Pendidikan Indonesia:Mencetak ‘Pengemudi” atau ‘Penumpang’?

Dalam kesaksiannya, menurut Kompas.com (4/8/12), Ryan mengalami depresi karena lebih dari setahun menganggur. Singkatnya Ryan menjadi putus asa. Padalah ia mempunyai gelar S2 dari jurusan ilmu administrasi FISIP UI. Bukankah ini cukup membanggakan? IPK (Indeks Prestasi Kumulatif)-nya saja 3,32.

 Berbicara pendidikan, juga berbicara tentang kemajuan peradaban suatu bangsa. Sayangnya, pendidikan Indonesia masih berusaha agar tak compang camping. Perubahan kurikulum, peningkatan mutu profesi guru, merupakan upaya-upaya dalam proses perbaikan pendidikan. Ketika kita melirik bagaimana proses pendidikan di negara-negara maju, iri rasanya. Beberapa para pemerhati pendidikan pun mengumpat sistem pendidikan negara kita. Ada yang mendirikan sekolah alam. Bahkan para orang tua yang sadar, akhirnya memilih menyekolahkan anaknya di rumah.

Menurut Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) No.20 Tahun 2003, pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Sisdiknas diterangkan bahwa pendidikan adalah proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Dalam realita, hal ini masih belum dapat terwujud. Beberapa peserta didik mengalami kemalasan dalam sekolah bahkan belajar. Ada juga yang merasa terkekang potensi dirinya ketika menuntun ilmu di institusi pendidikan. Mereka merasa tidak mendapat hal-hal sesuai harapan, merasa dibatasi kreativitas, atau jadi merasa salah memilih jurusan.

Lebih parah lagi adalah bagi mereka yang tidak merasa ada masalah dengan sistem pendidikan kita. Adem ayem, semboyan bagi mereka para penikmat dan penonton pendidikan. Komentar tidak, resah pun tidak. Mengalir dalam arus. Bukan tenang menghanyutkan tetapi tenang dan malah ikut hanyut terbawa arus.

Kasus Ryan, di atas, tak hanya sebatas hitungan jari. Banyak Ryan yang lain. Dalam bukunya Self Driving, Renald Kasali berkata,”Membaca berita seperti itu membuat saya miris. Sudah lama saya komplain terhadap dunia yang saya geluti. Saya komplain ketika melihat banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa semata-mata dari ujian tertulis, buku, mendapat nilai A dari kelas marketing sebelumnya, yang kini duduk di kelas saya (saya mengajar Internasional Marketing), tetapi tidak mencerminkan kualitas A yang sesungguhnya.”

Begitu pula sama halnya dengan yang saya alami. Seorang mahasiswa Pendidikan Teknik Busana mendapat nilai A pada mata kuliah Pengetahuan Busana, tetapi cara berpakaiannya tidak mencerminkan bahwa dia anak busana. Seorang mahasiswa mendapat nilai A pada mata kuliah Psikologi Pendidikan, tetapi ketika mengajar tidak bisa menerapkan teorinya ketika mendidik.

Sastrawan George Bernard Shaw menulis:”Only two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think.”

Hanya ada dua persen di antara eksekutif kita yang berpikir? Mungkin pendapat berikut ini ada benarnya. Hanya 2% dari seluruh orang yang berprofesi sebagai pengajar di Perguruan Tinggi adalah pendidik. Mereka adalah orang yang tidak hanya memperbaiki cara berpikir mahasiswa. Fakta ini didukung oleh kenyataan bahwa hanya 2% dari seluruh mahasiswa yang menikmati kuliah di Perguruan Tinggi yang menjadi pengemudi (pemimpin), selebihnya menjadi penumpang.

 Hal serupa pun terjadi di dunia pendidikan dasar dan menengah. Hanya 2% dari seluruh guru yang benar-benar menjadi pendidik, yaitu guru kreatif yang membentuk manusia. Sekitar 3% di antarnya menjadi administrator, dan sisanya adalah “guru kurikulum” yang hanya menjalankan perintah dengan menyelesaikan kurikulum yang diwajibkan. Apa isi buku, itu yang diberikan.

Lantas ingin menjadi apakah kita? Pengemudi yang memegang kendali tetapi beresiko tinggi? Ataukah hanya penumpang yang tak memegang kendali dengan kursi duduk yang nyaman?

Penulis
Rahma Darma Anggraini,
pegiat Komunitas gapura-online.com

Serangan Kepagian

Alkisah di negeri niskala, dua ksatria sedang bersilaju mencapai kursi istana. Seorang di antaranya adalah ksatria yang cendekia. Seorang lagi adalah ksatria yang pandai membual. Maka sudah dapat kita tebak kisah keduanya. Ksatria yang cendekia menginginkan kebaikan bagi rakyatnya, sedang ksatria yang pandai membual menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Namun keduanya sama-sama berikrar akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Kedua ksatria ini menempuh jalan yang berbeda untuk menuju ke istana. Jalan yang mereka tempuh sama-sama memakan waktu yang lama.Keduanya telah bersiap dengan perbekalan yang tidak sedikit. Pasukan berkuda, pasukan pemanah, pasukan pengintai, pasukan logistik, hingga pasukan penyair.

