Puisi: Sajak Hati Pejuang Negeri

by: Zaenab Fitria (Guru)

love2

Negeriku katanya makmur kaya melimpah harta
Negeriku katanya subur tanah dan hutannya
Negeriku katanya makmur sesuatu yang namanya sumber daya
Negeriku katanya subur semua benih ditancap tumbuh berjaya

Katanya negeriku zamrud khatulistiwa yang bila dilihat dari langit lautan hijau membentang
Katanya negeriku tanah surga yang menumbuhkan segala jenis pohon dan tumbuhan
Katanya negeriku tanah surga yang jala dan kail cukup menghidupi tujuh turunan
Katanya negeriku subur makmur kaya. Gemah ripah loh jinawi. Rakyat tentram damai sejahtera.

Nyatanya negeriku negeri para bedebah penuh tikus yang bersarang di kursi-kursi wakil rakyat
Nyatanya negeriku negeri di ujung tanduk sekali sentil langsung ambruk
Nyatanya negeriku negeri di puncak ombak yang terseret arus badai

Ternyata masih ada yang peduli pada negeriku
Ternyata masih ada yang ingin berjuang bagi negeriku
Ternyata masih ada yang mau merekonstruksi negeriku
Ternyata masih ada yang akan menerjang badai penghancur negeriku
Ternyata masih ada yang siap menangkis tusukan terhadap negeriku
Ternyata masih ada
Ternyata masih banyak
Putera puteri bangsa yang setia
Putera puteri bangsa yang cinta

Jalan kau berat beriak bergulung melebihi dahsyatnya ombak badai
Tapi kau punya saudara seperjuangan di seluruh penjuru bumi pertiwi
Satu dalam doa dan asa
Meski tak bersua dalam usaha
Semoga suatu saat nanti kita berjumpa
Di ujung kemenangan negeri

Puisi: Suara Jelata Punya Kuasa

by: Zaenab Fitria

WinVgy6m

Kami rakyat jelata
Kami tak miliki kuasa
Suara kami berjuta
Tapi dikebiri yang punya tahta

Kami rakyat jelata
Kami tak miliki suara
Kuasa kami berjuta
Tapi dikencingi yang punya harta

Kami rakyat jelata
Kami tak miliki etika
Adat kami dirampas kuasa
Tak ada lagi kehendak tersuara

Kami rakyat jelata
Seharusnya kamilah penguasa
Kalian di sana hanya karena kami punya suara
Tapi kenapa kini kalian memerkosa

Kami rakyat jelata
Kami punya suara
Kami punya kuasa
Tapi kami tak punya negara

Puisi: Opini Publik

by: Zaenab Fitria

opini public

Kami lihat kami percaya
Kami dengar kami bersuara
Kami tahu kami bicara

Kami tahu apa yang mereka ingin kami kira
Kami yakin apa yang mereka ingin kami percaya
Kami bicara apa yang mereka ingin kami bersuara
Kami dukung apa yang mereka inginkan kami bela
Kami sambut apa yang mereka ingin kami bawa

Mengerikan
Sungguh mengerikan
Kami tak pernah tahu kebenaran
Segala relikui konspirasi mencekam
Mengintai tanpa tameng laiknya kematian
Tak ada putih tak ada hitam
Tak ada fakta senang maupun fatwa kelam
Yang ada hanya rambatan kabut ketakpastian
Tebal menyelimuti hidup yang kejam
Sungguh mengerikan
Mengerikan

Ada Apa dengan “HIJAB”?

hejab08_b

Awal tahun 2015, muncul film dengan judul HIJAB. Sekilas, kita akan berpikir bahwa film ini bernuansa reliji. Siapa sangka, walaupun judulnya bernuansa reliji, tetapi isinya tak sesuai. Film ini menuai kontroversi sebab hanya menceritakan keburukan segelintir muslimah. Keburukan-keburukan wanita yang memakai hijab hanya sekedar keterpaksaan, kehendak suami, atau sekedar tren fashion. Hal ini, menutup sisi positif bagi sebagian besar muslimah yang berjilbab karena kehendak hati dan melaksanakan perintah agama.

Film merupakan media yang berfungsi sebagai alat penyebar informasi serta sarana pendidikan dan hiburan (edutainment). Bak dua sisi mata uang. Di satu sisi memiliki nilai positif dan juga negatif, tergantung bagaimana konten dan pemaknaannya. Apalagi bagi mereka masyarakat perkotaan. Bioskop menjadi salah satu alternatif pilihan hiburan yang mudah.

