Rahasia Sang Ksatria Pena

Melimove (Media and Literacy Movement) adalah sebuah perkumpulan yang mencoba membangun generasi bangsa Indonesia yang cerdas bermedia. Melimove sudah menjelajah selama lebih dari tiga bulan untuk mendalami pemahaman kemediaan. Kali ini, Melimove berkesempatan berdiskusi dengan Ataka, Sang Ksatria Pena.

Sang Ksatria Pena

Nama lengkapnya adalah Ahmad Ataka Awwalur Rizqi. Ia sempat menimba ilmu di Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada dan kini sedang melanjutkan pendidikan di King’s College London di bidang robotika. Meskipun tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan, namun keluarga Ataka mempunyai budaya dan tradisi yang baik dalam hal kecintaan pada buku. Sejak kecil, sang ibu sering membacakan buku-buku dongeng sebagai pengantar tidur. Ketika beranjak ke masa kanak-kanak, Ataka mulai membaca komik karena sang kakek yang rutin membelikan bahan bacaan untuknya. Saat berada di kelas 4 SD, ia pertama kali berkenalan dengan serial Harry Potter-nya JK Rowling. Inilah yang kemudian menyadarkannya, bahwa membaca novel lebih mengasyikan daripada membaca komik karena ia memiliki kebebasan berimajinasi.

Menginspirasi dengan Imajinasi

Dua tahun setelah pertemuan pertamanya dengan novel, Ataka sudah memiliki banyak koleksi novel. Di antaranya adalah serial Harry Potter, The Lord of The Rings dan The Hobbit karya JRR Tolkien, karya-karya Roald Dahl dan Eva Ibbotson, serta berbagai buku anak-anak terjemahan lainnya. Di akhir masa sekolah dasar, Ataka mulai menulis. Kisah fiksi pertamanya ditulis di atas kertas buram seusai ujian kenaikan kelas. Meskipun setelahnya Ataka melanjutkan kisah-kisah itu, namun belum ada yang selesai menjadi sebuah kisah yang utuh.

Suatu hari, Ataka melakukan perjalanan bersama keluarga ke Madura. Dalam kemacetan, ia berhasil membuat sebuah jalinan cerita yang lengkap. Inilah yang menjadi cikal bakal buku pertamanya, Misteri Pedang Skinheald 1, Sang Pembuka Segel. Pada tahun 2005, novel pertama Ataka diterbitkan dengan tebal sekitar 200 halaman. Tak lama setelahnya, novel kedua berjudul Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Poter diterbitkan. Novel ber-genre detektif ini ditulis saat Ataka sedang asyik membaca serial Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Jika Anda sering membaca komik Detektif Conan (Meitantei Conan), pastilah sudah tidak asing dengan nama ini.

Di akhir masa SMP, novel ketiga Ataka terbit dengan judul Misteri Pedang Skinheald 2, Awal Petualangan Besar. Novel dengan tebal 660 halaman ini merupakan kelanjutan dari novel pertamanya. Novel ini di-launching bersama Pak Arswendo di Jakarta dan Noe Letto di Yogyakarta.

Karya-karya Ataka tidak terlepas dari motivasi di baliknya. Sederhana, Ataka sekedar ingin menuangkan imajinasi dan menjadikannya sebagai pelampiasan atas ketidakpuasan pada buku-buku bacaannya. Di sisi lain, Ataka juga mencoba menyisipkan nilai atau pesan melalui alur ceritanya dalam kisah-kisah fiksinya. Passion-nya dalam hal menulis tetap berlanjut hingga masa kuliah. Perjalanannya bersama teman-teman di Cendekia Teknika, Gadjah Mada Aerospace Team dan tim PIMNAS UGM, serta masa-masa KKN-nya menjadi ladang inspirasi baginya. Lalu, Ataka menuangkannya ke dalam tulisan dengan tema-tema seperti persahabatan, perjuangan, maupun pengabdian.

