Tayangan Televisi Kita Hari Ini

Masyarakat kita hari ini bisa dipastikan setiap hari nonton TV setiap hari, entah di rumah, tempat kerja, ruang tunggu terminal, rumah sakit, atau gardu pos ronda. Setiap hari, bahkan setiap waktu dengan mudahnya menonton TV. Maka tidak heran jika media televisi menjadi media dengan konsumen paling besar dibanding jenis media lain. Siaran televisi menjadi “makanan wajib” mulai membuka mata sampai mata tertutup kembali.Hal inilah yang menjadi latar belakang kenapa media TV berkontribusi besar dalam membentuk pola pikir masyarakat dan menjadi agen pewarisan nilai-nilai sosial. Tapi apakah media TV sudah berhasil membentuk pola pikir dan mewariskan nilai-nilai sosial yang baik?

Mari kita cermati kembali, tayangan apa saja yang sekarang ini mendominasi layar pertelevisian kita. Pagi hari kita disuguhi gosip artis, siangnya serial FTV, malam hari dipenuhi sinetron, acara lawakan, dan acara mistis di tengah malamnya. Sesekali ada acara keagamaan seperti pengajian yang durasinya sangat pendek, dan fokus penayangannya tidak kepada ilmunya, tetapi menurut saya lebih kepada lawakan khas penceramah yang dijadikan tren baru, atau parade fashion baju seragam ibu-ibu peserta pengajian dengan beragam warna semua ada.

Dari sekian acara yang ditayangkan, ada nilai-nilai yang kemudian diserap oleh masyarakat kita saat ini. Misalnya acara sinetron, masyarakat cenderung meniru adegan-adegan yang ada di sinetron (terutama anak-anak) misalnya, berani bicara kasar kepada orang tua, membentak, bicara kasar ke orang lain (pembantu), dan sebagainya. Jika dicermati, banyak sekali tayangan sinetron yang lebih bersifat fitnah, menghasut, bohong, bahkan menyesatkan. Mayoritas acara televisi adalah sinetron yang berlebihan. Ektra sadis, ekstra baik, ekstra sial, ekstra kaya raya, ekstra mistis, ekstra cantik, atau ekstra lainnya. Tayangan gosip yang tiap pindah channel ada, muncul dengan beragam judul tapi sama secara substansi, dan hal tersebut diulang-ulang. Atau berita kriminal yang justru tidak mengingatkan masyarakat agar waspada, namun lebih kepada menakut-nakuti.

Nah, sayangnya masyarakat kita kebanyakan menelan mentah-mentah apapun yang disiarkan di TV, seolah apapun yang disiarkan di TV adalah informasi yang sudah benar, nyata terjadi, dan patut untuk diikuti. Karena masyarakat kita belum memiliki tradisi membaca dengan baik, hal inilah yang menjadikan masyarakat menjadikan media televisi ini sebagai rekan pengisi waktu luang. Menganggapnya mampu memenuhi semua kebutuhan akan informasi. Ironisnya jika TV lebih dipercaya daripada relasi sosial yang lebih konkret. Apa yang disajikan di TV yang bersifat realitas simbolik itulah yang dianggap sebagai realitas obyektif yang sedang terjadi di luar sana. Semakin disayangkan bahkan, ketika semakin lama media memberikan interpretasi sepihak yang mengarahkan opini masyarakat mengikuti alur logika pemilik media.

Keterampilan melek media khususnya media TV sangat diperlukan, yaitu mencerna dan mengkritisinya. Harapannya masyarakat tidak mudah meniru adegan-adegan yang tidak baik. Media pun juga begitu, harusnya mampu memberikan tayangan-tayangan yang lebih mendidik. Menghadirkan figure-figure yang tidak hanya mampu ber-acting dengan baik, tetapi dapat dicontoh dari kesehariannya. Tidak hanya mengacu kepada rating semata, tetapi bagaimana bisa membentuk karakter masyarakat Indonesia menjadi lebih baik ke depannya untuk kemajuan bangsa.

Penulis
Ari Wibowo
Alumni UGM

Ada Apa dengan “HIJAB”?

hejab08_b

Awal tahun 2015, muncul film dengan judul HIJAB. Sekilas, kita akan berpikir bahwa film ini bernuansa reliji. Siapa sangka, walaupun judulnya bernuansa reliji, tetapi isinya tak sesuai. Film ini menuai kontroversi sebab hanya menceritakan keburukan segelintir muslimah. Keburukan-keburukan wanita yang memakai hijab hanya sekedar keterpaksaan, kehendak suami, atau sekedar tren fashion. Hal ini, menutup sisi positif bagi sebagian besar muslimah yang berjilbab karena kehendak hati dan melaksanakan perintah agama.

Film merupakan media yang berfungsi sebagai alat penyebar informasi serta sarana pendidikan dan hiburan (edutainment). Bak dua sisi mata uang. Di satu sisi memiliki nilai positif dan juga negatif, tergantung bagaimana konten dan pemaknaannya. Apalagi bagi mereka masyarakat perkotaan. Bioskop menjadi salah satu alternatif pilihan hiburan yang mudah.

Selain fungsi tersebut, film digunakan sebagai alat propaganda. Para pembuat (produser) film memiliki motif/tujuan tertentu. Sebagai pengonsumsi film, kita perlu hati-hati. Terkadang film disalahgunakan untuk menyebarkan ideologi/paradigma. Tak dipungkiri, hal ini dapat mengubah opini dan gaya hidup masyarakat. Mari kita lihat definisi fesyen.