Suatu ketika, kedua ksatria itu bertemu di persimpangan jalan. Saat itu matahari sedang terik. Mereka berteduh pada pohon beringin yang saling berhadapan, yang satu berada di kiri jalan, yang satu lagi di kanan jalan. Sama seperti posisi mereka, perilaku mereka juga terlihat berlawanan.

Ksatria cendekia dan pasukannya tampak sedang berdiskusi serius. Beberapa larut dalam kitab. Beberapa asyik dengan sabak[1] dan grip[2] Di tempat yang berseberangan, ksatria pembual dan pasukannya tampak berfoya-foya. Beberapa sibuk berdendang bersama para biduan. Beberapa terlena dalam kenikmatan semu sebotol arak.

Ksatria cendekiawan tidak sengaja menabrak seseorang ketika berjalan menikmati pemandangan. Rupanya orang yang ia tabrak adalah seorang pasukan penyairdari pasukan ksatria pembual. Tanpa sadar ksatria cendekiawan mendekati kemah pasukan ksatria pembual.

“Penyusup! Ada penyusup!” teriak si penyair. Suaranya memecah keramaian di kamp pasukan ksatria pembual.

“Mengapa engkau mengatakan apa yang masih menjadi dugaan? Dari mana kau tahu bahwa aku seorang penyusup?”

“Sudah tidak perlu pembuktian lagi. Pakaianmu mewakili dari mana asalmu. Engkau berbeda dengan kami, maka kau musuh kami. Seorang musuh berada di kamp lawannya berarti dia penyusup!”

“Kesimpulanmu terlalu dini. Tidak tahukah kau siapa diriku?”

“Engkau adalah musuh!”

Tersengat api kecurigaan dan ketakutan, si penyair menghunus pedangnya. Ia abai terhadap aturan bahwa seorang penyair di negerinya hanya boleh menyerang musuh dengan kata-kata. Pedang yang ia bawa ke mana-mana hanya boleh digunakan ketika ia diserang, bukan untuk menyerang.

Membela diri, ksatria cendekiawan hanya menangkis setiap sabetan pedang penyair yang mengarah kepadanya. Tanpa dikomando, pasukan-pasukan yang lain segera berkerumun di antara keduanya. Setiap mata yang ada di sana menyaksikan adu pedang antara penyair dan ksatria cendekiawan. Bisik-bisik terdengar. Tentang penyair yang menghunus pedang.

Kelihaian ksatria cendekiawan dalam menggunakan pedang jelas lebih lincah dari si penyair. Maka dalam suatu kondisi, si penyair akhirnya kelelahan. Ia terpeleset jatuh ke dalam sungai saat membabi-buta menyerang ksatria cendekiawan. Malang, kepalanya terantuk batu sungai. Nyawanya mengalir dengan cepat ke alam baka seperti derasnya aliran sungai tempat tubuhnya terjatuh.

Ksatria pembual datang menyibak kerumunan para pasukan. Ia ingin menyalahkan ksatria cendekiawan atas kematian seorang penyairnya, namun terlalu banyak mata yang menjadi saksi. Kejadian itu adalah kesalahan si penyair. Ia bertarung dengan lawan yang lebih tangguh darinya dengan alasan yang masih menjadi praduga.

“Engkau tahu aku tidak bersalah. Aku turut berduka atas kematian penyairmu.”

Ksatria pembual sama sekali tidak membalas perkataan ksatria cendekiawan. Raut mukanya memendam amarah yang kemudian ia pupuk menjadi dendam. Ia lalu berbalik meninggalkan arena. Meskipun ia mengutuk tindakan bodoh si penyair, tetapi ia sadar kehilangan seorang penyair setara dengan kehilangan seribu pasukan pedang. Kata-kata seorang penyair jauh lebih tajam dari sebuah pedang. Dalam hati, ksatria pembual membuat perhitungan dengan ksatria cendekiawan.

Perjalanan menuju istana berlanjut. Dendam kesumat ksatria pembual terhadap ksatria cendekiawan membuatnya buta hati. Ia benar-benar tidak peduli dengan rakyat, meskipun mulutnya berbusa menawarkan janji manis untuk rakyat. Ia jalin hubungan baik dengan negeri-negeri tetangga yang bermuka dua. Negeri-negeri yang sejak dulu mengintai negerinya. Negeri-negeri yang hendak merampok negerinya. Negeri-negeri yang adidaya. Semuanya agar mereka mendukung dan memuluskan jalannya menuju istana.

Benar saja. Ksatria pembual akhirnya mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa basa-basi, ia segera mengeluarkan kebijakan negara. Seluruh penyair yang mengabdi pada ksatria pembual dilarang bersyair. Sabak dan grib mereka disita. Mereka tidak diijinkan mengikuti sayembara syair tahunan. Mati sudah. Mati para penyair yang melantunkan syair kebenaran.