Rahasia Sang Ksatria Pena

Dalam proses menghasilkan karya di bidang menulis, Ataka menyampaikan dua hal yang dibutuhkan. Hal pertama adalah membaca. Ataka tidak pernah mengikuti kursus menulis dan tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan. Dari silsilah keturunan keluarganya, tidak ada yang pernah menerbitkan buku. Ataka justru belajar menulis dari buku-buku yang dibacanya. Di sisi lain, orangtua Ataka juga mengenalkannya kepada kawan-kawan dari komunitas sastra di Yogyakarta. Dari komunitas sastra inilah, Ataka mulai mengenal buku-buku sastra Indonesia, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, maupun NH Dini.

Ditilik dari perjalanannya dalam menghasilkan ketiga novel fiksinya, hal itu memang tak lepas dari buku-buku bacaannya yang sebagian besar memang merupakan novel fiksi. Selain itu, kawan-kawannya di komunitas sastra juga merupakan penggemar genre fiksi fantasi. Oleh karena itu, jelaslah bahwa membaca merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam menghasilkan karya di bidang menulis. Banyak membaca dan berdiskusi juga dapat membuka cakrawala pemikiran kita dan memperkaya nilai atau pesan yang akan disampaikan melalui tulisan.

Hal kedua adalah keberanian. Kita sering kali merasa “malu” saat orang lain membaca tulisan kita, apalagi jika tulisan itu adalah tulisan pertama kita. Menurut Ataka, hal semacam ini wajar terjadi. “Tetapi”, katanya, “kalau kita mencoba melihat dari perspektif lain, sebenarnya justru dengan membiarkan orang lain membaca, kita akan mendapat respons dan masukan yang membantu kita menjadi lebih baik.” Lalu Ataka berkata lagi,”Jadi, tips dan trik yang bisa saya berikan adalah mulailah membaca dan mulailah menulis.”

Berkarya untuk Keabadian

Di akhir diskusi, Ataka menyampaikan sebuah pernyataan yang dikutip dari salah satu penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Beliau berkata bahwa,”Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Lalu Ataka menjelaskan,”Hidup ini singkat. Tapi dengan menulis, suara kita akan terus bergaung sepanjang zaman. Selamat berkarya untuk keabadian.”

Penulis
Wening Mulat Asih,
Kru INSPIRE Creative Media Factory
Mahasiswi FMIPA Kimia UGM

Pendidikan Indonesia:Mencetak ‘Pengemudi” atau ‘Penumpang’?

Dalam kesaksiannya, menurut Kompas.com (4/8/12), Ryan mengalami depresi karena lebih dari setahun menganggur. Singkatnya Ryan menjadi putus asa. Padalah ia mempunyai gelar S2 dari jurusan ilmu administrasi FISIP UI. Bukankah ini cukup membanggakan? IPK (Indeks Prestasi Kumulatif)-nya saja 3,32.

 Berbicara pendidikan, juga berbicara tentang kemajuan peradaban suatu bangsa. Sayangnya, pendidikan Indonesia masih berusaha agar tak compang camping. Perubahan kurikulum, peningkatan mutu profesi guru, merupakan upaya-upaya dalam proses perbaikan pendidikan. Ketika kita melirik bagaimana proses pendidikan di negara-negara maju, iri rasanya. Beberapa para pemerhati pendidikan pun mengumpat sistem pendidikan negara kita. Ada yang mendirikan sekolah alam. Bahkan para orang tua yang sadar, akhirnya memilih menyekolahkan anaknya di rumah.

Menurut Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) No.20 Tahun 2003, pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Sisdiknas diterangkan bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Dalam realita, hal ini masih belum dapat terwujud. Beberapa peserta didik mengalami kemalasan dalam sekolah bahkan belajar. Ada juga yang merasa terkekang potensi dirinya ketika menuntun ilmu di institusi pendidikan. Mereka merasa tidak mendapat hal-hal sesuai harapan, merasa dibatasi kreativitas, atau jadi merasa salah memilih jurusan.

Lebih parah lagi adalah bagi mereka yang tidak merasa ada masalah dengan sistem pendidikan kita. Adem ayem, semboyan bagi mereka para penikmat dan penonton pendidikan. Komentar tidak, resah pun tidak. Mengalir dalam arus. Bukan tenang menghanyutkan tetapi tenang dan malah ikut hanyut terbawa arus.

