Rahasia Sang Ksatria Pena

Melimove (Media and Literacy Movement) adalah sebuah perkumpulan yang mencoba membangun generasi bangsa Indonesia yang cerdas bermedia. Melimove sudah menjelajah selama lebih dari tiga bulan untuk mendalami pemahaman kemediaan. Kali ini, Melimove berkesempatan berdiskusi dengan Ataka, Sang Ksatria Pena.

Sang Ksatria Pena

Nama lengkapnya adalah Ahmad Ataka Awwalur Rizqi. Ia sempat menimba ilmu di Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada dan kini sedang melanjutkan pendidikan di King’s College London di bidang robotika. Meskipun tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan, namun keluarga Ataka mempunyai budaya dan tradisi yang baik dalam hal kecintaan pada buku. Sejak kecil, sang ibu sering membacakan buku-buku dongeng sebagai pengantar tidur. Ketika beranjak ke masa kanak-kanak, Ataka mulai membaca komik karena sang kakek yang rutin membelikan bahan bacaan untuknya. Saat berada di kelas 4 SD, ia pertama kali berkenalan dengan serial Harry Potter-nya JK Rowling. Inilah yang kemudian menyadarkannya, bahwa membaca novel lebih mengasyikan daripada membaca komik karena ia memiliki kebebasan berimajinasi.

Menginspirasi dengan Imajinasi

Dua tahun setelah pertemuan pertamanya dengan novel, Ataka sudah memiliki banyak koleksi novel. Di antaranya adalah serial Harry Potter, The Lord of The Rings dan The Hobbit karya JRR Tolkien, karya-karya Roald Dahl dan Eva Ibbotson, serta berbagai buku anak-anak terjemahan lainnya. Di akhir masa sekolah dasar, Ataka mulai menulis. Kisah fiksi pertamanya ditulis di atas kertas buram seusai ujian kenaikan kelas. Meskipun setelahnya Ataka melanjutkan kisah-kisah itu, namun belum ada yang selesai menjadi sebuah kisah yang utuh.

Suatu hari, Ataka melakukan perjalanan bersama keluarga ke Madura. Dalam kemacetan, ia berhasil membuat sebuah jalinan cerita yang lengkap. Inilah yang menjadi cikal bakal buku pertamanya, Misteri Pedang Skinheald 1, Sang Pembuka Segel. Pada tahun 2005, novel pertama Ataka diterbitkan dengan tebal sekitar 200 halaman. Tak lama setelahnya, novel kedua berjudul Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Poter diterbitkan. Novel ber-genre detektif ini ditulis saat Ataka sedang asyik membaca serial Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Jika Anda sering membaca komik Detektif Conan (Meitantei Conan), pastilah sudah tidak asing dengan nama ini.

Di akhir masa SMP, novel ketiga Ataka terbit dengan judul Misteri Pedang Skinheald 2, Awal Petualangan Besar. Novel dengan tebal 660 halaman ini merupakan kelanjutan dari novel pertamanya. Novel ini di-launching bersama Pak Arswendo di Jakarta dan Noe Letto di Yogyakarta.

Karya-karya Ataka tidak terlepas dari motivasi di baliknya. Sederhana, Ataka sekedar ingin menuangkan imajinasi dan menjadikannya sebagai pelampiasan atas ketidakpuasan pada buku-buku bacaannya. Di sisi lain, Ataka juga mencoba menyisipkan nilai atau pesan melalui alur ceritanya dalam kisah-kisah fiksinya. Passion-nya dalam hal menulis tetap berlanjut hingga masa kuliah. Perjalanannya bersama teman-teman di Cendekia Teknika, Gadjah Mada Aerospace Team dan tim PIMNAS UGM, serta masa-masa KKN-nya menjadi ladang inspirasi baginya. Lalu, Ataka menuangkannya ke dalam tulisan dengan tema-tema seperti persahabatan, perjuangan, maupun pengabdian.

Rahasia Sang Ksatria Pena

Dalam proses menghasilkan karya di bidang menulis, Ataka menyampaikan dua hal yang dibutuhkan. Hal pertama adalah membaca. Ataka tidak pernah mengikuti kursus menulis dan tidak dibesarkan dalam lingkungan sastrawan. Dari silsilah keturunan keluarganya, tidak ada yang pernah menerbitkan buku. Ataka justru belajar menulis dari buku-buku yang dibacanya. Di sisi lain, orangtua Ataka juga mengenalkannya kepada kawan-kawan dari komunitas sastra di Yogyakarta. Dari komunitas sastra inilah, Ataka mulai mengenal buku-buku sastra Indonesia, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, maupun NH Dini.

Ditilik dari perjalanannya dalam menghasilkan ketiga novel fiksinya, hal itu memang tak lepas dari buku-buku bacaannya yang sebagian besar memang merupakan novel fiksi. Selain itu, kawan-kawannya di komunitas sastra juga merupakan penggemar genre fiksi fantasi. Oleh karena itu, jelaslah bahwa membaca merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam menghasilkan karya di bidang menulis. Banyak membaca dan berdiskusi juga dapat membuka cakrawala pemikiran kita dan memperkaya nilai atau pesan yang akan disampaikan melalui tulisan.

Hal kedua adalah keberanian. Kita sering kali merasa “malu” saat orang lain membaca tulisan kita, apalagi jika tulisan itu adalah tulisan pertama kita. Menurut Ataka, hal semacam ini wajar terjadi. “Tetapi”, katanya, “kalau kita mencoba melihat dari perspektif lain, sebenarnya justru dengan membiarkan orang lain membaca, kita akan mendapat respons dan masukan yang membantu kita menjadi lebih baik.” Lalu Ataka berkata lagi,”Jadi, tips dan trik yang bisa saya berikan adalah mulailah membaca dan mulailah menulis.”

Berkarya untuk Keabadian

Di akhir diskusi, Ataka menyampaikan sebuah pernyataan yang dikutip dari salah satu penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Beliau berkata bahwa,”Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Lalu Ataka menjelaskan,”Hidup ini singkat. Tapi dengan menulis, suara kita akan terus bergaung sepanjang zaman. Selamat berkarya untuk keabadian.”

Penulis
Wening Mulat Asih,
Kru INSPIRE Creative Media Factory
Mahasiswi FMIPA Kimia UGM

4 thoughts on “Rahasia Sang Ksatria Pena

Leave a comment