Membangkitkan Kejayaan Pers Islam (Bagian 2)

Penggerak lembaga dakwah kampus mulai memikirkan pemanfaatan media sebagai sarana pencerdasan keislaman ke masyarakat maupun sekadar untuk menunjukkan eksistensinya. Kemajuan teknologi informasi menuntut aktivis dakwah kampus dapat menyesuaikan diri dengan medan dakwah yang baru. Munculnya Facebook, Twitter, Instagram, Line, WordPress, WhatsApp, dan lain sebagainya, seakan menggiring mereka untuk memiliki akun di masing-masing media sosial tersebut. Secara perlahan, optimalisasi dakwah media suatu lembaga dakwah kampus dinilai dari kuantitas publikasinya di media sosial. Di sisi lain, kuantitas media cetak dari lembaga dakwah kampus semakin berkurang.

Kaderisasi Aktivis Dakwah Media

Perkembangan suatu organisasi tidak luput dari peran kaderisasi. Ada beberapa poin yang hendaknya diperhatikan dalam kaderisasi aktivis dakwah media. Pertama, lembaga dakwah kampus tidak hanya merekrut orang-orang yang memiliki passion yang dapat mendukung bidang kemediaan, seperti desain grafis, kepenulisan, ataupun fotografi. Lembaga dakwah kampus juga harus membina mereka sesuai passion-nya dan membekali mereka dengan strategi bermedia.

Pembinaan sesuai passion dapat meningkatkan profesionalitas aktivis dakwah media dalam berkarya. Adapun membekali mereka dengan strategi bermedia berarti melatih mereka agar menghadirkan jiwa dalam karyanya. Sebuah artikel dapat ditulis dengan gaya bahasa yang begitu indah, namun sejauh mana pembaca dapat menggali pemikiran penulis juga merupakan sesuatu yang penting. Urgensi pembekalan tentang strategi bermedia juga dapat menguatkan aktivis dakwah media dalam menghadapi derasnya arus informasi, baik itu dalam memilah sumber informasi, meng-counter isu maupun sebagai opinion leader. Jika lembaga dakwah kampus belum dapat memfasilitasi kedua hal ini secara maksimal, maka arahkanlah aktivis dakwah media agar mencari ilmu yang dibutuhkannya.

Kedua, memfokuskan aktivis dakwah media dalam mengelola sebuah media. Sedikitnya SDM pada sebuah bidang, tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menarik aktivis dakwah media dari bidangnya dan membuat mereka mengurusi bidang lain yang kekurangan SDM tersebut. Jika aktivis media ditarik dari medannya, ia akan menelantarkan media yang dikelolanya. Ada satu hal yang perlu dipahami dalam prinsip kaderisasi, yaitu mengoptimalkan peran aktivis dakwah dalam berkarya sesuai dengan kompetensinya. Dalam hal ini, diperlukan kepercayaan bahwa setiap orang terlahir untuk menjawab permasalahan sesuai zamannya.

Optimalisasi Media Lembaga

Optimalisasi media lembaga dapat ditentukan dari hasil evaluasi bidang kaderisasi. Dengan melihat passion yang dominan di kalangan aktivis dakwah media, selanjutnya dapat ditentukan bentuk media yang dapat digunakan. Misalnya, evaluasi kaderisasi suatu lembaga dakwah kampus menunjukkan bahwa passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan bidang kepenulisan. Selanjutnya, lembaga dakwah kampus ini dapat mengoptimalkan dakwah medianya melalui buletin, Twitter, maupun mengaktivasi sebuah website.  Jika passion aktivis dakwah medianya didominasi oleh ketertarikan pada bidang desain grafis atau fotografi, maka pengadaan pameran poster atau fotografi, mengaktivasi akun Facebook, Instagram, maupun Line dapat menjadi pilihannya dalam mengoptimalkan dakwah media.