Kasus Ryan, di atas, tak hanya sebatas hitungan jari. Banyak Ryan yang lain. Dalam bukunya Self Driving, Renald Kasali berkata,”Membaca berita seperti itu membuat saya miris. Sudah lama saya komplain terhadap dunia yang saya geluti. Saya komplain ketika melihat banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa semata-mata dari ujian tertulis, buku, mendapat nilai A dari kelas marketing sebelumnya, yang kini duduk di kelas saya (saya mengajar Internasional Marketing), tetapi tidak mencerminkan kualitas A yang sesungguhnya.”

Begitu pula sama halnya dengan yang saya alami. Seorang mahasiswa Pendidikan Teknik Busana mendapat nilai A pada mata kuliah Pengetahuan Busana, tetapi cara berpakaiannya tidak mencerminkan bahwa dia anak busana. Seorang mahasiswa mendapat nilai A pada mata kuliah Psikologi Pendidikan, tetapi ketika mengajar tidak bisa menerapkan teorinya ketika mendidik.

Sastrawan George Bernard Shaw menulis:”Only two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think.”

Hanya ada dua persen di antara eksekutif kita yang berpikir? Mungkin pendapat berikut ini ada benarnya. Hanya 2% dari seluruh orang yang berprofesi sebagai pengajar di Perguruan Tinggi adalah pendidik. Mereka adalah orang yang tidak hanya memperbaiki cara berpikir mahasiswa. Fakta ini didukung oleh kenyataan bahwa hanya 2% dari seluruh mahasiswa yang menikmati kuliah di Perguruan Tinggi yang menjadi pengemudi (pemimpin), selebihnya menjadi penumpang.

 Hal serupa pun terjadi di dunia pendidikan dasar dan menengah. Hanya 2% dari seluruh guru yang benar-benar menjadi pendidik, yaitu guru kreatif yang membentuk manusia. Sekitar 3% di antarnya menjadi administrator, dan sisanya adalah “guru kurikulum” yang hanya menjalankan perintah dengan menyelesaikan kurikulum yang diwajibkan. Apa isi buku, itu yang diberikan.

Lantas ingin menjadi apakah kita? Pengemudi yang memegang kendali tetapi beresiko tinggi? Ataukah hanya penumpang yang tak memegang kendali dengan kursi duduk yang nyaman?

Penulis
Rahma Darma Anggraini,
pegiat Komunitas gapura-online.com

Serangan Kepagian

Alkisah di negeri niskala, dua ksatria sedang bersilaju mencapai kursi istana. Seorang di antaranya adalah ksatria yang cendekia. Seorang lagi adalah ksatria yang pandai membual. Maka sudah dapat kita tebak kisah keduanya. Ksatria yang cendekia menginginkan kebaikan bagi rakyatnya, sedang ksatria yang pandai membual menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Namun keduanya sama-sama berikrar akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Kedua ksatria ini menempuh jalan yang berbeda untuk menuju ke istana. Jalan yang mereka tempuh sama-sama memakan waktu yang lama.Keduanya telah bersiap dengan perbekalan yang tidak sedikit. Pasukan berkuda, pasukan pemanah, pasukan pengintai, pasukan logistik, hingga pasukan penyair.

Suatu ketika, kedua ksatria itu bertemu di persimpangan jalan. Saat itu matahari sedang terik. Mereka berteduh pada pohon beringin yang saling berhadapan, yang satu berada di kiri jalan, yang satu lagi di kanan jalan. Sama seperti posisi mereka, perilaku mereka juga terlihat berlawanan.

Ksatria cendekia dan pasukannya tampak sedang berdiskusi serius. Beberapa larut dalam kitab. Beberapa asyik dengan sabak[1] dan grip[2] Di tempat yang berseberangan, ksatria pembual dan pasukannya tampak berfoya-foya. Beberapa sibuk berdendang bersama para biduan. Beberapa terlena dalam kenikmatan semu sebotol arak.

Ksatria cendekiawan tidak sengaja menabrak seseorang ketika berjalan menikmati pemandangan. Rupanya orang yang ia tabrak adalah seorang pasukan penyairdari pasukan ksatria pembual. Tanpa sadar ksatria cendekiawan mendekati kemah pasukan ksatria pembual.

“Penyusup! Ada penyusup!” teriak si penyair. Suaranya memecah keramaian di kamp pasukan ksatria pembual.