Selain fungsi tersebut, film digunakan sebagai alat propaganda. Para pembuat (produser) film memiliki motif/tujuan tertentu. Sebagai pengonsumsi film, kita perlu hati-hati. Terkadang film disalahgunakan untuk menyebarkan ideologi/paradigma. Tak dipungkiri, hal ini dapat mengubah opini dan gaya hidup masyarakat. Mari kita lihat definisi fesyen.

Menurut KBBI: Mode atau fesyen (Inggris: fashion) adalah gaya berpakaian yang populer dalam suatu budaya. Secara umum, fesyen termasuk masakan, bahasa, seni, dan arsitektur. Dikarenakan fesyen belum terdaftar dalam bahasa Indonesia, maka mode adalah kata untuk bahasa resminya. Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mode merupakan bentuk nomina yang bermakna ragam cara atau bentuk terbaru pada suatu waktu tertentu (tata pakaian, potongan rambut, corak hiasan, dan sebagainya). Gaya dapat berubah dengan cepat. Mode yang dikenakan oleh seseorang mampu mecerminkan siapa si pengguna tersebut.

Mari kita flashback. Film Ada Apa dengan Cinta (AADC) tahun 2002 dan Eiffel I’m in Love tahun 2003. Dalam kedua film tersebut tampak tank top dan celana hipster cutbray menjadi tren. Realitanya pun celana cutbray dan tank top menjadi tren di kalangan remaja. Kemudian, film Ayat-Ayat Cinta tahun 2008 dan Ketika Cinta Bertasbih (KCB) tahun 2009. Tak dipungkiri pasca film itu melejit, masyarakat yang konon alergi  jilbab besar, malah berkebalikan. Jilbab besar menjadi tren di masyarakat.

Sebagai penikmat film, waspadalah. Jangan menelan mentah-mentah dalam menontonnya. Seringkali kita terlalu menikmati, karena semua unsur-unsur media (audio, visual, video) di film membuat kita sebagai manusia sering terbawa ke alam bawah sadar. Mendampingi anak-anak di bawah umur, ketika menonton film. Anak-anak masih belum dapat berpikir kritis. Bersyukur jika yang disebarkan itu adalah ideologi atau gaya hidup yang positif. Celaka jika yang disebarkan adalah hal yang negatif. Mari bersama menjadi generasi cerdas bermedia.

(Rahma Darma Anggraini, pegiat Komunitas Gapura)

SHOUKOKU NO ALTAIR BELAJAR POLITIK DARI KOMIK

Shoukoku no Altair MCApa yang anda pikirkan ketika mendengar kata “politik”? Mungkin mayoritas dari kalian akan berkata “ah ribet!”,”politik itu rumit”, “politik itu penuh tipu daya” dan semacamnya. Namun bagaimana jika kita bisa belajar tentang politik, mengelola sebuah Negara, menyusun siasat cerdas, sekaligus mempelajari model sejarah dan budaya kerajaan besar di masa lalu dalam sebuah ilustrasi sederhana bernama komik? Mungkin itulah yang mendasari karya seorang komikus bernama Kotono Kato.

Shoukoku No Altair[1] bercerita tentang seorang pasha[2] termuda dalam sejarah Turkiye[3]  bernama Tughril Mahmud. Tujuan awal Mahmud menjadi pasha agar dapat menciptakan kedamaian dan kemakmuran di Turkiye. Tujuan tersebut dilatarbelakangi oleh masa lalunya dimana seluruh penduduk desanya habis terbunuh dalam suatu perang. Namun ternyata di awal menjadi Pasha, Mahmud langsung dihadapkan dengan persoalan politik yang pelik, yaitu tuduhan pembunuhan  terhadap Menteri Balt-Rhain[4] dan Pemberontakan di Kota Hisar di mana salah seorang teman baik Mahmud, menjadi tersangka kasus ini. Dengan idealisme yang dimiliki, Mahmud berhasil menyelesaikan semua konflik tersebut. Setelah ditelusuri, semua kejadian tersebut ternyata didalangi oleh Perdana Menteri Balt-Rhain Virginia Louis, yang kemudian menjadi musuh utama dalam cerita ini dengan kecerdasannya. Kejadian itulah mengawali perang besar yang sedang menanti dunia dan Mahmud tentunya.

