Pendidikan Indonesia:Mencetak ‘Pengemudi” atau ‘Penumpang’?

Dalam kesaksiannya, menurut Kompas.com (4/8/12), Ryan mengalami depresi karena lebih dari setahun menganggur. Singkatnya Ryan menjadi putus asa. Padalah ia mempunyai gelar S2 dari jurusan ilmu administrasi FISIP UI. Bukankah ini cukup membanggakan? IPK (Indeks Prestasi Kumulatif)-nya saja 3,32.

 Berbicara pendidikan, juga berbicara tentang kemajuan peradaban suatu bangsa. Sayangnya, pendidikan Indonesia masih berusaha agar tak compang camping. Perubahan kurikulum, peningkatan mutu profesi guru, merupakan upaya-upaya dalam proses perbaikan pendidikan. Ketika kita melirik bagaimana proses pendidikan di negara-negara maju, iri rasanya. Beberapa para pemerhati pendidikan pun mengumpat sistem pendidikan negara kita. Ada yang mendirikan sekolah alam. Bahkan para orang tua yang sadar, akhirnya memilih menyekolahkan anaknya di rumah.

Menurut Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) No.20 Tahun 2003, pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Sisdiknas diterangkan bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Dalam realita, hal ini masih belum dapat terwujud. Beberapa peserta didik mengalami kemalasan dalam sekolah bahkan belajar. Ada juga yang merasa terkekang potensi dirinya ketika menuntun ilmu di institusi pendidikan. Mereka merasa tidak mendapat hal-hal sesuai harapan, merasa dibatasi kreativitas, atau jadi merasa salah memilih jurusan.

Lebih parah lagi adalah bagi mereka yang tidak merasa ada masalah dengan sistem pendidikan kita. Adem ayem, semboyan bagi mereka para penikmat dan penonton pendidikan. Komentar tidak, resah pun tidak. Mengalir dalam arus. Bukan tenang menghanyutkan tetapi tenang dan malah ikut hanyut terbawa arus.

Kasus Ryan, di atas, tak hanya sebatas hitungan jari. Banyak Ryan yang lain. Dalam bukunya Self Driving, Renald Kasali berkata,”Membaca berita seperti itu membuat saya miris. Sudah lama saya komplain terhadap dunia yang saya geluti. Saya komplain ketika melihat banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa semata-mata dari ujian tertulis, buku, mendapat nilai A dari kelas marketing sebelumnya, yang kini duduk di kelas saya (saya mengajar Internasional Marketing), tetapi tidak mencerminkan kualitas A yang sesungguhnya.”

Begitu pula sama halnya dengan yang saya alami. Seorang mahasiswa Pendidikan Teknik Busana mendapat nilai A pada mata kuliah Pengetahuan Busana, tetapi cara berpakaiannya tidak mencerminkan bahwa dia anak busana. Seorang mahasiswa mendapat nilai A pada mata kuliah Psikologi Pendidikan, tetapi ketika mengajar tidak bisa menerapkan teorinya ketika mendidik.

Sastrawan George Bernard Shaw menulis:”Only two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think.”

Hanya ada dua persen di antara eksekutif kita yang berpikir? Mungkin pendapat berikut ini ada benarnya. Hanya 2% dari seluruh orang yang berprofesi sebagai pengajar di Perguruan Tinggi adalah pendidik. Mereka adalah orang yang tidak hanya memperbaiki cara berpikir mahasiswa. Fakta ini didukung oleh kenyataan bahwa hanya 2% dari seluruh mahasiswa yang menikmati kuliah di Perguruan Tinggi yang menjadi pengemudi (pemimpin), selebihnya menjadi penumpang.

 Hal serupa pun terjadi di dunia pendidikan dasar dan menengah. Hanya 2% dari seluruh guru yang benar-benar menjadi pendidik, yaitu guru kreatif yang membentuk manusia. Sekitar 3% di antarnya menjadi administrator, dan sisanya adalah “guru kurikulum” yang hanya menjalankan perintah dengan menyelesaikan kurikulum yang diwajibkan. Apa isi buku, itu yang diberikan.

Lantas ingin menjadi apakah kita? Pengemudi yang memegang kendali tetapi beresiko tinggi? Ataukah hanya penumpang yang tak memegang kendali dengan kursi duduk yang nyaman?

Penulis
Rahma Darma Anggraini,
pegiat Komunitas gapura-online.com

2 thoughts on “Pendidikan Indonesia:Mencetak ‘Pengemudi” atau ‘Penumpang’?

  1. Iwan Yuliyanto says:

    Model pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih mencari bentuk, bentuk yang senantiasa berubah. Namun yang menyedihkan adanya nuansa politis di setiap mengawali perubahannya, sehingga terkesan mentah, tidak kuat pondasinya. Dan berpotensi dirubuhkan bangunannya oleh pemimpin berikutnya.

    Saat ini, sistem pendidikan di negeri ini masih dominan mencetak lulusan berkualitas penumpang. Mestinya mencoba gebrakan baru… misalnya:
    Mahasiswa baru diakui lulus bila berhasil mencetak lapangan usaha baru. Maka atas dorongan ini, akan membuat mahasiswa dituntut kreatif sepanjang mengikuti proses belajar mengajar di kampusnya. Setinggi-tingginya IPK, kalau belum mencetak lapangan usaha baru, ya gak berhak di wisuda.

    Ini baru satu contoh kecil dari sudut pandang yang terbatas. Pada intinya, daya ungkit harus ada dalam sistem pendidikan kita. Dimana daya ungkit itu mendorong mahasiswa berinteraksi dengan masyarakat sesuai disiplin ilmunya. Interaksi harus menghasilkan karya nyata, bukan sekadar KKN.

    Like

Leave a comment