“Mengapa engkau mengatakan apa yang masih menjadi dugaan? Dari mana kau tahu bahwa aku seorang penyusup?”

“Sudah tidak perlu pembuktian lagi. Pakaianmu mewakili dari mana asalmu. Engkau berbeda dengan kami, maka kau musuh kami. Seorang musuh berada di kamp lawannya berarti dia penyusup!”

“Kesimpulanmu terlalu dini. Tidak tahukah kau siapa diriku?”

“Engkau adalah musuh!”

Tersengat api kecurigaan dan ketakutan, si penyair menghunus pedangnya. Ia abai terhadap aturan bahwa seorang penyair di negerinya hanya boleh menyerang musuh dengan kata-kata. Pedang yang ia bawa ke mana-mana hanya boleh digunakan ketika ia diserang, bukan untuk menyerang.

Membela diri, ksatria cendekiawan hanya menangkis setiap sabetan pedang penyair yang mengarah kepadanya. Tanpa dikomando, pasukan-pasukan yang lain segera berkerumun di antara keduanya. Setiap mata yang ada di sana menyaksikan adu pedang antara penyair dan ksatria cendekiawan. Bisik-bisik terdengar. Tentang penyair yang menghunus pedang.

Kelihaian ksatria cendekiawan dalam menggunakan pedang jelas lebih lincah dari si penyair. Maka dalam suatu kondisi, si penyair akhirnya kelelahan. Ia terpeleset jatuh ke dalam sungai saat membabi-buta menyerang ksatria cendekiawan. Malang, kepalanya terantuk batu sungai. Nyawanya mengalir dengan cepat ke alam baka seperti derasnya aliran sungai tempat tubuhnya terjatuh.

Ksatria pembual datang menyibak kerumunan para pasukan. Ia ingin menyalahkan ksatria cendekiawan atas kematian seorang penyairnya, namun terlalu banyak mata yang menjadi saksi. Kejadian itu adalah kesalahan si penyair. Ia bertarung dengan lawan yang lebih tangguh darinya dengan alasan yang masih menjadi praduga.

“Engkau tahu aku tidak bersalah. Aku turut berduka atas kematian penyairmu.”

Ksatria pembual sama sekali tidak membalas perkataan ksatria cendekiawan. Raut mukanya memendam amarah yang kemudian ia pupuk menjadi dendam. Ia lalu berbalik meninggalkan arena. Meskipun ia mengutuk tindakan bodoh si penyair, tetapi ia sadar kehilangan seorang penyair setara dengan kehilangan seribu pasukan pedang. Kata-kata seorang penyair jauh lebih tajam dari sebuah pedang. Dalam hati, ksatria pembual membuat perhitungan dengan ksatria cendekiawan.

Perjalanan menuju istana berlanjut. Dendam kesumat ksatria pembual terhadap ksatria cendekiawan membuatnya buta hati. Ia benar-benar tidak peduli dengan rakyat, meskipun mulutnya berbusa menawarkan janji manis untuk rakyat. Ia jalin hubungan baik dengan negeri-negeri tetangga yang bermuka dua. Negeri-negeri yang sejak dulu mengintai negerinya. Negeri-negeri yang hendak merampok negerinya. Negeri-negeri yang adidaya. Semuanya agar mereka mendukung dan memuluskan jalannya menuju istana.

Benar saja. Ksatria pembual akhirnya mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa basa-basi, ia segera mengeluarkan kebijakan negara. Seluruh penyair yang mengabdi pada ksatria pembual dilarang bersyair. Sabak dan grib mereka disita. Mereka tidak diijinkan mengikuti sayembara syair tahunan. Mati sudah. Mati para penyair yang melantunkan syair kebenaran.

Sudah sejak lama ksatria cendekiawan tahu dari para mahaguru bahwa kekuasaan akan memberikan kekuatan bagi siapapun yang mendapatkannya. Hari itu, hari ketika para penyairnya diadili tanpa sidang, akhirnya ia membuktikannya sendiri. Dia yang punya kekuasaan akan bertambah mengerikan jika dalam dirinya terdapat kekhawatiran. Khawatir terhadap musuh yang selama ini menghalangi jalannya menuju tahta kekuasaan. Maka jangan heran jika dia melancarkan serangan kepagian, yaitu serangan yang tiba-tiba, tanpa alasan, dan dilakukan tidak lama setelah ia duduk di singgasananya. Semua itu dia lakukan untuk mempertahankan kekuasaannya.