Sudah sejak lama ksatria cendekiawan tahu dari para mahaguru bahwa kekuasaan akan memberikan kekuatan bagi siapapun yang mendapatkannya. Hari itu, hari ketika para penyairnya diadili tanpa sidang, akhirnya ia membuktikannya sendiri. Dia yang punya kekuasaan akan bertambah mengerikan jika dalam dirinya terdapat kekhawatiran. Khawatir terhadap musuh yang selama ini menghalangi jalannya menuju tahta kekuasaan. Maka jangan heran jika dia melancarkan serangan kepagian, yaitu serangan yang tiba-tiba, tanpa alasan, dan dilakukan tidak lama setelah ia duduk di singgasananya. Semua itu dia lakukan untuk mempertahankan kekuasaannya.

[1] Batu tulis yang dahulu digunakan sebagai buku. Pelajar Indonesia zaman kolonial menggunakan benda ini sebagai alat tulis mereka.

[2]Pasangan dari sabak. Sabak dan grip adalah dua benda yang tidak dapat dipisahkan. Grip berperan sebagai bolpoin. Grip juga menjadi asal-usul istilah doosgrip, yaitu wadah yang digunakan sebagai tempat pensil.

Penulis
Henny Alifah,
Anggota FLP Wilayah Yogyakarta

Inspirasi

Tak ada satu pun makhluk hidup di dunia ini yang tidak membutuhkan air. Kalimat itu selalu diulang oleh guruku dalam kelas, setiap hari. Kalimat yang tak bosan diulang-ulang dalam pelajaran yang baru dikenalkan beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2020, pelajaran pendidikan hutan dan lingkungan. Entah apa yang menyebabkan mata pelajaran ini muncul. Aku pun tak tahu. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 1 SD. Meski begitu, aku bersyukur karena sekarang tampaknya sudah tidak ada lagi produsen kertas yang menebang pohon untuk keperluan bahan bakunya. Aku pun tak tahu apa penggantinya, untuk apa aku memikirkannya? Lebih baik aku fokus pada persiapan ujian masuk perguruan tinggi yang tinggal beberapa bulan lagi.

“Mas, kalau ada virus seperti ini bagaimana caranya ya?” lamunanku dibuyarkan Bimo, adikku satu-satunya yang duduk di kelas 5 SD. Dia menyodorkan tablet super hybrid-nya, dibingungkan dengan gangguan kecil virus yang sering menjangkiti gadget produksi lima tahun lalu. Wajarlah, kami dari keluarga yang kurang begitu mampu, hanya bisa mendapatkan piranti bekas dan itu pun sudah tertinggal cukup jauh dari barang keluaran terbaru yang sistem operasinya diberi nama“gulali” produksi dalam negeri.

“Sini coba tak lihat! Halah, ini memang kelemahan produk Korea.” sembari menyentuh beberapa kali bagian layarnya, kulihat di kanan dan kiri, ketemu sumber virusnya, dan selesai.

“Makasih ya, Mas….” Bimo spontan tersenyum lalu pergi begitu saja meninggalkanku.

Dunia begitu cepat berubah dan aku masih baru akan mengawali langkahku dalam dunia kuliah. Akan jadi seperti apa kelak? Apakah akan menjadi pohon yang hadirnya sangat dibutuhkan manusia sekarang? Entahlah.Pohon kini begitu berharga, pemanasan global kian menggila. Pun dengan mata pelajaran pendidikan hutan dan lingkungan yang sudah kuterima selama hampir satu dekade ini tak juga memberikan pengaruh nyata. Adapun yang nyata kurasakan sekarang adalah konflik terjadi dimana-mana. Kebijakan yang diambil pemerintah manapun semua fokus pada masalah hutan dan lingkungan. Ehmm… benar kiranya dari serentetan sejarah kepemimpinan di Indonesia, masa pemerintahan Presiden Muhariyadi-lah yang paling fenomenal memberikan perubahan. Sayangnya itu perubahan yang buruk.

Le.. cepet makan! Sudah malam, dari tadi kamu belum makan to? Belajarnya dilanjut lagi nanti!” Sekarang giliran abah yang membuyarkan kecamuk pikiranku.

Nggih, Bah….” Kulihat Abah tengah asik membuka tablet lawasnya. Barang kuno itu masih setia menemani Abah menghilangkan penatnya untuk sekedar bermain Angry Bird.

Kuambil tempe goreng khas buatan ibu, ditemani dengan sambel pecel dan kelem[1]bayam. Kulirik Bimo tengah asik mengerjakan tugas sekolahnya di depan tablet-nya. Ah, dunia benar-benar sudah berubah. Lalu bagaimana caranya aku menemukan satu hal  yang tidak akan pernah berubah di dunia ini? Mana mungkin pertanyaan guruku sesimpel aku menjawab bahwa oksigen dan air lah yang tak akan pernah berubah? Sudahlah.. makanan ini terlalu enak untuk dinikmati bersama kecamuk pikiran tugas sekolah.