Komik ini diterbitkan oleh Level Comic, yang memiliki segmen pembaca Dewasa (yang artinya agak tidak direkomendasi untuk anak kecil). Komik ini menarik untuk dibaca, terutama remaja yang ingin melihat sisi lain dari sebuah konflik politik dan kekuasaan. Meskipun mengambil latar sejarah Perang Salib, Kotono Kato dengan cerdas menghindari isu sensitif terkait agama dan kepercayaan. Beliau menggunakan cara dengan mengganti kepercayaan yang ada di komik ini dengan kepercayaan terhadap alam, Misal Turkiye yang memiliki latar belakang Islam diubah menjadi kepercayaan terhadap Dewa Air. Selain itu, Kato juga menggambarkan sosok seorang Tughril Mahmud yang mempunyai idealisme berpolitik yang harus berbenturan dengan realitas dunia politik di Divan[5] yang penuh intrik. Usianya yang masih muda kadang menjadikan Mahmud seperti “kekanak-kanakan”,”terlalu idealis dan melangit”,”awam dan tidak realistis” dan semacamnya yang jamak terjadi di perpolitikan negeri kita.

Dirangkai menjadi sebuah cerita dengan alur menarik, Shoukoku No Altair tidak hanya menjadi sebuah komik yang menghibur namun juga kita dapat belajar bagaimana membuat sebuah rekayasa politik, pengambilan keputusan seorang pemimpin, geopolitik internasional, kepercayaan dan sebagainya. Meskipun memiliki sedikit kekurangan seperti gambar yang masih cenderung kurang begitu baik dan jadwal terbit yang belum teratur, komik ini sangat direkomendasi untukmu yang lebih suka membaca komik daripada buku-buku politik yang “berat” namun juga mendapatkan pengetahuan yang penting. Jadi, kata siapa belajar politik itu berat? Yuk belajar politik melalui komik!

 

Azka Hasyami

[1] versi Indonesia berjudul Altair : Tale of The Great War

[2] semacam anggota dewan dalam struktur pemerintahan Khilafah Ottoman

[3] nama pemerintahan Kekhilafahan Turki Ottoman dalam cerita ini

[4] nama pemerintahan Byzantium dalam cerita ini, kerajaan yang berseteru dengan Turkiye dan berambisi menginvasi Turkiye dan seluruh daratan

[5] nama lain Dewan di Turkiye

Review Buku: Max Havelaar

maxhavelaar-53ed6b1c40fbf

Judul               : Max Havelaar

Penulis             : Multatuli

Penerbit           : Qanita

Tahun Terbit    : 2014

Cetakan ke      : I

Tebal Buku      : 474 hal

Max Havelaar adalah sebuah buku yang ditulis oleh Multatuli, yang juga dikenal dengan nama Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Nama yang tak asing bagi siswa sekolah, karena nama tersebut tercantum dalam buku-buku pelajaran sejarah. Di dalam buku sejarah tersebut diceritakan bahwa Douwes Dekker ini merupakan salah satu bangsa Belanda yang prihatin dengan penjajahan di Indonesia. Untuk itu, beliau bersama Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij tahun 1912.

Douwes Dekker mengabdi sebagai pegawai dari pemerintah Belanda di Indonesia selama 18 tahun. Beliau menjadi asisten residen di daerah Lebak, Banten. Buku Max Havelaar ini menceritakan pengalamannya melihat penindasan selama menjadi asisten residen Lebak. Buku Max Havelaar ini, menurut Pramoedya Ananta Toer (New York Times, 1999), merupakan buku yang “membunuh” kolonialisme.

Terbit pertama kali pada tahun 1860 di Belanda, buku Max Havelaar ini menggegerkan negeri itu. Kisah-kisah kejamnya kolonial seolah terbongkar dengan diterbitkannya buku ini. Kebenaran dari isi cerita di buku ini pun tak pernah diperdebatkan. Douwes Dekker sendiri menantang pemerintah Belanda untuk membuktikan kekeliruan kisah dalam bukunya.

Buku Max Havelaar ini berkisah tentang keseharian seorang Max Havelaar yang menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten. Selama ia menjabat sebagai asisten residen, ia menjumpai banyak warganya yang menjadi korban tindakan sewenang-wenang dari Bupati Lebak (warga pribumi). Banyak warga yang sawah dan ternaknya dirampas atau dibeli dengan harga yang tidak sesuai oleh Bupati Lebak. Kejadian ini dibiarkan begitu saja oleh Residen Banten (warga Belanda). Ia memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kodisi masyarakat sebenarnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda (warga Belanda). Dalam laporan tersebut seolah tak ada penindasan yang terjadi di daerahnya.