Di sisi lain, peningkatan kualitas dan kuantitas konten yang dipublikasikan juga menjadi hal yang penting. Dalam hal ini, peningkatan kualitas konten menjadi poin yang perlu diprioritaskan karena berperan dalam membangun kepercayaan audience terhadap media yang dimiliki oleh suatu lembaga dakwah kampus. Adanya jadwal publikasi dapat mendukung aktivis dakwah media dalam mempersiapkan konten yang berkualitas. Sedangkan kuantitas konten dapat meningkat seiring dengan jam terbang aktivis dakwah media dalam berkarya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah harmonisasi gerak dalam dakwah media. Aktivis dakwah media hendaklah memposisikan dirinya sebagai suatu kesatuan umat Islam. Jika mereka melihat kelemahan suatu media Islam, maka mereka akan melengkapinya. Cita-cita sebagai pendobrak media mainstream yang semakin jauh dari nilai Islam perlu dijadikan tujuan bersama, bukan sekadar mementingkan masing-masing golongan. Peran aktivis dakwah media adalah menghadirkan media Islam sebagai problem solver atas kebimbangan masyarakat dalam memilih sumber terpercaya di tengah derasnya arus informasi.

Penulis
Wening Mulat Asih
Anggota Lembaga Dakwah Jama’ah Shalahuddin UGM yang aktif dalam Komisi Ke-LDK-an Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja periode 2013-2015

Bagian 1 dapat dilihat disini

Membangkitkan Kejayaan Pers Islam (Bagian 1)

Kemajuan teknologi informasi memperluas ladang dakwah umat Islam. Kesadaran ini mulai terlihat di kalangan aktivis dakwah kampus. Misalnya dengan dibentuknya komisi khusus bidang kemediaan dalam Forum Lembaga Dakwah Kampus se-Indonesia (FSLDK Indonesia) periode 2012-2015.

Di sisi lain, ternyata dakwah media bukanlah medan dakwah baru dalam sejarah bangsa kita. Bagaimana perjalanan dakwah media di Indonesia? Untuk itu, kita perlu menelusuri perjuangan para pendahulu dakwah media.

Perjalanan Pers Islam Indonesia

Sepanjang sejarah perjalanan pers di Indonesia, jurnalis muslim sudah menorehkan kontribusinya.  Misalnya, mereka menyuarakan kehidupan rakyat Indonesia dalam tulisan-tulisannyapada masa penjajahan Belanda. Jurnalis muslim pada masa itu mulai menyadari bahwa media berperan dalam membentuk opini publik. Pemikiran ini senantiasa diwariskan dan terekam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Soekarno, Hatta, Natsir, maupun Tjokroaminoto, merupakan tokoh-tokoh muslim yang turut aktif berperan dalam merebut kemerdekaan Indonesia melalui jurnalistik. Selain mereka, ada pula Adinegoro.

Perjuangan Adinegoro melalui jurnalistik dimulai sejak bersekolah di STOVIA. Di sekolah itu, beliau tidak diperbolehkan menulis sehingga menggunakan nama samaran “Adinegoro”. Tulisan-tulisannya yang acap kali menyerang Belanda secara halus, membuat rumahnya sering digeledah. Akhirnya beliau keluar dari STOVIA, lalu mempelajari ilmu jurnalistik di Belanda dan Jerman. Ketika kembali ke Indonesia, beliau sempat memimpin majalah Panji Pustaka (1931), surat kabar Pewarta Deli (1932-1942), Sumatera Shimbun, majalah Mimbar Indonesia (1948-1950), Yayasan Pers Biro Indonesia (1951), dan bekerja di Kantor Berita Nasional.Nama beliau diabadikan dalam ajang penghargaan karya jurnalistik Indonesia, Anugerah Adinegoro, yang diselenggarakan setiap tahun. Eksistensi beliau sebagai tokoh pers nasional semakin membuktikan peran umat Islam dalam sejarah pers di Indonesia.

Di sisi lain, berkembang pula pers Islam. Salah satunya adalah Pedoman Masyarakat dengan mottonya “Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam”. Sayangnya, perkembangan pers di Indonesia -termasuk pers Islam- semakin meredup seiring karena kerakusan Jepang terhadap kertas. Pada masa Soekarno, pers di Indonesia sempat merasakan kebebasan dalam berekspresi dan mengekplorasi diri. Namun hal itu tidak berlangsung lama.Pemerintah membredeli pers yang berusaha menyuarakan pendapatnya. Hanya pers yang memberitakan kabar pemerintah yang masih bertahan.