“Angga..! Angga..! Metuo[2]!” terdengar serombongan orang berteriak memanggil nama Abah. Huft.. kapan aku bisa tenang bersama keluargaku!, aku menggerutu dalam hati. Sudah semacam jadi hal yang rutin tiap pekan sekali ada sekelompok orang datang ke rumah, menuntut ini dan itu. Semuanya tak lepas dari permasalahan air. Mulai dari ijin mengambil air, ijin melewati kawasan lindung, pipa air warga yang bocor, hingga rasa tidak puas atas sekian pelayanan yang telah diberikan Abah dalam tiap kinerjanya. Jika melihat dari nada suara orang-orang yang datang, tampaknya itu adalah segerombolan orang yang ingin menuntut sesuatu atau merasa tidak puas atas peraturan yang ada.

Aku pun menyadarinya. Memang sudah menjadi resiko kerja Abah sebagai seorang sinder[3] hutan terlebih di kawasan hutan lindung. Meski demikian, aku masih bersyukur Abah tidak ditempatkan di kawasan hutan jati. Konon di sana lebih berbahaya, lebih banyak gesekan dan konflik terlebih dengan para pembalak hutan, pencuri kayu. Tak tanggung-tanggung, mereka berkelompok dan bersenjata tajam, sedangkan para polisi hutan, sudah sejak lama mereka tak diijinkan membawa pistol.

Aku pun bergegas menyelesaikan makanku. Aku menghampiri Abah yang bersiap keluar rumah, mengencangkan sarung dan memakai peci sekenanya. Tablet yang menemaninya tergeletak begitu saja di kursi goyang tempat duduknya tadi. Aku pun mengekor di belakang Abah, penasaran dengan mereka yang tampak emosi membawa beberapa kertas karton bertuliskan tuntutan dan tanda tangan yang cukup banyak.

“Ada apa nggih, Pak? Kok ndak masuk saja ke rumah dan dibicarakan semua sambil duduk?” Abah berusaha memelankan suara serombongan orang itu. Kulihat paras mereka, tampak kemerahan dipenuhi darah yang memuncak sampai ubun-ubun. Aku yakin mereka datang dari luar desa sini. Wajah mereka tampak asing bagiku. Seketika itu pula aku sadar bahwa kawasan kerja Abah cukup luas, tak hanya lintas desa, tapi lintas kecamatan.

Tai Asu! Aturan macam apa yang kamu buat ini?! Masak kami sudah tidak bisa membuat jalur air yang baru? Padahal sebelum kami, semua sudah beres, diijinkan, tidak ada masalah! Apa kudu mbayar jutaan rupiah dulu?!”

Abah hanya mengernyitkan dahi, lalu menarik nafas dalam dan mengempaskannya bebas. “Baik, jika Bapak dan rekan-rekan sekalian tidak berkenan masuk dan duduk dibicarakan di dalam rumah, maka saya ingin tahu Bapak dan rekan-rekan sekalian dari desa mana nggih?”

“Kami dari Desa Genilangit! Bapak tahu sendiri kan di sana banyak tetangga kami yang bisa membuat jalur air untuk kebutuhan sehari-hari yang diambil dari hutan. Kenapa kami tidak bisa?”

“Bapak dari kelompok tani desa setempat kah? Atau instansi baru atau bahkan perseorangan?” Kulihat mimik Abah tampak lebih tenang. Seolah sudah mengetahui duduk perkaranya seperti apa.

Arrgh… kebanyakan tanya! Intinya, Bapak ini mengijinkan kami atau tidak?! Jika tidak, kami akan memotong semua pipa yang ada di desa biar sekalian semua warga tidak ada yang mendapatkan air!”

“Silakan… jika memang itu yang Bapak kehendaki, saya tidak bisa membantu apapun misal terjadi apa-apa nantinya.” Abah tetap tenang. Abah tahu bahwa hal semacam itu tidak akan pernah terjadi. Jika itu terjadi, maka seluruh warga akan marah pada mereka.

Angin malam pun berhembus, dingin mulai merasuk menusuk-nusuk kulit hingga ke tulang. Desir suaranya memecah keheningan yang tercipta selepas kalimat Abah pada mereka. Kulihat mereka terdiam sejenak, ekspresi mereka tampak bingung. Ancaman mereka tak mempan untuk Abah. Bisik-bisik pun mulai terdengar dari dalam gerombolan orang itu. Keresahan tampak nyata di wajah Bapak yang sedari tadi marah-marah pada Abah.

“Mari, Pak, kita bicarakan di dalam saja. Saya khawatirnya, bapak-bapak sekalian belum tahu mekanismenya atau bahkan cerita di balik aturan yang baru saja bapak-bapak komplain. Kami dari pengelola Perhutani berupaya semaksimal mungkin untuk kebaikan semua pihak Pak!Monggo pinarak[4]

Aku pun ikut mendengarkan pembicaraan Abah bersama bapak-bapak itu. Aku duduk di samping Abah, mendengarkan dengan seksama. Tanpa diminta, Ibu sudah menyajikan teh hangat dengan gorengan yang baru saja dibeli dari warung dekat rumah. Tak lupa yang selalu tersaji untuk siapapun yang hadir di rumah dinas Perhutani ini, minuman Madu Perhutani dalam kemasan gelas.