Menurut KBBI: Mode atau fesyen (Inggris: fashion) adalah gaya berpakaian yang populer dalam suatu budaya. Secara umum, fesyen termasuk masakan, bahasa, seni, dan arsitektur. Dikarenakan fesyen belum terdaftar dalam bahasa Indonesia, maka mode adalah kata untuk bahasa resminya. Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mode merupakan bentuk nomina yang bermakna ragam cara atau bentuk terbaru pada suatu waktu tertentu (tata pakaian, potongan rambut, corak hiasan, dan sebagainya). Gaya dapat berubah dengan cepat. Mode yang dikenakan oleh seseorang mampu mecerminkan siapa si pengguna tersebut.

Mari kita flashback. Film Ada Apa dengan Cinta (AADC) tahun 2002 dan Eiffel I’m in Love tahun 2003. Dalam kedua film tersebut tampak tank top dan celana hipster cutbray menjadi tren. Realitanya pun celana cutbray dan tank top menjadi tren di kalangan remaja. Kemudian, film Ayat-Ayat Cinta tahun 2008 dan Ketika Cinta Bertasbih (KCB) tahun 2009. Tak dipungkiri pasca film itu melejit, masyarakat yang konon alergi  jilbab besar, malah berkebalikan. Jilbab besar menjadi tren di masyarakat.

Sebagai penikmat film, waspadalah. Jangan menelan mentah-mentah dalam menontonnya. Seringkali kita terlalu menikmati, karena semua unsur-unsur media (audio, visual, video) di film membuat kita sebagai manusia sering terbawa ke alam bawah sadar. Mendampingi anak-anak di bawah umur, ketika menonton film. Anak-anak masih belum dapat berpikir kritis. Bersyukur jika yang disebarkan itu adalah ideologi atau gaya hidup yang positif. Celaka jika yang disebarkan adalah hal yang negatif. Mari bersama menjadi generasi cerdas bermedia.

(Rahma Darma Anggraini, pegiat Komunitas Gapura)

Literasi Media, Pentingkah?

8662143

Literasi media adalah sebuah kemampuan untuk memahami, menganalisis dan juga mengetahui bagaimana sebuah media/informasi dibuat dan diakses publik. Media membangun fakta yang ada di lapangan untuk kemudian mentransfernya menjadi sebuah makna/informasi kepada pembaca. Media juga memiliki kekuasaan untuk menyebarkan informasi dari objek yang satu ke objek lainnya. Perlahan namun pasti, media bertransformasi menjadi sebuah kekuatan baru yang dapat memengaruhi intelektualitas publik.

Mari kita umpamakan media sebagai makanan. Jurnalis layaknya seorang chef yang bertugas meracik dan meramu bahan-bahan makanan sehat menjadi menu makanan yang sehat dan menyehatkan pula. Kemampuan yang dimiliki chef untuk mengolah bahan makanan dengan baik, dapat menghasilkan sajian makanan dengan nilai gizi tinggi. Begitu pula halnya seorang jurnalis, jika mereka memiliki kemampuan/integritas mengolah fakta lapangan dengan baik maka mereka akan menghasilkan berita dengan nilai informasi yang berkualitas.

Selain mengetahui hal yang memengaruhi aspek pengolahan media seperti yang telah disinggung di atas, kita sebagai publik juga harus mampu memahami proses pendistribusian informasi tersebut. Dalam hal makanan, publik dituntut untuk cerdas memilih makanan cepat saji dengan risiko gizi rendah atau makanan lain dengan gizi yang lebih tinggi. Pendistribusian makanan dilakukan di restoran dan tempat-tempat makan. Namun, bagaimana jika restoran/tempat makan yang ada di wilayah kita dimonopoli oleh segelintir pemilik modal yang lebih mementingkan keuntungan dibanding kesehatan publik?

Seperti halnya makanan, pendistribusian media juga tidak lepas dari jawilan tangan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka mampu memengaruhi jurnalis atau ruang media untuk menampilkan informasi-informasi tertentu saja. Memonopoli makna informasi kepada publik. Jurnalis yang baik pun, kadang tunduk dengan sistem pendistribusian media ini. Hal seperti inilah yang harusnya kita hindari. Berbekal kemampuan literasi media, publik dapat membedakan antara informasi berkualitas dan informasi yang tak jelas.

Hasil survey literasi dunia PISA (Programme for International Student  Assesment) pada tahun 2009 menunjukkan rendahnya literasi (menulis dan menbaca) di kalangan pelajar indonesia. Indonesia menempati urutan ke-62 dari 72 negara, tertinggal jauh dari negara tetangga kita Thailand yang menempati urutan posisi ke-53. Hasil survey tersebut dapat menjadi cambuk bagi kita untuk mulai kembali menggalakkan budaya literasi. Budaya literasi yang tidak lagi hanya membahas ruang menulis dan membaca, namun juga mulai membentuk paradigma literasi baru yakni ‘Literasi Media’.

Harapannya, gerakan literasi media mampu mencerdaskan publik untuk dapat membuat keputusan sendiri dalam memilih media. Seperti makanan yang kita pilih, antara makanan cepat saji atau makanan yang lebih bergizi lainnya.

 

Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Literasi_media (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.43)
http://medialiterasindonesia.blogspot.com/2012/03/media-literasi-di-indonesia-menurut.html (diakses tanggal 28 januari 2015 : 17.45)
https://haidarism.wordpress.com/2014/02/18/literasi-sebagai-budaya-mencerdaskan-bangsa/ (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.47)
http://prianganaulia.blogspot.com/2014/02/transformasi-makna-literasi.html (diakses tanggal 28 Januari 2015 : 17.50)
http://2012pbic.blogspot.com/2014/02/menumbuhkan-budaya-literasi-bukan-lisan.html (diakses tanggal 29 Januari 2015 : 05.52)

 

Penulis
Maisyarah Pradhita Sari
Mahasiswi Fakultas Teknik UGM