[1] Batu tulis yang dahulu digunakan sebagai buku. Pelajar Indonesia zaman kolonial menggunakan benda ini sebagai alat tulis mereka.

[2]Pasangan dari sabak. Sabak dan grip adalah dua benda yang tidak dapat dipisahkan. Grip berperan sebagai bolpoin. Grip juga menjadi asal-usul istilah doosgrip, yaitu wadah yang digunakan sebagai tempat pensil.

Penulis
Henny Alifah,
Anggota FLP Wilayah Yogyakarta

Membangkitkan Kejayaan Pers Islam (Bagian 2)

Penggerak lembaga dakwah kampus mulai memikirkan pemanfaatan media sebagai sarana pencerdasan keislaman ke masyarakat maupun sekadar untuk menunjukkan eksistensinya. Kemajuan teknologi informasi menuntut aktivis dakwah kampus dapat menyesuaikan diri dengan medan dakwah yang baru. Munculnya Facebook, Twitter, Instagram, Line, WordPress, WhatsApp, dan lain sebagainya, seakan menggiring mereka untuk memiliki akun di masing-masing media sosial tersebut. Secara perlahan, optimalisasi dakwah media suatu lembaga dakwah kampus dinilai dari kuantitas publikasinya di media sosial. Di sisi lain, kuantitas media cetak dari lembaga dakwah kampus semakin berkurang.

Kaderisasi Aktivis Dakwah Media

Perkembangan suatu organisasi tidak luput dari peran kaderisasi. Ada beberapa poin yang hendaknya diperhatikan dalam kaderisasi aktivis dakwah media. Pertama, lembaga dakwah kampus tidak hanya merekrut orang-orang yang memiliki passion yang dapat mendukung bidang kemediaan, seperti desain grafis, kepenulisan, ataupun fotografi. Lembaga dakwah kampus juga harus membina mereka sesuai passion-nya dan membekali mereka dengan strategi bermedia.

Pembinaan sesuai passion dapat meningkatkan profesionalitas aktivis dakwah media dalam berkarya. Adapun membekali mereka dengan strategi bermedia berarti melatih mereka agar menghadirkan jiwa dalam karyanya. Sebuah artikel dapat ditulis dengan gaya bahasa yang begitu indah, namun sejauh mana pembaca dapat menggali pemikiran penulis juga merupakan sesuatu yang penting. Urgensi pembekalan tentang strategi bermedia juga dapat menguatkan aktivis dakwah media dalam menghadapi derasnya arus informasi, baik itu dalam memilah sumber informasi, meng-counter isu maupun sebagai opinion leader. Jika lembaga dakwah kampus belum dapat memfasilitasi kedua hal ini secara maksimal, maka arahkanlah aktivis dakwah media agar mencari ilmu yang dibutuhkannya.

Kedua, memfokuskan aktivis dakwah media dalam mengelola sebuah media. Sedikitnya SDM pada sebuah bidang, tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menarik aktivis dakwah media dari bidangnya dan membuat mereka mengurusi bidang lain yang kekurangan SDM tersebut. Jika aktivis media ditarik dari medannya, ia akan menelantarkan media yang dikelolanya. Ada satu hal yang perlu dipahami dalam prinsip kaderisasi, yaitu mengoptimalkan peran aktivis dakwah dalam berkarya sesuai dengan kompetensinya. Dalam hal ini, diperlukan kepercayaan bahwa setiap orang terlahir untuk menjawab permasalahan sesuai zamannya.

Optimalisasi Media Lembaga

Optimalisasi media lembaga dapat ditentukan dari hasil evaluasi bidang kaderisasi. Dengan melihat passion yang dominan di kalangan aktivis dakwah media, selanjutnya dapat ditentukan bentuk media yang dapat digunakan. Misalnya, evaluasi kaderisasi suatu lembaga dakwah kampus menunjukkan bahwa passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan bidang kepenulisan. Selanjutnya, lembaga dakwah kampus ini dapat mengoptimalkan dakwah medianya melalui buletin, Twitter, maupun mengaktivasi sebuah website.  Jika passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan pada bidang desain grafis atau fotografi, maka pengadaan pameran poster atau fotografi, mengaktivasi akun Facebook, Instagram, maupun Line dapat menjadi pilihannya dalam mengoptimalkan dakwah media.