“Silakan Pak, dinikmati hidangan seadanya ini. Bapak-bapak yang di luar juga silakan dinikmati! Maaf tempatnya tidak muat untuk semua orang masuk ke dalam!”

Lalu tanpa berpanjang lebar lagi, Abah menjelaskan duduk perkara munculnya aturan itu. Sejatinya aturan yang belum lama diterapkan ini untuk menertibkan penduduk yang sekehendak hati mengambil air dari mata air di kawasan hutan lindung. Abah menyampaikan bahwa sumber daya alam juga mempunyai batasnya, jika terlalu besar dieksploitasi, khawatir akan habis dan butuh waktu lebih lama untuk mengembalikannya. Bapak-bapak itu hanya bisa mengangguk dan seksama mendengar penjelasan dari Abah.

“Sumber air Tirtogumarang itu sudah diambil beberapa desa Pak. Tidak hanya itu, PDAM Magetan juga mengambil air dari sumber air yang sama. Jadi bisa dikatakan, pasokan air kabupaten Magetan sangat bergantung pada mata air di hutan alam ini. Jika terjadi kerusakan atau bahkan kekeringan karena terlalu dieksploitasi, bisa mengancam seluruh warga satu kabupaten lho Pak. Pripun jika seperti itu kejadiannya?”

Bapak-bapak yang tadinya tersulut emosi, kini berubah menjadi pucat pasi. Nampak kebingungan di wajah mereka. Semuanya terdiam, hening sejenak. Suara sruputan teh hangat pun terdengar. Abah meletakkan kembali teh hangatnya di meja.

Monggo lho Pak, sambil diminum teh-nya.”

Mereka tetap diam. Beberapa hanya mengangguk sembari mengambil teh yang tersaji di depannya sebagai bentuk penghormatan pada Abah.

“Kalau diam saja, saya kan juga ndak tahu harus bagaimana. Misal masih ada yang mengganjal di hati bapak-bapak sekalian? Monggo disampaikan, semoga ada solusi untuk kebaikan bersama.”

“Kami bisa memahami permasalahan yang disampaikan Pak Angga, tapi kelompok PHBM[5] di desa kami membedakan orang satu dengan orang lain. Terlebih jika ada ketidakcocokan yang kami sendiri tidak tahu itu apa. Apa yang harus kami perbuat Pak? Padahal Pak Angga tahu sendiri kalau air adalah kebutuhan paling penting untuk kita kan?”

“Baik Pak,insyaAllah nanti akan kami kelola sedemikian rupa agar hal-hal yang seperti bapak-bapak alami tidak lagi terjadi. Ini kan sudah 2030, masak kita masih saja mau perang kayak jaman penjajahan dulu?! Kan ndak lucu to?” Abah tersenyum simpul, lalu diikuti bapak-bapak di ruangan yang tak terlalu besar ini.

Beginilah rutinitas yang hampir terjadi setiap pekan. Abah selalu menerima kehadiran tamu yang tak diundang, menjelaskan detail duduk perkara suatu permasalahan. Istilah wanatani juga sangat sering disampaikan Abah ketika menjelaskan pada para tamu. Mungkin inilah salah satu faktor kenapa program studi agroforestri begitu menarik minatku untuk berkuliah dan mendalami ilmunya. Aku ingin seperti Abah, menjadi seorang agroforester yang bermanfaat untuk semua orang. Abah yang tahu permasalahan lingkungan, dan tahu bagaimana menyelesaikannya dengan menggunakan pendekatan budaya. Terima kasih Abah, sepertinya aku bisa menemukan jawaban PR pendidikan hutan dan lingkungan.

“Saya pamit mengerjakan PR dulu nggih Bah, bapak-bapak sekalian….”

Kubungkukkan badanku, merunduk berjalan pelan-pelan melalui Abah dan bapak-bapak yang sudah mulai menemukan titik terang atas permasalahan yang ada. Aku pun tersenyum senang, mendapatkan ilmu dari obrolan Abah dan bapak-bapak tadi. Begitulah, aku selalu tak ingin melewatkan obrolan bersama Abah. Pasti ada ilmu baru untukku.

Malam ini, ilmu itu yang sekaligus bisa menjawab pertanyaan dari guruku adalah tentang satu hal yang tidak akan pernah berubah. Hal yang tak akan pernah berubah adalah kreatifitas manusia. Seperti halnya oksigen dan air yang selamanya akan dibutuhkan manusia untuk hidup. Kreatifitas manusia inilah yang membedakan dengan ciptaan lainnya. Ya, aku yakin guruku akan membenarkannya.

