan lain semakin tidak jelasnya pemberitaan yang beredar. Konsumen yang pro dan kontra berusaha menyebarkan informasi yang didapat untuk menjatuhkan satu sama lain tanpa  berusaha mencari klarifikasi dari berita yang mereka dapat.

Hal- hal yang dipaparkan sebelumnya menjadi dasar dibentuknya komunitas Media & Literacy Movement. Suatu komunitas yang beranggotakan beberapa penulis dan pemerhati media dari berbagai universitas yang ada di Yogyakarta ini berusaha mengkaji bersama  keberadaan media dan literasi serta cara mengunakannya untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Keadaan terkini, proses perbaikan dan kontribusi media menjadi titik pokok diskusi yang akan dijalankan. Anggota komunitas mengadakan diskusi berkaitan dengan media dan literasi dan berusaha berlatih dengan bantuan dari pembimbing. Materi diskusi disampaikan oleh tenaga ahli yang diundang ke dalam agenda komunitas.

Diskusi pertama diadakan pada hari Jumat tanggal  12 Desember 2014. Diskusi interaktif diadakan dengan materi “Literasi Media” oleh Ganjar Widhiyoga (Pengurus Forum Lingkar Pena, Dosen dan sedang menempuh pendidikan Ph.D di Durham University).  Materi ini dipilih untuk menyamakan pemahaman dari anggota komunitas mengenai pentingnya media, keadaan terkini dan urgensi penyediaan media yang  pro serta sekaligus mampu mendidik rakyat. Pemahaman yang sama diharapkan bisa membuat sinergi antar anggota menjadi lebih baik.

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Mas Ganjar mengenai latar belakang media.

Media hadir sebagai penyuara aspirasi rakyat dan pengawasan terhadap oknum pemerintah. Keberadaan media begitu penting sehingga sering dianggap sebagai pilar  keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Media dinilai sebagai alat penyampai informasi yang selalu objektif dan memihak rakyat sehingga masyarakat cenderung untuk menerima begitu saja  pemberitaan media. Masalah muncul ketika media tersebut dikuasai oleh sekelompok kecil penguasa kaya. Pemilik modal dapat dengan mudah mengontrol pemberitaan media sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, rasa suka dan tidak suka terhadap suatu kelompok atau keputusan sedikit banyak  juga memengaruhi hasil para pencari berita. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi dialami sebagian besar media di seluruh dunia. Dua hal ini kemudian menjadi alasan diperlukannya keahlian khusus dalam mencari, memahami konteks, mengkritisi media lalu membuat produksi baru dari penalaran pribadi mengenai berita yang didapatkan.

Materi diskusi kemudian sampai pada permasalahan umat. Persoalan  pertama yang dhidapai umat Islam berkaitan dengan media adalah kurangnya minat mengakses media. Keadaan ini dimungkinkan karena ketidakpedulian atau kebingungan dalam mengakses berita. Kedua, tidak mampu memahami media, mudah menyebarkan informasi tanpa cek kebenarannya atau tidak bisa membedakan berita di situs umum dengan situs resmi berita. Tidak kritis cenderung reaktif, kalau sumber berita dari situs bernama Islam maka akan langsung dipercaya atau dianggap benar. Kalau kelompoknya diuntungkan maka benar, kalau kelompoknya direndahkan maka berita tersebut adalah bohong. Di sini kita melihat, ada ketidakmampuan memilah dan memproduksi media yang berkualitas.

Pemaparan materi di atas disambut baik oleh para anggota. Antusiasme tampak dari banyaknya pertanyaan yang muncul. Pertanyaan meliputi bagaimana membangun kemampuan menganalisa berita pada masyarakat, andil mahasiswa dalam membangun kesadaran literasi media, urgensi media Islam terpercaya dan sumbangsih yang dapat diberikan. Kesimpulan tanya jawab didapat ketika mas ganjar menyampaikan tantangan mengenai hal yang bisa anggota lakukan, memulai dari diri sendiri untuk mampu mengembangkan diri lalu berbagi kepada orang lain. Semangat tersebut yang membuat komunitas Media & Literacy Movement akan membentuk sebuah website sebagai ajang berbagi dan belajar.

“ Kecil asal konsisten, insyaallah bermanfaat, ” pesan Mas Ganjar.

Yova Tri Yolanda