Di sisi lain, peningkatan kualitas dan kuantitas konten yang dipublikasikan juga menjadi hal yang penting. Dalam hal ini, peningkatan kualitas konten menjadi poin yang perlu diprioritaskan karena berperan dalam membangun kepercayaan audience terhadap media yang dimiliki oleh suatu lembaga dakwah kampus. Adanya jadwal publikasi dapat mendukung aktivis dakwah media dalam mempersiapkan konten yang berkualitas. Sedangkan kuantitas konten dapat meningkat seiring dengan jam terbang aktivis dakwah media dalam berkarya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah harmonisasi gerak dalam dakwah media. Aktivis dakwah media hendaklah memposisikan dirinya sebagai suatu kesatuan umat Islam. Jika mereka melihat kelemahan suatu media Islam, maka mereka akan melengkapinya. Cita-cita sebagai pendobrak media mainstream yang semakin jauh dari nilai Islam perlu dijadikan tujuan bersama, bukan sekadar mementingkan masing-masing golongan. Peran aktivis dakwah media adalah menghadirkan media Islam sebagai problem solver atas kebimbangan masyarakat dalam memilih sumber terpercaya di tengah derasnya arus informasi.

Penulis
Wening Mulat Asih
Anggota Lembaga Dakwah Jama’ah Shalahuddin UGM yang aktif dalam Komisi Ke-LDK-an Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja periode 2013-2015

Bagian 1 dapat dilihat disini

(Review) Film Filosopi Kopi

Judul : Filosofi Kopi

Cast : Chicco Jerikho (Ben), Rio Dewanto (Jody), Julie Estelle (El)

Sutradara : Angga  Sasongko

Script writer : Jenny Jusuf

“Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”(Dee Lestari dalam bukunya “Filosofi Kopi”)

Filosofi Kopi adalah salah satu cerpen milik Dewi “Dee” Lestari yang dibukukan dengan judul buku yang sama.

Sinopsis

Ben, seorang barista kafe yang dia beri nama “Filosofi Kopi” yang menyuguhkan berbagai macam kopi dengan filosofi masing-masing. Ben barista lumayan idealis karena dia menolak adanya wifi di kafe dan sangat memperhatikan kualitas kopi yang dijualnya. Hal ini berbeda dengan Jody. Sebagai manajer kafe yang dibebani utang 800 juta peninggalan ayahnya, Jody berperan sebagai Paman Gober. Si bebek tua yang pelit dan cermat. Filosofi Kopi berkembang dan terkenal karena keunikannya dalam menyajikan kopi. Ada filosofi yang diberikan pada setiap kopi yang disuguhkan.

Di saat yang genting, datang seorang pengusaha kaya yang menantang Ben untuk membuat kopi paling enak dan akan menentukan kelanjutan tendernya. Dia menjanjikan 100 juta untuk Ben. Ben menyanggupi dengan syarat bukan 100 juta tetapi 1 milyar! Jika kalah? Ben yang akan membayar 1 milyar kepada orang tersebut.

“Gue nggak pernah bercanda soal kopi.” (Ben)

Ben membutuhkan waktu dua pekan untuk meracik kopi blend dengan berbagai macam kopi yang dikumpulkan. Setelah berhasil, ia menjual kopi yang dinamai “Ben’s Perfecto” di kafenya. Kemudian datanglah El, seorang Q-Grader (pencicip cita rasa kopi) bersertifikasi internasional yang mewawancarai Jody untuk Ben’s Perfecto. El mengatakan rasa Ben’s Perfecto enak, bukan paling enak. Menurut El, kopi yang paling enak adalah kopi tiwus. Saat itulah Ben meradang karena tidak terima masterpiece-nya direndahkan. Lalu pencarian kopi tiwus pun dimulai dan menghadirkan polemik serta kenangan masa lalu.