—–

Kicau burung perlahan memudar, embun perlahan sirna bersama hangat sinar mentari yang mulai tinggi. Pagi ini, jam pelajaran ketiga dan keempat, pendidikan hutan dan lingkungan. Aku tak sabar mendengar komentar dari Bu Murni. Semalam sebelum tidur tugas telah kukirimkan pada beliau. Aku cemas, sedikit grogi. Ehmm.. atau aku yang terlalu percaya diri? Ah sudahlah… ditunggu saja beliau masuk ruang kelas.

“Roni! Silakan maju ke depan…” Bu Murni langsung memanggil namaku selepasnya duduk dan menyiapkan presentasi hari ini.

“Iya, Bu? Saya?” kupasang mimik kaget dan bingungku. Yes, sesuai perkiraanku! Bu Murni pasti memintaku untuk presentasi di depan kelas, batinku girang. Mungkin beginilah ciri orang-orang bermuka dua? Jujur, baru kali ini saja aku seperti ini. Kejadian semalam seperti kristalisasi sekian permasalahan yang dijumpai Abah lalu kutarik satu pelajaran berharga.

“Iya! Kamu Roni, silakan maju ke depan. Ibu mau minta tolong tarik layar presentasi ini. Ibu kesulitan. Bisa kan?”

Ooh.. baik Bu.” Aku maju ke depan sembari menundukkan kepala, tersenyum kecut. Malu pada diri sendiri yang terlalu percaya diri bahwa Bu Murni akan memberikan nilai terbaik pada presentasiku. Sesampainya di depan kelas, belum sempat menarik layar untuk presentasi, Bu Murni menepuk pundakku kemudian mengarahkan tubuhku agar menghadap ke arah teman-teman sekelas.

“Saya mengapresiasi tugas yang telah dikerjakan Roni. Bukan karena Roni adalah anak seorang pegawai Perhutani, melainkan lebih pada bagaimana Roni bisa mengambil satu pelajaran berharga dari peristiwa yang telah ia alami selama ini. Baik pengalaman yang dialami langsung maupun pengalaman dari hasil pembacaan buku dan lingkungan sekitarnya. Saya juga tidak akan memintanya presentasi di depan kelas, tetapi kuminta Roni membuat tulisan khusus atas tugas yang telah dibuat, kemudian kirimkan ke media massa.”

“Tapi, Bu, saya….”

“Sudah, tidak ada tapi lagi. Kalian semua juga diperkenankan untuk menuliskan hasil tugas kemarin, lalu mengirimkannya ke media massa, khusus untuk Roni hukumnya wajib!” Bu Murni menegaskan sekali lagi padaku atas pentingnya ulasan pembahasanku. “Dicoba saja ya Roni! Masukkan ke media massa, segera!”

“Ibu melihat ada poin penting yang telah dibahas Roni dalam presentasinya. Terima kasih Roni telah membantu Ibu menyiapkan layar presentasi.” Bu Murni tampak tersenyum bangga. Aku pun kembali ke tempat duduk dan dengan seksama memperhatikan apa yang dijelaskan Bu Murni di dalam kelas.

“Roni telah mengulas dalam tugasnya tentang peran wanatani, atau yang lebih sering kita dengar di kelas dengan istilah agroforestri. Bagaimana Roni memadukan antara hutan, pertanian, dan kehidupan sosial budaya telah memunculkan satu formulasi yang selama ini saya sendiri tidak berpikir sejauh itu.”

Huft... Bu Murni tak tahu apa yang kuinginkan!, aku hanya menggerutu dalam hati. Bu Murni masih lanjut menceritakan betapa temuan itu sangat berarti. Aku tak sehebat itu!, jengkelku semakin menjadi ketika Bu Murni menampilkan presentasi ciptaannya modifikasi atas konten tugas yang telah kubuat. Teknologi tiga dimensi telah membuat semuanya lebih mudah dan bisa tampak lebih nyata. Terlebih Bu Murni telah menggunakan perangkat keluaran terbaru dengan sistem operasi gulali.

Sudahlah... tak ada gunanya pula aku protes pada guruku, suara seorang siswa selamanya tak akan pernah digubris oleh siapapun. Katanya aku ini masih anak ingusan, anak kemarin sore. Lihat saja kelak ketika tiba masanya aku mengambil peran nyata seperti Abah, akan kuubah Indonesia menjadi negeri yang jauh lebih berarti. Biarkan hari ini aku bermimpi dengan sejuta harapan yang ingin kuraih, lalu lihatlah nanti! Indonesia akan bangga punya anak negeri yang tak pernah takut membangun cita dan mimpi. Terima kasih Abah, atas semua inspirasi yang tiada henti.

“Roni, ada apa kamu senyum-senyum sendiri?”, lagi-lagi lamunanku selalu dibuyarkan begitu saja. Semoga mimpi yang telah kutulis dalam jiwa tak pernah padam dan hilang seperti lamunanku yang diganggu oleh suatu peristiwa.