Bergantinya pemerintahan Soekarno menjadi pemerintahan Soeharto diharapkan dapat mengembalikan peluang dakwah media. Namun ternyata Soeharto menerapkan sistem penyederhanaan partai politik yang secara langsung berpengaruh terhadap media partai politik itu sendiri. Penekanan terhadap kebebasan pers yang dilakukan pemerintah Soeharto semakin melemahkan dakwah media.

Selain itu, ada beberapa hal yang menghambat bergeraknya pers Islam pada masa Soeharto. Pertama, sistem politik yang meminggirkan peran umat Islam dengan menentang segala simbol keislaman. Dari kondisi ini, muncullah pers Islam tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Di sisi lain, kebijakan Soeharto dalam bidang ekonomi yang mengutamakan para konglomerat telah mengecilkan potensi masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah umat Islam.Hal ini berimbas pada kelangkaan pengusaha muslim yang terjun dalam pers Islam.

Selain faktor tersebut, melemahnya dakwah media disebabkan oleh internal pers Islam, yaitu sumber daya manusia. Ketahanan pers Islam tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusianya. Karya yang diterbitkan oleh pers Islam sangat ditunggu karena kualitas penulisnya. Bahkan pembaca lebih tertarik karena mengenal penulisnya daripada medianya. Hal ini menunjukkan lemahnya pengkaderan.

Refleksi terhadap Dakwah Media Sekarang

Perjalanan pers Islam di Indonesia menunjukkan bahwa dakwah media bukanlah suatu hal yang baru bagi bangsa kita. Umat Islam di negeri ini justru tak pernah ketinggalan dalam mengambil peran bagi perkembangan pers. Ada beberapa akar permasalahan dalam sejarah pers Islam yang kita jumpai saat ini.

Pertama dari segi pengkaderan. Jika dalam sejarahnya pers Islam dapat memunculkan tokoh seperti Buya Hamka yang semasa hidupnya dapat menulis ratusan buku bahkan menulis sebuah tafsirQur’an, bagaimana SDM kita saat ini? Padahal kualitas pers tidak terlepas dari kualitas SDM-nya. Selain itu, opini sebagian aktivis dakwah yang belum menganggap media sebagai sarana berdakwah menjadikan kuantitas SDM lamban mencapai peningkatan. Padahal, umat Islam harus ikut serta dalam meng-coverkuatnya arus informasi.

Akar permasalahan yang kedua adalah manajemen media. Dakwah media dianggap sebagai hal yang baru sehingga kita seolah kekurangan referensi dalam mengembangkan manajemen media. Jika kita menoleh ke masa lalu, meski riwayat Pedoman Masyarakat telah berakhir pada masa Jepang, namun penggagasnya segera menerbitkan majalah Semangat Islam sehingga dakwah media tetaplah berjalan.

Selain itu, hal yang tak kalah penting ialah harmonisasi dalam gerak dakwah media.Perlu disepakati bahwa media Islam satu sama lain memiliki peran saling menguatkan.Tentunya berawal dari kesamaan frekuensi para penggagas media Islam –yang saat ini bertebaran- bahwa kebangkitan media membutuhkan kekuatan besar. Masih ada permasalahan yang lebih prioritas dari sekadar mementingkan masing-masing golongan, yakni mendobrak media arus utama yang semakin jauh dari nilai keislaman.

Referensi:

Lahirnya Pers Islam di Indonesia (http://jejakislam.net/?p=331)
Membungkam Pers Islam di Masa Silam (http://jejakislam.net/?p=746)
Seniman Sastra: Adinegoro (http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/adinegoro.html)
Penulis
Wening Mulat Asih
Anggota Lembaga Dakwah Jama’ah Shalahuddin UGM yang aktif dalam Komisi Ke-LDK-an Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja periode 2013-2015