Filosofi Cappuccino: Keseimbangan dan keindahan adalah syarat mutlak keberhasilan. (Kartu Filosofi Kopi Cappuccino)

Review

Pendalaman karakter Ben dan Jody sangat bagus. Persahabatan mereka seperti nyata! Two thumbs up untuk Jenny Jusuf dalam menuliskan script-nya. Dialog mereka lancar alami, seperti tidak dibuat-buat. Bagaimana mungkin mereka berselisih paham pada setiap diskusi, namun ternyata benar-benar saling memahami? Lewat tatapan mata saja, Anda bakal mengetahui perhatian mereka, satu sama lain. Entah bagaimana Angga Sasongko mengarahkan adegan-adegan tersebut, sehingga tidak terasa canggung sama sekali. Dari segi latar tempat, landskap perkebunan kopi nya sangat pas dan nyata. Alur flashback dari kisah ini semakin terasa saat terkuaknya masa lalu dari tiap tokohnya.

“Filosofi Macchiato: Sendirian atau berdampingan hidup sepatutnya tetap penuh arti.(Kartu Filosofi Kopi Macchiato)

Secara umum, saya kagum dengan bagaimana Jenny mengeksplorasi cerita pendek sehingga menjadi sebuah film berdurasi nyaris dua jam ini. Detail adegannya tidak terasa kaku dan memperkaya suasana. Di sisi lain, walaupun film ini didukung oleh brand kopi terkenal, tetapi kemunculan logonya tidak memaksa dan cukup unik. Melalui Filosofi Kopi, Anda akan diajak untuk menyelami pengaruh biji kopi terhadap karakter dan kehidupan seseorang. Yang terjadi dengan Ben di masa lalu, telah membuatnya mendedikasikan hidup untuk kopi.

Filosofi Kopi juga sedikit menyinggung tentang “ambisi” dan “cinta”. Dua hal tersebut akan sangat berbeda pengaruhnya ketika diimplementasikan dalam pekerjaan yang kita lakukan, seperti yang dialami Ben dan Pak Seno. Implikasinya adalah bagaimana penerimaan kita terhadap kegagalan atas pekerjaan kita.

“Filosofi Kopi Tubruk: Kenali lebih dalam dan terpukaulah oleh lugunya sebuah pesona”. (Kartu Filosofi Kopi Tubruk) 

Namun, tak ada gading yang tak retak

Saya memiliki beberapa catatan mengenai film ini juga. Pertama, sebuah detail kecil namun sangat mengganggu, yaitu sosok Ben yang perokok aktif. Setahu saya, pecinta kopi apalagi barista, tidak akan merokok se-addict itu. Sebab, lidahnya akan terpapar tembakau dan kemampuannya untuk merasakan aroma dan cita rasa kopi akan menurun. Selain itu, kopi sangat sensitif terhadap bau. Kopi akan terpapar bau rokok, sehingga rasa kopi tersebut akan berbeda dengan yang natural. Saya kurang mengetahui apa motif Angga Sasongko dengan adegan rokok berkali-kali ini.

Kedua, peran El sebagai Q-Grader hendaknya bisa menjelaskan, mengapa tiwus disebut kopi terbaik? Sebagian besar penonton mungkin tidak mengetahui rasa tiwus. Melalui penjelasan seorang Q-Grader, sebenarnya penonton akan dapat membayangkan kenikmatan kopi tiwus. Namun latar belakang El sebagai Q-Grader malah kurang terasa. Seperti apa rasa kopi tiwus? Apakah harum dan gurih seperti kopi Aceh Gayo? Atau earthy dan asam seperti kopi Toraja? Ataukah sedikit fruity seperti kopi Flores Bajawa? Agaknya kopi tiwus masih menjadi misteri.

“Filosofi Tiwus: Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya. (Kartu Filosofi Kopi Tiwus)

Meskipun begitu, saya menyarakankan Anda menonton film ini. Kita dapat mengambil perspektif yang sangat berbeda dengan film lain di Indonesia. Karena kopi sebagai komoditas Indonesia terbesar ketiga sedunia, malah kurang diperhatikan kualitas dan pengolahannya dari hulu ke hilir.

Oleh :
Luthfi Izzaty
Mahasiswa Teknik Geodesi UGM, pecinta kopi specialty, penulis, blogger, penyuka segala jenis musik.