Ohya.. nggak papa, Bu. Silakan dilanjutkan penjelasannya. Saya suka.”, kuberikan senyum terbaikku pada Bu Murni. Aku teringat dengan daftar mimpiku yang belum tuntas. Bismillah, aku akan melangkah meraih mimpi selanjutnya!

[1]Sayur yang dimasak rebus sampai terlihat layu atau empuk. Bisa sayur bayam, sayur sawi atau cesim, dll.

[2]Keluarlah!

[3]Nama lain dari Asper (asisten perhutani), kepala suatu kawasan hutan setingkat BKPH di Perhutani.

[4]Mari, silakan masuk…

[5]Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Salah satu program yang dicanangkan oleh Perhutani dalam mengelola kawasan hutan.

Penulis
Angga Suprapto

Mahasiswa studi Pasca Sarjana Kehutanan UGM
Anggota Aktif FLP Yogyakarta

Reklamasi Singapura

Reklamasi adalah proses perluasan wilayah yang dilakukan secara sengaja oleh negara yang bersangkutan dengan cara melakukan pengerukan. Perluasan wilayah ini dilakukan oleh negara Singapura sesuai dengan Concept Plan mereka pada tahun 2001 yaitu bertujuan untuk memberikan daya tampung yang lebih terhadap rencana penambahan kawasan perumahan, industri, rekreasi, infrastruktur dll. Concept Plan ini juga didesain untuk memproyeksi dan memperluas wilayah Singapura dalam jangka 50 tahun kedepan. Saat ini Singapura mengalami perluasan hingga 710 km2 atau maju sejauh 12 km ke arah perbatasan Indonesia yaitu Kepulauan Riau (Pulau Nipah).

Pengerukan guna memperoleh tambahan pasir dilakukan Singapura dengan mengimpor dari Negara Indonesia, pengerukan dilakukan sejak tahun 1965, meskipun sejak tahun 2002 pemerintah sudah memberhentikan/mengharamkan pengerukan pasir namun masih ada saja beberapa pihak yang masih mengambil kesempatan ini untuk mendapat keuntungan dari penambangan pasir. Sebelumnya, Malaysia juga merupakan negara yang mengekspor pasir pantainya untuk kepentingan reklamasi Singapura, namun tidak berapa lama malaysia mulai memperhitungkan aspek lingkungan akibat adanya penambangan pasir tersebut, termasuk adanya resiko gelombang pasang yang besar yang akan mengancam kehidupan pesisir Malaysia.

Proyek reklamasi Negara Singapura juga merupakan upaya mereka untuk melindungi daratannya dari ancaman semakin tingginya permukaan air laut. Secara etika, Singapura sudah mempertimbangkan segala aktifitas perluasan wilayah demi keberlangsungan lingkungan dan kehidupan negara mereka, namun bagaimana etika lingkungan yang digunakan Singapura jika dilihat dampaknya bagi Negara perbatasan yaitu Indonesia?.

Dampak lingkungan akibat adanya ekspor pasir pantai dari Indonesia ke Singapura ialah pengurangan wilayah daratan di Indonesia, terutama di beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau seperti Pulau Nipah.

Pulau Nipah merupakan pulau terluar dari Indonesia yaitu Kepulauan Riau. Pada tahun 2003 lalu perairan di sekitar Pulau Nipah mengalami kenaikan yang begitu besar hingga daratan hanya terrsisa beberapa meter saja dari permukaan laut. Isu hilangnya pulau ini semakin diperkuat dengan adanya penambangan pasir secara liar dan ditambah lagi dengan sumber daya pasir Pulau Nipah yang memiliki sumber mineral yang cukup banyak hingga banyak kapal penyedot pasir yang mengekstrasi pasir di atas kapal, lalu kemudian membuang lumpur serta sisa lempungnya di perairan sekitar. Hal ini juga yang menjadi salah satu akibat mengapa perairan sekitar Pulau Nipah menjadi keruh.
(bersambung…)

Penulis
Maisyarah Pradhita Sari
Mahasiswi Fakultas Teknik UGM

Gambar : Bakosurtanal.go.id

Serial Animasi: Bukan Sekadar Hiburan

animasi

Perangi Rasuah”, begitu judul dari salah satu episode Upin-Ipin Season 8. Pada episode tersebut, tampak si kembar Upin-Ipin sedang belajar mengenai Rasuah atau dalam bahasa Indonesia lebih kita kenal dengan sebutan suap. Si kembar itu diajarkan bahwa suap-menyuap dengan maksud tertentu adalah perbuatan yang tercela, baik itu berupa uang ataupun barang-barang lainnya, dan mereka juga diajak untuk memerangi kegiatan suap-menyuap tersebut. Tak hanya sampai di situ, Upin Ipin dan teman-temannya juga dikenalkan dengan Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM), atau bisa disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-nya Malaysia, sebagai lembaga yang memproses tindakan suap-menyuap di Malaysia.