Singkatnya, sebagai Asisten Residen Lebak, Max Havelaar banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai ketidakadilan sang penguasa, yaitu Bupati Lebak. Max Havelaar pun melaporkan keluhan masyarakat ke Residen Banten, agar Residen memecat Bupati Lebak. Max Havelaar juga melaporkan keluhan tersebut ke Gubernur Jendral Hindia Belanda. Permintaan Max Havelaar ditolak, dan ia diberhentikan sebagai Asisten Residen Lebak. Setelah itu ia berhenti sebagai Asisten Residen.

Bentuk penulisan Douwes Dekker dalam buku ini terbilang cukup unik. Pada bab-bab awal buku ini, ia tidak langsung menceritakan mengenai kisah seorang Max Havelaar. Ia bercerita mengenai seorang makelar kopi bernama Droogstoppel. Mengambil sudut pandang orang pertama sebagai Droogstoppel, Douwes Dekker berkisah mengenai pertemuan Droogstoppel dengan Sjalmaan. Sjalmaan ini kemudian meminta agar Droogstoppel menerbitkan naskah tulisannya.

Setelah melalui beberapa proses, akhirnya naskah Sjalmaan ini setuju untuk diterbitkan oleh Droogstoppel. Naskah dari Sjalmaan tersebut kemudian ditulis oleh Kern, anak dari salah satu kolega Droogstoppel, untuk kemudian diterbitkan. Bagian pertengahan dari buku Max Havelaar ini menceritakan tentang naskah dari Sjaalman. Naskah tersebut berupa kisah hidup seorang Max Havelaar, seorang Asisten Residen di Lebak, Banten. Mulai dari naskah Sjalmaan ini, sudut pandang penulisan tak lagi sebagai orang pertama, tetapi menjadi sudut pandang orang ketiga.

Pada bab terakhir, Multatuli muncul. Ia menegaskan bahwa bukunya ini memang terlihat tak terkonsep dan berantakan, namun soal penindasan yang terjadi oleh kolonial Belanda dan pribumi yang korup ialah benar. Hal tersebutlah yang ingin ia tunjukkan dalam bukunya. Penindasan dan pemerasan terhadap masyarakat.

Begitulah kira-kira review dari buku Max Havelaar karangan Multatuli. Namun tetap harus diingat bahwa tetap sudut pandang dari buku ini adalah sudut pandang orang Belanda. Dalam buku tersebut dikisahkan bahwa yang melakukan penindasan adalah sang Bupati, yaitu bangsa pribumi. Sementara “dosa” dari bangsa Belanda, yaitu Residen dan Gubernur Jendral, adalah karena mereka membiarkan hal tersebut terjadi.

Meski kebenaran dari buku ini belum ada yang menyangkal, tetap saja masih belum bisa menggambarkan dengan utuh kondisi sebenarnya. Maka, kisah yang tertulis dalam Max Havelaar ini cukuplah menjadi sebuah rangkaian puzzle dalam sebuah bingkai besar sejarah Indonesia. Buku ini pula menjadi bukti bahwa sebuah karya tulis dapat menjadi salah satu cara untuk menyebarkan ide dan gagasan.

 

Ahmad Faqih Mahalli – Alumni Forum Media BEM se-UGM, Alumni Jurusan Teknik Fisika UGM.

Memperjuangkan Budaya Ketimuran Lewat Sastra

Budaya-timur

Di negara kita, Indonesia, sangat lekat dengan adat dan budaya ketimuran. Budaya yang menjunjung tinggi nilai moral, etika, dan kesopanan. Beberapa tahun terakhir bermunculan karya sastra kontemporer dengan kemasan yang vulgar. Seperti novel Supernova karya Dewi Lestari yang menceritakan homoseksualitas kaum gay, atau novel Saman karya Ayu Utami yang mengungkap heteroseksualitas secara vulgar. Jika ditelaah lebih dalam ini sangat bertentangan dengan norma yang kita anut sebagai orang timur. Apalagi penulis adalah perempuan, yang mengungkap soal seksualitas. Sangat tidak elok. Menjatuhkan nilai moralitas dan tidak mendidik masyarakat.

Jika sastra kontemporer itu sekarang mampu mendobrak tatanan sastra konvensional yang kemudian menjadi sastra mainstream di masyarakat Indonesia, maka bisa dibayangkan bagaimana moral masyarakat Indonesia kelak. Seks akan menjadi bahasan yang lumrah bagi siapapun, bukan lagi hal yang tabu untuk dikonsumsi publik. Dan dianggap wajar.

Dalam bukunya Dewi Lestari, Supernova, mengungkap satu pasangan gay yang sama-sama sekolah di Amerika. Tokoh Dhimas dan Ruben memiliki ketertarikan satu sama lain dan menjadi pasangan selama sepuluh tahun. Novel-novel lain seperti Saman (karya Ayu Utami) atau Garis Tepi Seorang Lesbian (Karya Herliniatin) yang mengungkap seksualitas dengan diksi lebih vulgar, telah mengkhawatirkan para sastrawan dan pekerja pendidikan di Indonesia. Karya, bukanlah sebuah produksi semata, tetapi berpengaruh pada nasionalisme bangsa.  Menurut Meidy Lukito (Penyair dan Dosen Universitas Muhammadiyah Malang) saat ini banyak sekali buku-buku yang menggarap masalah seksualitas—secara visual maupun konten—yang  sebenarnya masih tabu bagi nilai-nilai ketimuran untuk diekspos ke hadapan publik. Menurutnya, hal semacam ini patut kita pikirkan bersama, akan ke manakah bangsa ini diarahkan jika karya sastra tidak lagi punya muatan pengajaran moral dan intelektual yang benar.

Hal serupa juga disampaikan seorang pemerhati sastra dari Sumatera Barat sekaligus praktisi pendidikan, Yusmarni Djalius, mengungkapkan moralitas dan etika adalah bagian penting dari muatan sebuah karya sastra yang harus tetap diperhatikan. Harapannya supaya para penulis wanita yang telah mengundang pelecehan bagi wanita secara umum tersebut dapat lebih arif meminimalisasi penggunaan diksi-diksi vulgar yang dirasa kurang perlu untuk keutuhan sebuah karya sastra.

Wolfgang Iser, tokoh resepsi sastra, mengatakan bahwa sastra harus dinilai bukan hanya berdasarkan bentukan tulisan itu semata, melainkan juga harus diperhatikan pengaruhnya bagi konsumen; idealnya para pelaku sastra Indonesia bisa lebih arif melihat kondisi bangsanya sendiri. Dalam kasus tanggapan pembaca ketiga novel ini, terlalu banyak pembaca yang merasa risih dan menilai negatif anomalitas Saman sebagai karya sastra serius yang bertabur diksi, orientasi, adegan dan perilaku seksual yang permissif serta bertolak belakang dengan budaya ketimuran. Demikian juga dengan kedua novel yang mengangkat homoseksual (Gay) dalam novel Supernova dan (lesbian) dalam novel Garis Tepi Seorang Lesbian.

Berangkat dari permasalahan seperti ini, Afifah Afra, peraih Pena Award 2002, Kategori Novel Terpuji: Bulan Mati di Javasche Oranje”, yang merupakan Sekjen Badan Pengurus Pusat FLP (2013-2017) menggagas Gerakan Sastra Santun untuk menepis karya sastra yang berdampak tidak baik itu dengan karya sastra yang lebih santun, sopan, dan memiliki nilai edukasi untuk masyarakat Indonesia. Menurutnya ada upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menjadikan sastra santun itu menjadi mainstream,

  1. Pembentukan lembaga yang kredibel dan diakui.
  2. Para penggerak sastra santun harus mampu menunjukkan keunggulan dalam teknis pengemasan karya.
  3. Adanya arus yang mendukung gerakan yang diusung dengan konsisten.

Upaya-upaya kebaikan ini tidak bisa diciptakan satu-dua orang, tetapi butuh dukungan dari siapapun. Hendaknya lebih peka terhadap sajian karya-karya sastra yang bermunculan. Mbak Afra berpesan kepada pada pegiat media dan para penulis, “Ayo bersatu, beradu kepandaikan dalam kebaikan, berjuang lewat pena kita secara total”.