Episode tersebut adalah salah satu bagian dari kisah si kembar dari negeri jiran, Upin Ipin. Upin Ipin sendiri adalah sebuah serial animasi 3D untuk anak-anak yang mengisahkan tetang keseharian dari Upin Ipin bersama keluarga dan teman-temannya. Serial ini sangat disukai oleh anak-anak karena kisahnya yang lucu dan sederhana. Pesan atau nilai dari tiap-tiap kisah pun disampaikan dengan cara yang sederhana dan mudah ditangkap oleh anak-anak.

Pengaruh televisi bagi kepribadian seorang anak memang cukup signifikan. Adegan-adegan di dalam televisi akan dengan mudah dicontoh oleh anak. Contoh kasus, maraknya anak-anak yang mengikuti adegan gulat smackdown hingga menimbulkan korban jiwa, dan yang terbaru, seorang anak didapati gantung diri di lemari kamarnya diduga terinspirasi oleh adegan kartun-kartun Jepang. Di sini, bukan hanya peran dari orangtua untuk mengatur “asupan” televisi bagi anak-anak yang dibutuhkan, perlu juga komitmen dari segala pihak baik pengatur kebijakan maupun rumah produksi. Peranan dari rumah produksi ialah bagaimana menciptakan film-film yang mendidik dan bernilai, tanpa mengurangi nuansa hiburan yang disukai oleh anak-anak.

Sekarang, mari kita bandingkan serial Upin Ipin dari negeri tetangga dengan beberapa serial animasi lain yang ditayangkan di Indonesia. Pertama, kartun animasi dari Jepang dan Amerika. Serial animasi dari dua Negara tersebut paling mendominasi siaran-siaran animasi di televisi Indonesia. Sebagai contoh, Naruto atau SpongeBob. Dari segi cerita, kedua animasi tersebut tetap ada nilai yang dapat diambil, seperti persahabatan dan semangat juang. Namun, proses penanaman pesan dari cerita tersebut cenderung rumit bagi anak-anak, dan juga jalan cerita terkadang justru dapat memberi contoh buruk bagi anak, seperti adegan perkelahian.

Kemudian serial animasi dari Indonesia yang ditayangkan di televisi, kita ambil contoh Keluarga Somat dan Adit & Sopo Jarwo. Film pertama, Keluarga Somat, menceritakan tentang keseharian keluarga Pak Somat. Tokoh utama dari film ini adalah Dudung, anak sulung Pak Somat, yang cukup bandel dan sering mengusili adik dan teman-temannya. Cerita dalam film ini cenderung mengedepankan sisi hiburan dibandingkan dengan menyampaikan nilai. Sementara film Adit & Sopo Jarwo, nilai atau pesan biasanya disampaikan di akhir cerita. Yaitu ketika salah satu tokoh “antagonis”, Jarwo, terkena masalah hasil dari perbuatannya sendiri. Saat itu muncul sosok seorang sesepuh yang memberi nasihat agar Jarwo tidak mengulangi perbuatannya. Dari segi pengemasan, sosok Jarwo selalu menjadi biang masalah hampir di tiap episodenya. Tentu hal ini kurang baik jika dicontoh oleh anak-anak.

Jika dibandingkan dengan animasi-animasi Amerika, Jepang dan Indonesia di atas, serial animasi Upin Ipin jauh lebih sederhana dalam proses penyampaian pesan dan nilai. Hal ini cenderung lebih mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh anak-anak. Selain itu, dalam serial Upin Ipin jarang muncul tokoh yang menggambarkan orang jahat atau tidak baik. Film-film diatas hanya sebagai contoh saja, masih ada lagi film-film lain yang bagus untuk anak-anak, seperti Laptop si Unyil, Si Bolang, dan film-film sejenisnya.

Peranan dari rumah produksi dan investor untuk dapat mengembangkan film-film penuh nilai sangat dibutuhkan sekarang. Film yang tak hanya memuat pesan, namun juga disukai oleh anak-anak. Peranan orangtua dan pembuat kebijakan saja belum cukup, harus juga disertai dengan munculnya film-film yang dapat menjadi tuntunan dan aman bagi anak-anak.

Penanaman nilai-nilai sejak kecil dapat menjadi pondasi ketika dewasa nanti. Memang, tidak ada yang dapat memastikan ketika masa anak-anaknya baik, dewasanya pasti baik, atau pun sebaliknya. Namun, penanaman nilai sejak kecil adalah sebagai bentuk ikhtiar untuk membentuk generasi terbaik di masa depan nanti. Maka, mari kita doakan agar muncul seniman-seniman yang tak hanya memiliki skill yang baik, namun juga memiliki idealisme untuk membentuk karakter anak-anak Indonesia menjadi generasi terbaik yang peduli dengan agama, bangsa dan negara.

 

Referensi:

  1. http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/22-literasi-media/32476-azimah-tidak-semua-program-tv-baik-untuk-anak
  2. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/01/17/nia74g-terinspirasi-kartun-jepang-pelajar-bunuh-diri-dalam-lemari

 

Ahmad Faqih Mahalli – Alumni Forum Media BEM se-UGM, Alumni Jurusan Teknik Fisika UGM