 

Penulis Ari Wibowo Alumni Fakultas Pertanian UGM Ilustrasi: Google

Kebangkitan Sastra Islami

Novels
Setiap mendengar kata “novel dakwah”, “novel Islami”, “sastra Islami”, saya hanya dapat membayangkan “Ayat Ayat Cinta” saja walaupun saya pribadi termasuk terlambat membaca novelnya. Saya baru membaca novelnya pada 3 Desember 2014 kemarin, 10 tahun setelah diterbitkan. Tapi saya sudah menonton filmnya saat diputar di bioskop.

Novel “Ayat Ayat Cinta” pertama kali cetak pada Desember 2004, setelah dirilis menjadi cerita bersambung di harian Republika dari 10 April sampai 23 September 2004. Sama seperti novelnya yang meraih lebih dari 30 kali cetak, filmnya mendulang lebih dari 3 juta penonton.

Begitu fenomenalnya, Mohammad Fauzil Adhim dalam endorse-nya, sampai tidak yakin akan ada novel serupa “Ayat Ayat Cinta” dari penulis muda Indonesia lainnya mungkin hingga beberapa puluh tahun ke depan. Novel “Ayat Ayat Cinta” dinilai begitu menyentuh, dalam, dan dewasa.

Terkait dakwah melalui novel, belum banyak novel di Indonesia menyamai “Ayat Ayat Cinta” yang sanggup mengolah alur cerita sehingga ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah dapat masuk dan mengalir lembut tanpa pembaca merasa dipaksa menerima.

Banyak yang bertanya-tanya apa resep menulis Kang Abik sehingga mampu menghasilkan banyak karya sastra yang demikian fenomenal, khususnya “Ayat Ayat Cinta”. Sampai pada Jogja Islamic Fair 2nd di Masjid Mujahidin UNY tanggal 6 Januari 2015, saya mendengar sendiri Kang Abik mengatakan bahwa niatnya menulis (“Api Tauhid”) adalah untuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu pada kolom wawancara di harian Republika, Ahad, 4 Januari 2015, Kang Abik memberitahukan bahwa, “… Bahwa setiap kali menulis jangan lupa membaca basmalah. Lalu begitu mulai menulis, jangan biarkan tangan yang menulis kata-katamu, tapi serahkan kepada jiwa dan hati untuk menulisnya! Selamat berkarya.”

Terkait dengan dakwah, “Ayat Ayat Cinta” membuktikan bahwa melalui novel pun kesuksesan dakwah dapat direngkuh. Menyebarkan pemikiran-pemikiran Islam, meluruskan aqidah, memperindah akhlaq, membakar semangat mencari ilmu, menguatkan tekad menuju Baitullah untuk umrah dan Haji, dan sebagainya.

Indonesia masih butuh banyak “Ayat Ayat Cinta” yang lain. Masih banyak materi keislaman yang lain yang butuh diceritakan kepada masyarakat luas melalui novel. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa buku terutama novel, lebih mudah menyentuh segala lapisan sosial masyarakat. Orang lebih suka membaca yang ringan dibanding tema berat seperti kenegaraan, politik, budaya, filsafat, ekonomi, teknik, diktat kuliah. Jika ke toko buku, saya memperhatikan, rak buku bagian komik dan novel sering ramai berbeda dengan rak buku bagian sosial, buku pelajaran.

Semoga sastra Islami semakin banyak lahir dan kualitasnya meningkat dari waktu ke waktu.

 

Penulis
Yurista Yohasari
Alumni Fakultas Hukum UGM

Kafe Buku: Wadah Baru Bookaholic

kafe buku

Judul Buku: My Hobby My Business: Kafe Buku

Penulis: Gunawan Ardiyanto

Penerbit: Metagraf Tiga Serangkai

Tahun Terbit: 2014

Cetakan: I

Tebal: 144 halaman

Sering kali kita tidak menyadari bahwa apa yang sering kita lakukan sebagai hobi memiliki potensi manfaat dan keuntungan yang luar biasa. Baik secara ekonomi maupun sosial, bagi diri sendiri maupun orang lain.

Jika kita jeli, kegiatan yang lebih berbau rekreasi dan hiburan, yang membuat kita enjoy dan rileks, dan yang kita anggap sebagai kegiatan sampingan tersebut bisa kita sulap menjadi sebuah lahan bisnis yang sangat menjanjikan dan mendatangkan keuntungan berlipat.

Dalam My Hobby My Business: Kafe Buku, kafe buku menjadi salah satu lahan bisnis yang diangkat dari keberadaan hobi. Beberapa usaha kafe buku yang marak tumbuh di kawasan kota besar dan kecil dan menjadi idola baru saat ini kami sorot dalam buku ini. Usaha tersebut menjadi bagian gambaran dalam buku yang berkonsentrasi pada bisnis berbasis hobi ini, selain telaah dari sisi pembuatan konsep, analisis dan perencanaan bisnis, serta strategi marketing dan strategi dalam menghadapi kompetitor.

Buku ini lebih banyak menjabarkan teori marketing dan aplikasinya pada usaha kafe atau toko buku. Di bagian awal, penulis banyak memotivasi pembaca mengenai potensi-potensi hobi menjadi lahan bisnis. Dalam hal ini hobi menulis dan membaca menjadi potensi yang sangat strategis.

Hobi membaca bisa menjadi bisnis? Benar, bermula dari kegemaran membaca, kita bisa mengembangkan kegiatan lain yang memberikan nilai lebih, yakni menulis. (Halaman 13)

Penulis menjadikan hobi membaca dan menulis sebagai titik tolak pendirian bisnis kafe buku yang menarik. Selain itu, gemar berinteraksi dengan banyak orang menjadi penting dalam memperkaya wawasan dan sudut pandang.

Hobi menulis dan membaca dapat diakomodir dalam sebuah tempat. Misalnya toko buku. Dari toko buku bisa dikembangkan konsep yang makin luas untuk mefasilitasi para penggiat kegiatan membaca dan menulis dalam sebuah kafe buku. Selain itu, toko atau kafe buku dapat dikembangkan dari kafe atau resto yang dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan atau tempat buku.

Kafe buku bisa dimanfaatkan sebagai acara bedah buku, kegiatan bersama komunitas pecinta buku, serta menjual buku-buku sesuai dengan pangsa pasar kafe atau resto tersebut.

Seorang penulis buku dapat menjadi pemilik kafe. Ia bisa memanfaatkan kafe sebagai sarana pelatihan penulisan dan kreativitas lain terkait perbukuan.

Buku ini memuat 11 Pedoman Memulai Bisnis: Keuntungan, Kemampuan teknis, Pangsa pasar, Bahan baku, Tenaga kerja, Modal, Resiko, Persaingan, Fasilitas usaha, Aspek masa depan, Aturan hukum. Prinsip ini relevan untuk semua jenis usaha.

Selain itu, terdapat 9 panduan agar bisnis menjadi lebih efisien, yaitu: menekan harga pokok, menentukan faktor-faktor yang harus diperhatikan, pembelian bahan baku, kerusakan dan penyelewengan, buku yang lebih murah, tenaga kerja yang tepat, semangat dan keinginan kerja, sistem pembagian kerja dan lokasi usaha.

Tahap-tahap membuat perencanaan bisnis: menentukan produk atau jasa, menentukan harga, pemilihan lokasi, rencana operasional, distribusi, komunikasi, koordinasi, kepercayaan dan  sistem.

Pada halaman 86 hingga 101, penulis memberikan simulasi lengkap mengenai rencana bisnis kafe buku. Bagi pembaca yang berniat membuat kafe buku, sebaiknya membaca detilnya sendiri sebagai gambaran memulai usaha.

Hal penting yang disampaikan di buku ini adalah mengenai strategi marketing; Menjadi yang pertama (Be the first), menjadi yang terbaik (be the best), atau menjadi berbeda (be different) dalam hal harga (price), produk (product), tempat (place), dan promosi (promotion).

Usaha kafe yang sudah menjamur tentunya memperlukan kemampuan menghadapi kompetitor. Nah, strateginya dijabarkan penulis di bagian akhir sebelum menutupnya dengan kisah sukses beberapa kafe buku, sebut saja English Kafe, Toko Buku Diskon Oemah Buku, Java Sushi dan Kelas Bisnis Yogyakarta, serta EDU Kafe di Klaten.

Secara umum buku ini cukup lengkap dan bisa menjadi acuan dalam memberikan gambaran usaha kafe buku. Namun, dalam hal penyajian banyak teori dan penjabaran yang kurang interaktif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa formal, sedangkan menurut saya segmen pembaca buku ini adalah kaum muda yang lebih mudah memahami bahasa non formal.

Semoga setelah membaca buku ini, muncul kafe-kafe yang tidak hanya menjadi tempat wisata kuliner, tapi juga menjadi sarana edukatif yang bermanfaat. Happy reading!

 

Yonea Bakla

Apoteker yang suka kuliner